RVSD 28 | Tajir melintir

452 59 9
                                    


Mumpung orang tuanya belum pulang, Dhara mendesak Giri untuk membeberkan informasi yang didapat. Sebagai sogokan, dia membuat pisang goreng kesukaan lelaki itu. Kini mereka ada di depan tv, duduk di atas kasur ambal bersama Oka yang sedang rebahan dan sibuk memegangi kakinya sendiri.

"Kontrakannya bejibun, ada kalik seratus pintu. Itu yang di Jakarta, belum di luar kota," kata Giri sambil mengunyah pisang goreng. "Ada juga ruko-ruko yang disewakan ke pedagang. Terus–"

"Masih ada lagi?" sambar Dhara.

"Bentar, seret gue." Ia menenggak segelas air. "Sampai mana tadi?"

"Ruko."

Giri angguk-angguk. "Bisa dibilang dia pengusaha dibidang properti. Lebih tepatnya itu usaha orang tuanya yang sekarang jadi milik dia."

"Pantesan dia langsung ngakak pas gue tuduh ngepet."

"Njir! Bisa-bisanya lo bilang begitu." Giri tidak habis pikir. "Ada satu info lagi."

Dhara mengerjabkan mata.

"Orang tuanya belum lama ini meninggal."

Punggung Dhara menegak. "Dua-duanya?"

Giri mengangguk. "Kecelakaan."

Dhara kembali mengingat suasana rumah Isac yang terasa hampa. Rumah mewah itu seperti tak berpenghuni, mirip rumah yang hanya dijadikan tempat singgah sementara.

"Lo dapat informasi dari mana?" tibat-tiba Dhara penasaran akan hal itu. "Lo beneran nyewa detektif?"

"Beberapa hari ini gue nongkrong di sekitar rumah dia," ujar Giri. "Gue pura-pura mau beli rumah."

Dahi Dhara mengernyit. "Semudah itu?"

"Nggak, lah!" Giri misuh-misuh. "Untungnya gue ganteng, jadi gampang ngedeketin emak-emak di sana. Gue rela digodain para emak, sampai dicolek-colek. Dikira gue sabun colek!"

Dhara terbahak mendengarnya. Dia bisa membayangkan bagaimana hebohnya para emak ketika bertemu Giri yang kata orang-orang mirip pemain film laga. Emak-emak di sekitar rumah Dhara saja selalu gaduh tiap kali ada Giri, sampai diajak foto.

"Omong-omong, gue baru lihat boneka itu." Giri mengedikkan dagu ke arah boneka pinguin yang sedang dimainkan Oka. "Kayaknya terakhir kali gue ke sini belum ada."

"Dari Isac."

"Mas!" Giri mengingatkan sembari menoyor kepala Dhara. "Nggak sopan panggil dia nama doang."

Dhara mendengkus. "Orangnya nggak ada di sini. Santai wae."

"Pintar juga dia pilih mainan." Pelan-pelan Giri mengambil boneka itu dari pelukan Oka. Dipandanginya dengan seksama, namun detik berikutnya terdengar rengekan dari Oka.

Dengan sigap Dhara menggaplok lengan Giri. "Jangan diganggu!" Dia merebut boneka pinguin dari tangan Giri kemudian diberikan ke Oka. Dhara mengangkat Oka lalu membawa bayi itu duduk di antara kakinya.

"Ra, lo pernah ngebayangin nggak misal suatu saat ternyata Oka lebih sayang ke Isac. Terus dia mau tinggal sama Papanya."

Dhara mendelik. Dia jelas tidak suka dengan apa yang baru saja Giri katakan. "Ini cuma seandainya, Ra. Paling nggak kita harus mempersiapkan diri untuk hal-hal yang tidak terduga."

"Gue percaya Oka nggak akan mengkhianati gue. Oka pasti paham siapa yang selama ini selalu ada untuk dia." Dhara menghembuskan napas berat.

Suara klakson mobil memecah keheningan diantara mereka. Baik Dhara maupun Giri sudah hapal suara mesin di depan sana.

"Pak Ben," seru Dhara.

Giri bergegas bangkit, "gue bukain gerbang dulu."

Begitu masuk ke dalam rumah. Yang pertama kali dicari Mira dan Benjamin tentu saja cucu kesayangan. Oka menyambut mereka dengan mengangkat kedua tangan, juga senyuman lebar yang terus terpajang di wajahnya.

Mira dan Benjamin tidak akan menyentuh Oka sebelum mereka bersih-bersih. Jadi mereka hanya memandangi tanpa menyentuh.

"Siapa yang bikin pisang goreng?" Mira menyaut sepotong pisang goreng dari piring. "Giri, ya?"

"Aku," Dhara buru-buru berseru. "Giri, ya, tinggal ngunyah doang, Bu."

Giri melirik Dhara dengan penuh protes. "Itu kan sogokan, masa harus dibantu?"

"Sogokan apa?" kini Benjamin yang bertanya.

"Tadi Dhara bilang, kalau sampai umur tiga puluh tahun dia belum dapat pacar, dia mau nikah sama aku. Pokoknya harus aku, nggak mau yang lain." Giri pura-pura memasang ekspresi tertekan.

Wajah Dhara sudah seperti macan kelaparan yang siap melahap Giri saat itu juga. Ingin sekali ia mengambil bantal lalu memukuli laki-laki itu, sayangnya pergerakannya terhalang oleh Oka yang berada di pangkuannya.

Giri beralih ke Benjamin. "Pak Ben mau calon mantu yang mana? Aku atau ... Isac?"

"Ibu nggak diajak rundingan?" keluh Mira.

"Diajak, dong," timpal Giri. "Jadi gimana, pilih yang mana?"

Benjamin memulai aksinya. Dia sudah seperti seorang aktor yang baru saja mendengar kata action. "Dua-duanya ganteng."

Giri berdehem-dehem.

"Nggak malu-maluin kalau diajak kondangan," Mira menambahi.

"Persaingan ketat," timpal Benjamin.

"Poinku berapa, Pak Ben?"

"Kalau poin lo banyak terus mau ngapain? Ditukar piring cantik?" celetuk Dhara. "Lo pikir ini minimarket!"


-Bersambung-

~

Punya kritik & saran? Yuk, dikomen.

Suka sama cerita ini? Jgn lupa Vote.

What Popi Left Behind [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang