***
Irene terdengar menghembuskan nafas legah ketika kakinya berhasil masuk kedalam lift dengan aman tanpa gangguan apapun. Ia berfikir untuk memberikan dirinya reward karena berhasil keluar dari ruangan yang cukup membuatnya pusing dan muak itu, terlebih kehadiran Nathan tambah membuatnya tidak tenang berada disana.
Irene sadar beberapa hari terakhir ini ia memang sedang menghindari pria dengan nomor punggung 23 itu, lagi pula tidak ada alasan baginya untuk terus bertemu Nathan yang sialnya masih memiliki pengaruh dalam hidupnya ini.
Irene membawa fokusnya pada ponsel sembari menunggu pintu lift kembali tertutup agar ia bisa kembali dengan cepat kekamarnya, tubuhnya benar-benar lelah. Fokusnya teralih ketika dengan tiba-tiba mendapati sebuah tangan yang berusaha menahan pintu itu agar tetap terbuka, wajahnya seketika berubah datar saat menyadari lagi-lagi Nathan sudah berdiri didepannya.
Dengan gerakan cepat Nathan membawa kakinya masuk kedalam lift. Mereka sempat bersitatap sebentar hingga akhirnya Nathan melengos dengan sengaja menyenggol kecil bahu Irene dengan bahunya lalu mengambil posisi tepat dibelakang Irene.
Irene hanya diam tidak peduli ketika tadi Nathan menyenggol kecil bahunya, mereka berdiam cukup lama. Nathan berdehem untuk mengalihkan perhatian Irene padanya yang sama sekali tidak peduli keberadaan Nathan saat ini.
"Kenapa kau buru-buru pergi ?" Nathan memulai obrolan dengan tetap mempertahankan posisinya dibelakang.
"Aku ada urusan yang lebih pen ..
"Dan menghindariku ?" selah Nathan cepat. Irene menunduk sebentar untuk mengambil nafas sejenak.
"Sudah tau aku menghindarimu, lalu kenapa kau masih mengikutiku ?" titahnya malas, jengah atas apa yang dilakukan Nathan. Pria itu seolah bisa membuat mood Irene berubah cepat ketika harus bertemu Nathan barang sedetikpun, energy nya tiba-tiba selalu terkuras dan Irene benar-benar membenci situasi ini.
Bahkan ketika enggan melanjutkan ucapannya tiba-tiba ia terkejut ketika merasakan goncangan keras terjadi didalam lift. Wajah panik tak terelakkan, dengan cepat ia menyandarkan tubuhnya rapat. Tidak jauh berbeda dengan Nathan, pria itu juga terkesiap dengan goncangan itu. Ia bersusah payah menahan diri agar tidak ikut panik karena ada Irene bersamanya, ia tidak mau membuat Irene tambah panik karenanya.
Sadar dengan situasi yang terjadi takut-takut Irene melirik kearah Nathan.
"Apa yang terjadi ?" tanya nya gusar
"Aku juga tidak tau apa yang terjadi tapi sepertinya lift nya bermasalah". ucapnya dengan mengamati situasi didalam lift, kemudian ia melangkah memencet tombol-tombol yang ada didalam lift secara acak.
"Apa .. apa maksudmu, ? kau jangan membuatku takut !". teriaknya panik
"Mungkin lift nya rusak " ucapnya dengan masih mempertahankan agar tidak terdenar panik, Irene sedang bersamanya jadi ia tidak akan membuat hal-hal yang bisa membuat gadis itu gelagapan karena rasa takut. Ia menjauhkan tangannya dari tombol lalu berbalik menatap Irene yang sudah terlihat pucat dan berusaha menghalau air matanya.
"Pembohong !, minggir .." tukasnya, ia maju untuk memeriksa pintu lift . Tangannya terus bergerak menekan-nekan tombol dengan acak, "Tidak ...tidak ... kumohon.." Irene terlihat mengeluarkan semua tenaga yang ia punya, memukul pintu lift secara brutal hingga mengeluarkan suara yang memekakkan telinga.
"Apa yang kau lakukan ?! , percuma saja tanganmu akan sakit, kita sepertinya memang terjebak !" Nathan menahan tangan Irene agar berhenti berteriak dan memukul tombol itu. Irene tidak peduli, ia mendorong Nathan menjauh darinya dan kembali melakukan hal yang sama "Lift bodoh !, ayo buka" teriaknya ketakutan, bahkan sekarang air matanya pun ikut membasahi pipinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Glimpse of Us
Romantizm• • • Nathan Tjoe A-On tidak pernah tau dan tidak pernah paham tentang bagaimana Lauranna Irene Kim begitu membencinya.