Aku-lah (Nama), si gadis cantik rupawan yang amat dipuja-puja oleh para kaum buaya yang kurang kasih sayang.
Aku hanya perlu tersenyum manis ke arah mereka dan mereka sudah langsung luluh. Memang pesona cewek cantik itu gak bisa ditandingi.
Pagi ini saja, sudah ada 1 mangsaku yang rela menjemputku yang sedang menginap di villa yang jaraknya sekitar 7 kilometer dari sekolah. Jadinya aku tidak perlu repot-repot memesan taxi.
"Makasih ya, udah mau nganterin." Aku melancarkan senyuman manis sebagai modus, sekaligus sebagai bayaran atas jasa pengantarannya.
Adu du tersenyum gembira dan mengangguk.
—
"(Nama)." Si ketua OSIS menghampiriku. Tampang galak ban minta dibacoknya itu benar-benar memuakkan.
Aku tak membencinya tanpa alasan. Orang inu suka sekali cari masalah denganku. Parahnya pula, rayuan serta wajahku tak mempan untuk mempengaruhinya.
"Apaan?" Aku mendengus, kedua pupil mataku berotasi menyusuri bagian putih mataku.
Halilintar menyipitkan matanya, tatapannya menusukku dari ujung rambutku yang digerai, sampai pada ujung sepatu sekolahku yang seharga IDR 300.000,00.
"Pertama, rambutmu tolong di cat kembali ke warna aslinya." Halilintar mengambil segenggam rambutku yang sesuai dugaannya memang diwarnai.
Aku mendecih kesal. Aku tak menyangka kalau Halilintar ini begitu memperhatikanku.
"Kedua, atribut seragam harus dipakai lengkap. Misalnya dasi, logo sekolah, tag nama, dan sebagainya." Jari-jarinya beralih dari rambutku pada seragam bagian lenganku yang kosong melompong.
Aku memang sengaja tidak menjahitkan logo sekolah dan semacamnya. Sama sekali tidak memenuhi syarat estetika secara objektif.
"Ketiga, rok. Tolong beli yang baru, rokmu ini terlalu pendek. Rok pendek itu minimal menutupi lutut." Halilintar melanjutkan dongengnya. Memangnya dikiranya dia ini siapa?
"Udah? Lama bener." Aku menyilangkan kedua lenganku pada dekapan dadaku.
Aku ini orang sibuk. Banyak penggemarku yang menunggu kehadiranku di tempat tongkrongan. Hanya untuk sekedar melihat wajahku yang rupawan nan indah dipandang ini.
Mata Halilintar sedikit berkedut karena penuturan arogan ku barusan. Ia menghela nafasnya seolah baru saja menemui manusia purba berupa Paleo Javanicus.
Aku bukannya peduli. Kalau melawan perkataannya hanya akan memperpanjang durasi pembicaraan, makanya aku hanya diam dan tidak mendengarkan. Hanya agar cepat terselesaikan.
"Yang terakhir." Halilintar berucap, sedikit mempertegas intonasi suaranya itu.
Tiba-tiba saja, tangannya menangkup wajahku dalam satu genggaman. Manik merah ruby miliknya itu menatapku tajam, sampai rasanya akan menembus langsung ke jiwaku. Jari jempolnya bergerak diatas permukaan bibirku, tanpa adanya rasa bersalah pada wajahnya.
"Tidak boleh mengenakan make-up di sekolah."
—
Kalian pikir aku akan tunduk pada Halilintar? Oh, tentu tidak.
Aku masih menjalani hari-hari sekolahku dengan damai walau tidak menghiraukan peringatan yang dilontarkan langsung oleh si ketua OSIS.
Ngapain coba takut sama si guntur? Cih, ora urus.
Tapi yah, ujung-ujungnya aku berakhir disidang di ruangan OSIS bersama si gledek tukang marah lagi pun tukang siksa ini.
Aku meletakkan kaki kananku diatas pangkuan kaki kiriku. Punggungku bersandar pada sandaran kursi selagi aku menatap Halilintar yang sok-sokan bersikap layaknya hakim yang sedang menghakimi seorang kriminal yang korupsi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Boboiboy Oneshots | Boboiboy x Reader
RomanceCerita Oneshot Boboiboy × Reader | Cerita ini merupakan khayalan semata, tanpa ada unsur kesengajaan tertentu. Cerita ini hanya dibuat untuk kesenangan pribadi, tanpa ada maksud menyindir ataupun menyinggung siapapun. Bijaklah dalam membaca.