RVSD 29 | Badai

401 58 5
                                    


"Kemarin ada yang cari kamu," ucap Mira. Dia baru saja memasukkan plastik besar berisi sayuran ke mobil. Nantinya sayuran itu akan di bawa ke warung.

Dhara yang tengah menggendong Oka bergerak mendekati Mira. "Temanku?"

"Mungkin." Mira menutup pintu mobil setelah semua barang masuk. "Namanya Luna. Orangnya cantik, kayak artis."

Dhara membuka lembaran ingatan tentang wajah teman-temannya semasa sekolah. "Siapa, ya, Bu?"

Mira mengedikkan bahu. "Tadi Giri pergi jam berapa?" Ia mengalihkan pembicaraan.

"Subuh, waktu Ibu sama Bapak ke pasar."

"Bu, ini mau dibawa nggak?" tanya Benjamin yang keluar dari rumah sembari membawa kotak kardus berisi lembaran daun pisang yang tergulung rapi.

"Dibawa, Pak. Itu punya Iin, nanti siang dia ke warung."

"Bapak taruh di belakang." Benjamin menuju mobilnya.

Saat mereka sedang menata barang ke mobil, sebuah motor memasuki pekarangan. Kedatangan Isac bukan lagi sesuatu yang aneh. Para Tetangga pun sudah mengenalnya.

"Pa!"

Semua orang dewasa di tempat itu terkejut mendengar jeritan Oka. Bayi itu berseru dengan tangan yang melambai ke Isac.

"Pa-pa-pa."

Dengan sumringah Isac mendatangi Oka. "Udah bisa panggil Papa, ya?"

"Pa! Pa-pa-pa." Oka bergerak minta gendong.

Sesudah mendapat persetujuan dari Dhara, Isac segera mengangkat Oka.

"Paaa."

"Iya, ini Papa." Ada perasaan yang tidak bisa Isac ungkapkan dengan kata-kata. Yang pasti dia sangat bahagia karena Oka mengenalinya sebagai Papa.

Dhara memberengut. "Kok 'papa' duluan yang disebut? Harusnya 'mama'!" Dia masih tidak terima. "Oka, coba bilang Ma-Ma. Ma ... Ma."

"Pa-pa-pa." Oka bergerak memunggungi Dhara lalu memeluk leher Isac.

Makin dongkol lah Dhara.

"Pagi Om, Tante," Isac menyapa Benjamin dan Mira yang berdiri di sebelah mobil. "Mau berangkat sekarang?"

"Lagi siap-siap," jawab Benjamin. "Tumben beberapa hari nggak nongol."

Isac tersenyum lebih dulu. "Ada pekerjaan yang nggak bisa ditinggal, Om."

"Omong-omong, kamu kerja apa?"

Dhara ingin bertepuk tangan untuk pertanyaan yang baru saja Mira lontarkan.

"Saya mengurus bisnis keluarga," jawab Isac sopan.

Mira tidak terlihat ingin bertanya lebih lanjut dan hal itu membuat Dhara geregetan. Dia heran kenapa Isac tidak pernah secara gamblang membeberkan perihal pekerjaannya. Entah memang sifatnya yang rendah hati atau malas menjawab yang lebih terperinci.

Benjamin dan Mira pamit masuk ke dalam rumah. Dhara tetap berada di sana untuk mengawasi Oka yang sedang digendong Isac.

"Tunggu sebentar, ada yang lupa." Isac kembali ke motornya untuk mengambil kantong plastik berwarna putih yang menggantung di bagian depan. Dia kembali ke Dhara yang sudah duduk di kursi teras. "Ini."

Dari aromanya Dhara tahu isi di dalam sana. Hampir saja dia tersenyum lebar "Ini apa?" tanyanya pura-pura tidak tahu. Dia menerima plastik itu kemudian membukanya. Benar tebakannya, ada keju aroma kesukaannya. Masih hangat. "Ada, ya, yang jual beginian pagi-pagi? Gue belum pernah ketemu."

Di dalam plastik itu ada wadah plastik bening lengkap dengan tutupnya.

"Nggak beli," kata Isac setelah bokongnya mendarat sempurna di kursi plastik di sebelah Dhara. "Gue minta tolong ke Mbak Yani."

"Mbak Yani?"

"Lo pernah ketemu dia, waktu lo nyasar di depan rumah gue."

"Ohh, namanya Mbak Yani." Dhara teringat dengan perempuan berdaster yang tempo hari memintanya untuk memindahkan mobil.

"Enak?" tanya Isac saat Dhara sudah menghabiskan sepotong keju aroma.

Dhara menyodorkan plastik putih yang bagian atasnya terbuka lebar. "Cobain. Ini enak kayak yang biasa gue beli."

Isac mencomot satu.

"Emang tadi di rumah lo belum nyicip?"

Isac menggeleng. "Nggak sempat." Dia kesulitan mengangsur keju aroma ke mulutnya karena tangan Oka berusaha meraih camilan itu.


***


Isac tidak ikut ke warung. Kedatangannya ke rumah pagi ini hanya untuk bertemu Oka. Laki-laki itu terlihat sangat sibuk. Tadi saja selama berada di rumah Benjamin, beberapa kali ponsel Isac berdering. Sebesar apapun rasa ingin tahu Dhara pada kegiatan Isac, tidak lantas membuat mulutnya bertanya. Gengsi dong!

"Mbak, ada yang nyariin," tutur Elia pada Dhara yang duduk dimeja kasir.

"Siapa?" Tatapan Dhara menyusuri bagian depan warung. Ia menemukan sosok cantik tengah berdiri tidak jauh darinya.

Dhara bangkit lalu menemui perempuan itu. Perbedaan penampilan mereka yang sangat jomplang, membuat Dhara sedikit rendah diri.

"Dhara, ya?" Perempuan dengan rok selutut bermotif bunga daisy itu tersenyum manis. "Gue Luna. Bisa kita ngobrol sebentar?"

Warung memang sedang sepi, tapi tempat itu tidak cocok untuk dijadikan tempat mengobrol. Meski Dhara tidak tahu apa yang akan jadi bahan obrolan mereka, tetap saja mereka harus cari tempat yang lebih proper.

Setelah memastikan Oka aman bersama Mira, Dhara membawa Luna ke resto terdekat. Lebih tepatnya resto tempat ia berseteru dengan Rowan. Mungkin karena kerjadian itu sangat berkesan, sampai para pramusaji di sana masih mengingatnya.

Mereka berdua kompak hanya memesan minuman. Bahkan ketika pramusaji menawarkan makanan pendamping, keduanya sama-sama menolak.

Penampilan Luna berhasil menarik perhatian pengunjung lain. Dhara mewajari hal itu sebab dia sendiri juga sempat terpukau dengan sosok asing yang duduk di hadapannya. Luna seperti tokoh utama dalam komik yang digambarkan sebagai sosok baik hati berhati suci. Wajahnya manis, ada kesan lemah lembut yang terpancar di kedua bola matanya. Tidak hanya lawan jenis, sesama jenis pun akan takjub dengan ciptaan Tuhan satu ini.

"Kayaknya kita seumuran, jadi ngobrolnya santai aja, ya?"

Dhara mengangguk tanpa mau memikirkan berapa kira-kia umur Luna. "Lo kenal gue dari mana? Maaf, jujur gue nggak kenal lo sama sekali."

"Ini pertama kalinya kita ketemu." suara Luna begitu lembut. "Gue calon istrinya Mas Isac."


-Bersambung-

~

Punya kritik & saran? Yuk, dikomen.

Suka sama cerita ini? Jgn lupa Vote.

What Popi Left Behind [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang