"Nila bakar tiga, es jeruk dua, satunya es tawar. Kolnya digoreng."
Dhara menatap secarik kertas yang baru saja diletakkan Elia ke atas meja. Di sana terdapat daftar pesanan yang harus segera mereka eksekusi.
"Gue nyiapin nila dulu, ya, Mbak," ucap Elia sambil berlalu. Perempuan berkaca mata itu dengan cekatan melaksanakan tugasnya.
Sebelum beranjak dari meja kasir, Dhara memperhatikan para pelanggan. Ada yang sedang menunggu sambil main ponsel, ada juga yang sedang menikmati makanan sembari mengobrol.
Dhara menghela napas. Dia capek tapi juga senang karena warung dipenuhi pengunjung. Sebelum membuat minuman pesanan pelanggan, ia membenahi posisi kucir rambut yang merenggang.
Baru saja tangannya terangkat hendak menggapai gelas beling, Dhara merasa bahunya ditepuk pelan. "Kenapa, Bu?"
Mira berdiri di sana. Mengenakan celemek abu-abu. Wanita paruh baya yang tubuhnya agak gemuk itu menunjuk kesebuah arah. "Oka nangis," katanya.
Dhara langsung paham. Dia berjalan meninggalkan Mira. Sebelum naik ke lantai dua, ia menyempatkan diri mencuci tangan di wastafel.
Kakinya dengan lincah menaiki satu persatu anak tangga menuju sebuah ruangan yang digunakan sebagai tempat beristirahat. Di sana tidak ada kamar, tapi ada spring bed yang dialasi karpet beludru berukuran sangat lebar yang biasa digunakan Dhara dan yang lain untuk sekadar meluruskan pinggang.
Di atas kasur empuk itu ada bayi berumur lima bulan yang sedang merengek.
"Ya, ampuuun. Anak Mama kok nangis. Haus, ya?" Perlahan Dhara mengangkat bayi itu lalu didekap dengan lembut. Tangis Oka pun mereda, membuat Dhara tertawa kecil. Dia mengecup pipi Oka sekilas.
"Lho? Udah nggak nangis?"
Itu suara Benjamin. Laki-laki yang resmi menyandang status sebagai kakek sejak lima bulan yang lalu.
"Di bawah kan lagi ramai. Kok Bapak ke sini?"
"Bapak pengin lihat Oka sebentar." Benjamin meraih tangan mungil Oka. "Cucunya Eyang Kakung yang paling ganteng. Kung ke bawah dulu, ya. Mau melanjutkan tugas negara."
Tugas negara yang dimaksud Benjamin adalah mengulek sambal. Dia sangat jago membuat berbagai jenis sambal. Karena keahliannya itulah mereka memutuskan untuk membuka warung penyetan. "Penyetan Pak Ben".
Penyetan Pak Ben sudah berdiri sejak belasan tahun yang lalu. Yang awalnya hanya di teras rumah, lalu menyewa di ruko kecil. Dan sekarang mereka menempati ruko dua lantai yang tanah dan bangunannya sudah milik pribadi.
***
Biasanya mereka mulai berberes warung menjelang pukul sembilan malam. Namun hari ini warung tutup lebih awal karena sebagian besar bahan masakan sudah habis.
Elia dan Jayastu pamit setelah menyelesaikan tugas mereka. Lalu disusul Dhara yang baru saja turun dari lantai dua bersama Oka yang matanya sayu karena mengantuk.
"Ini bapak atau kamu yang nyetir?" Benjamin menyodorkan kunci mobil yang ada di telapak tangannya.
Jarak antara warung dan rumah mereka tidak terlalu jauh. Kira-kira lima belas menit. Kalau Oka sedang tidak ikut ke warung, Benjamin dan Mira lebih sering mengendarai sepeda motor.
"Dhara aja, Pak."
"Sini, biar ibu yang gendong Oka."
Mira hendak mengambil Oka dari Dhara ketika sebuah motor matik memasuki halaman warung. Laki-laki dengan jaket parasut berwarna hitam itu menghentikan kendaraannya di area parkir.
"Siapa, ya?" ucap Benjamin.
Laki-laki yang identitasnya belum diketahui itu nampak turun dari motor setelah melepas helm.
"Isac?" Satu nama langsung meluncur dari mulut Dhara tatkala ia mengenali wajah orang itu.
Mira menatap putrinya. "Temanmu?"
Tatapan mata Dhara yang tadinya santai kini berubah nyalang. Dia memeluk Oka dengan erat. Bayi itu sudah hampir tertidur. "Dia Isac, Bu. Mantannya Popi."
Mira dan Benjamin kompak mendelik.
"Ibu sama Bapak masuk duluan ke mobil. Nanti Dhara nyusul."
Dhara menyerahkan Oka pada Mira.
Karena putri mereka sedang mode serius, Benjamin dan Mira manut saja. Mereka membawa Oka menuju mobil hitam yang terparkir di samping warung.
"Bicarakan baik-baik." Begitulah pesan Benjamin sebelum dirinya benar-benar meninggalkan putrinya.
"Dasar berengsek! Bajingan!" Sumpah serapah Dhara tujukan pada laki-laki tinggi di hadapannya.
"Maaf," ucap Isac sangat pelan.
Dhara mengeratkan genggamannya pada botol susu yang sedang dipegang. "Popi meninggal setelah melahirkan anak kalian. Dan lo malah kabur. Harusnya lo aja yang mati!!"
"Gue menyesal."
"Omong kosong!" sambar Dhara.
"Sekarang gue ada di sini. Gue akan bertanggung jawab."
Dhara terdiam. Sebelah alisnya terangkat. "Gue nggak akan biarin lo merebut Oka." Emosi Dhara makin tersulut. "Lo kemana waktu Popi hamil? Waktu dia lagi butuh support dari elo. Lo pikir hamil itu gampang! Lo sama sekali nggak tahu penderitaan Popi selama ini. Sampai akhirnya dia ...." Dhara tak mampu meneruskan kalimatnya. Luka besar yang dia alami lima bulan yang lalu seakan kembali. Luka atas kehilangan seorang teman berharga untuk selama-lamanya.
-Bersambung-
~
Punya kritik & saran? Yuk, dikomen.
Suka sama cerita ini? Jgn lupa Vote.
KAMU SEDANG MEMBACA
What Popi Left Behind [END]
General FictionPopi meninggal setelah melahirkan Oka. Dan Dhara menjadi satu-satunya orang yang dipercaya untuk menjaga bayi mungil itu. Saat Oka berumur lima bulan, Isac-mantan Popi-muncul. "Sekarang gue ada di sini. Gue akan bertanggung jawab," kata Isac penu...