Isac melepas jaket parasut yang ia kenakan lalu benda itu digunakan untuk menutupi tubuh Dhara. Memang tidak sampai tertutupi semua, paling tidak lebih baik dari pada hanya sehelai handuk seperti tadi.
"Kenapa lo keluar cuma pakai handuk begini?" seru Isac dengan tangan yang masih memegangi jaket supaya tidak jatuh.
Dhara mengambil alih jaket itu lalu mundur selangkah. Dia baru sadar kalau posisi mereka begitu dekat. Dengan tubuh yang tertutupi jaket, ia berkata, "gue panik. Tadi waktu keluar kamar mandi, ada tikus lagi lari, hampir terinjak."
Biasanya Dhara membawa bathrobe ke kamar mandi. Namun pagi ini dia melupakan benda itu.
"Tikusnya gimana? Panik juga nggak?"
Pertanyaan dari Giri membuat Dhara kesal. Matanya memicing ke arah lelaki itu.
"Mamamu ngambek, Ka. Sebentar lagi pasti ngomel-ngomel." Giri memegang tangan Oka lalu sengaja dilambaikan ke arah Dhara. "Mama jangan marah, dong. Nanti cepat tua."
***
Selesai Dhara berganti pakaian, giliran Giri yang pamit untuk mandi. Sedangkan Mira dan Benjamin sudah berangkat ke warung. Meninggalkan tiga orang dewasa bersama satu bayi di rumah itu.
Sementara Giri mandi, Dhara dan Isac duduk di teras.
"Kenapa laki-laki tadi mengaku jadi Papanya Oka?"
"Nggak usah protes. Lagian gue nggak setuju lo nyebut diri lo 'papa'."
Isac menghela napas. "Oka bakal panggil lo 'mama', berarti ke gue 'papa'."
"Dih! Kita bukan pasutri." Dhara mendelik.
"Emangnya lo sama Giri pasutri?"
"Pusing gue ngobrol sama lo." Sejujurnya Dhara sedang malas berdebat. "Ada banyak panggilan lain, lo bebas mau pilih yang mana. Ada ayah, daddy, abah. Apapun itu yang penting jangan 'papa'," dia menegaskan."Kenapa lo sama sekali nggak mau mempertimbangkan perasaan gue sebagai Papanya Oka?"
Dhara berdecih. "Nggak penting. Dulu lo seenak jidat ninggalin Popi dan Oka. Baru diginiin udah protes. Ngaca dulu sana!"
***
Dhara sengaja mengurangi kecepatan ketika mobil melewati perempatan.
"Jadi dia beneran Papanya Oka?" tanya Giri yang duduk di samping Dhara. Tidak ketinggalan Oka berada di pangkuannya.
"Jangan sebut dia 'papa'. Merinding gue."
"Oiya. Kan gue Papanya Oka."
"Lo juga jangan ikut-ikutan, deh!"
Giri tak acuh pada omelan Dhara. "Dia mau ngapain, Ra? Mau merebut Oka dari kita?"
"Sejauh ini dia nggak kelihatan mau merebut Oka." Mata Dhara terus memperhatikan jalanan di depan. "Dia bilang mau bertanggung jawab. Dalam bentuk finansial, juga menjadi ayah yang baik untuk Oka."
Giri kegirangan saat Oka menggenggam jari telunjuknya dengan erat. Perbedaan ukuran jari mereka terlihat begitu kontras.
"Gue bingung. Kenapa Isac nggak kelihatan kayak cowok baj–" hampir saja kata kasar itu meluncur dari mulut Dhara. "Lo paham kan maksud gue?"
"Iya, dia kalem gitu." Giri mengingat kembali wajah seseorang yang beberapa saat lalu dia temui di rumah Benjamin. Meskipun tatapan Isac tidak bersahabat, namun laki-laki itu terlihat seperti sosok yang tenang dan cinta damai. "Lo mau kasih dia kesempatan?"
"Menurut lo dia layak dikasih kesempatan?"
Giri terdiam. Sekarang dia paham dengan kebimbangan di hati Dhara. Memang tidak mudah memberikan kesempatan pada laki-laki seperti Isac. Laki-laki yang punya masa lalu begitu kelam.
"Betewe, bentar lagi kita ulang tahun." Giri membahas hal lain.
Dhara dan Giri memiliki tanggal lahir yang sama. Hanya beda tahun. Giri dua tahun lebih tua dari Dhara. Mereka selalu merayakan ulang tahun bersama. Biasanya mereka pergi ke tempat-tempat yang belum pernah dikunjungi.
"Cie yang bentar lagi resmi kepala tiga," goda Dhara. Mereka sudah memasuki parkiran warung.
"Lo menyusul setelahnya."
"Masih dua tahun lagi," Dhara mengingatkan. "Coba cek rambut lo, jangan-jangan udah ada uban."
"Gue belum setua itu!"
-Bersambung-
~
Punya kritik & saran? Yuk, dikomen.
Suka sama cerita ini? Jgn lupa Vote.
KAMU SEDANG MEMBACA
What Popi Left Behind [END]
Художественная прозаPopi meninggal setelah melahirkan Oka. Dan Dhara menjadi satu-satunya orang yang dipercaya untuk menjaga bayi mungil itu. Saat Oka berumur lima bulan, Isac-mantan Popi-muncul. "Sekarang gue ada di sini. Gue akan bertanggung jawab," kata Isac penu...