RVSD 22 | Keki

413 51 9
                                    


Semalam Giri menginap di rumah Benjamin. Hal itu sudah biasa dia lakukan. Saking seringnya menginap di sana, Giri sampai meninggalkan beberapa barang pribadi miliknya di sebuah kamar yang sebelumnya diperuntukkan untuk Popi.

Pagi itu Giri baru pulang berjoging. Karena ada banyak keringat yang menempel di kaos yang ia kenakan, kaos itu dilepas lalu disampirkan ke bahu. Dengan hanya mengenakan celana training pendek, Giri duduk di teras sembari memerika sesuatu di ponselnya.

"Mau pamer?"

Giri menoleh. Ada Dhara berdiri seorang diri di ambang pintu.

Dhara menunjuk perut Giri. "Lo sengaja nggak pakai baju terus duduk di situ. Mau ngapain lagi kalau bukan pamer?"

Bukannya malu Giri malah tersenyum bangga. "Keren nggak perut gue?" Dia mengelus perutnya sendiri. "Ini hasil kerja keras. Udah susah-susah dibentuk masa nggak dipamerin. Sayang, dong."

"Ati-ati entar digodain emak-emak."

Ada kalanya Dhara keheranan dengan sikap santai Giri selama di rumah Benjamin. Mereka sudah seperti keluarga sungguhan. Contohnya seperti sekarang. Tanpa canggung laki-laki itu membuka baju lalu duduk disembarang tempat. Belum lagi kadang Giri sana-sini dengan hanya berbalut handuk yang melilit pinggangnya.

Awalnya Dhara protes dan meminta Giri untuk tidak sebebas itu. Tapi karena terus saja diulangi, akhirnya Dhara menyerah dan bersikap bodo amat. Lagi pula Mira dan Benjamin tidak masalah dengan hal itu.

"Lo nggak kerja?"

"Kerja," jawab Giri. "Gue mau ngadem bentar terus mandi."

Sebuah motor memasuki halaman rumah Benjamin. Siap lagi kalau bukan Isac. Dhara dan yang lain sampai hapal suara motor milik laki-laki itu.

"Rajin banget jam segini udah datang," kata Giri takjub. "Gue aja belum berangkat kerja."

Dhara terus memperhatikan Isac sambil berucap, "makin hari makin pagi aja datangnya. Gue curiga dia nggak pernah pulang, tapi tidur di pos ronda."

Giri bangkit dari kursi lalu berjalan mendekati Dhara.

Begitu juga dengan Isac yang sudah turun dari motor, melepas helm, lalu mendekati mereka berdua. Ada tatapan tidak suka yang Isac tunjukkan tatkala ia melihat Dhara dan Giri berdiri bersisian.

Giri yang mengetahui arti dari tatapan itu menyeringai.

Giri sedikit lebih tinggi dari Isac. Giri itu tipe cowok maskulin yang otot-ototnya menonjol namun tidak berlebihan. Siapapun yang melihat pasti tahu dia rajin nge-gym. Kalau Isac, dia tipe cowok yang punya aura bangsawan. Tatapannya yang lembut itu bisa berubah menjadi tajam dan mengintimidasi lawan.

"Oka belum bangun," kata Dhara mencairkan suasana.

"Gue ke sini mau ambil KTP."

Mendengar "KTP" disebut, Dhara jadi teringat rencana Giri semalam. "Lo pagi-pagi ke sini cuma mau ambil KTP?"

Isac mengangguk. "Ada berkas yang harus gue urus dan gue butuh KTP."

Dhara pamit masuk ke dalam rumah. Dia meninggalkan dua laki-laki yang sedang saling pandang dengan sengit.

"Lo pasti penasaran kenapa gue ada di sini." Giri berdehem-dehem. "Gue udah biasa menginap di sini."

Isac mendengkus. Dia sama sekali tidak ingin terlibat cekcok dengan Giri.

Tanpa menunggu lama Dhara sudah kembali dan menyerahkan KTP ke Isac.

Giri berencana memperkeruh suasana hati Isac dengan meletakkan sebelah tangannya ke pundak Dhara. Posisinya seperti memeluk perempuan itu. "Lo nggak cabut? Tadi katanya ada yang harus diurus."

Dhara menepuk tangan Giri yang tersampir seenaknnya di pundaknya. "Lo keringatan, jangan pegang-pegang. Bau!"

"Lo juga belum mandi, jadi nggak masalah." Bukannya menjauh Giri malah melingkari leher Dhara dengan lengannya sampai perempuan itu memekik. "Lo udah mau pulang, kan?" tanya Giri pada Isac yang masih memperhatikan interaksi antara dirinya dan Dhara. "Yaudah, bye-bye." Dia menyeret Dhara masuk ke dalam rumah.

"Heh! Sakit leher gue."

Samar-samar Isac masih bisa mendengar suara Dhara dan Giri di dalam sana.

"Nanti gue elus-elus biar sakitnya hilang."

"Dasar gila!"


***


Kalau sedang tidak ada pelanggan, Elia dan Jayastu akan bergantian ngaso di lantai dua. Dan biasanya hal itu dimanfaatkan Dhara untuk menitipkan Oka pada mereka. "Mbak, Mas Isac kok nggak ke sini?" tanya Jayastu. Dia sedang membuat ekspresi lucu supaya Oka tertawa.

"Mana gue tahu. Emang gue bininya."

"Mas Isac orang baik, lho, Mbak. Dia kalau bantu-bantu di warung sangat totalitas."

"Dia begitu karena ada maunya."

Sebagai pegawai terlama di warung, Jayastu dan Elia tentu sudah tahu cerita tentang Popi. Termasuk apa yang Isac lakukan di masa lalu.

"Oka kangen Papa Isac, nggak?" tanya Jayastu pada bayi di pelukannya. "Yok, kita telfon Papa Isac."

Kepala Dhara menoleh. "Lo punya nomor dia?"

"Punya, dong," ujar Jayastu dengan alis yang bergerak naik-turun. "Mau?"

"Nggak, siapa juga yang minta."

Tidak butuh waktu lama, panggilan video langsung diterima. Wajah Isac muncul di layar.

"Oh? Haii, Oka."

Jayastu ikut muncul di layar.

"Mas Isac, kok nggak ke warung?" tanya Jayastu. "Ada yang kangen, nih."

"Siapa yang kangen gue?"

Isac sepertinya sedang berada di luar ruangan. Terdengar suara-suara gumaman orang yang sedang mengobrol.

"Yang kangen, ya, Oka. Masa Mamanya." Mata Jayastu sempat melirik Dhara. Ucapannya barusan berhasil memancing emosi perempuan itu. "Oka kangen banget, Mas."

Isac tersenyum lebar. Belum sempat dia bicara, Oka sudah mulai rusuh. Tangan Oka hendak mengambil alih ponsel Jayastu. Karena tidak juga mendapat yang ia mau, Oka lantas merengek.

"Kok, nangis?" kata Isac dengan nada cemas. "Oka beneran kangen Papa, ya?"

Karena tangis Oka tak kunjung mereda, Dhara pun turun tangan. Dia bangkit dari tempatnya leyeh-leyeh lalu mengangkat putra kesayangannya.

"Mas Isac lagi dimana?" Jayastu melanjutkan.

"Gue lagi di ..." Isac tidak melanjutkan kalimatnya. Matanya pun tidak lagi menatap ke layar, melainkan ke sebuah arah. Seperti ada sesuatu yang mendekatinya.

Lalu sebuah suara terdengar. "Sayang, kita perginya sekarang aja. Keburu butiknya tutup."

Suara yang manja dan mendayu itu membuat Jayastu dan Dhara tercengang. Mata mereka membola dan napas mereka berhenti beberapa detik.

Meskipun tidak terlihat siapa yang sedang bicara, tetapi itu jelas suara perempuan. Bahkan kini Jayastu bisa melihat sebuah tangan putih mulus sedang menarik-narik lengan Isac.

Tanpa berpamitan Isac memutus video call.

Jayastu mengerjabkan mata. Ia menoleh ke Dhara yang ternyata sedang menatapnya.

"Gue berasa lagi ngegap orang selingkuh," ucap Jayastu. Wajahnya masih syok.


-Bersambung-

~

Punya kritik & saran? Yuk, dikomen.

Suka sama cerita ini? Jgn lupa Vote.

What Popi Left Behind [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang