RVSD 6 | Papanya Oka

728 65 3
                                    


Keesokan harinya Dhara memutuskan untuk tidak pergi ke warung. Hal itu dilakukan atas perintah dari orang tuanya. Kondisi Oka memang sudah membaik, tapi bukan berarti bisa bebas membawa si bayi keluar dari rumah. Sekalipun di warung Oka terus berada di lantai dua, Benjamin tetap tidak setuju cucunya dibawa ke sana.

Oka sedang bermain sendiri di kasur saat Dhara menyibukkan diri dengan laptop di atas meja yang ada di dalam kamarnya. Meja rias yang merangkap menjadi meja kerja itu berada di sudut yang strategis. Dari situ Dhara bisa memantau aktivitas Oka.

Semenjak Oka hadir di antara mereka. Dhara tidak terlalu aktif membantu di warung. Alhasil dia memiliki posisi baru yaitu sebagai admin media sosial. Ia membuat jadwal tetap yaitu seminggu tiga kali untuk mengunggah konten ke media sosial milik Penyetan Pak Ben.

Sedang serius mengedit konten, tiba-tiba layar laptop menggelap. Bersamaan dengan itu AC di kamar Dhara berhenti mengeluarkan udara dingin. Laptop miliknya termasuk barang tua, hanya bisa menyala kalau dicharge.

"Mati lampu?"

Dhara beralih dari meja kerja menuju Oka. Dia mengangkat Oka kemudian membawanya keluar kamar. Dhara ingat betul baru kemarin Benjamin mengisi token listrik, tidak mungkin sudah habis. Berarti memang sedang ada pemadaman bergilir.

Ruangan di dalam rumah yang gelap membuat Oka tidak nyaman. Bayi itu nampak gelisah. "Oka takut, ya? Kita ke depan, yuk."

Setibanya di teras, Oka jadi lebih ceria. Celotehan kecil mulai terdengar lagi dan itu membuat Dhara terkekeh.

"Ra, mati lampu, ya?"

Dhara menoleh. Ada Ratih–tetangganya–yang sedang berdiri tidak jauh dari pagar yang membatasi rumah mereka. Rata-rata pagar di kompleks itu tidak terlalu tinggi. Kadang hanya sepinggang orang dewasa.

"Iya, Bude. Mati lampu."

Ratih mengangguk. "Kirain tempat Bude doang yang mati."

Tadinya Dhara juga sempat berpikir seperti itu. Apa lagi akhir-akhir ini banyak kwh milik warga yang mendadak rusak.

"Eh, Ra. Bude mau tanya, boleh?"

"Tanya apa, Bude?"

"Isac itu beneran Papanya Oka?"

Sontak Dhara meloncat dari kursi. Untung saja Oka tetap aman dalam gendongannya.

"Kok Bude bisa kenal sama Isac?"

Dhara berjalan mendekat ke pagar. Kini jarak mereka sangat lah dekat.

"Tadi pagi sempat kenalan di pos ronda. Bareng ibu-ibu yang lain juga."

"Pos ronda?" Dhara masih gagal paham.

"Gini, lho," Ratih memulai ceritanya. "Tadi pagi Bude sama ibu-ibu yang lain lagi beli sayur di pos ronda. Bude lihat ada laki-laki yang datang ke rumahmu. Karena pagar rumahmu ditutup rapat, Bude pikir nggak ada orang makanya Bude panggil terus kami ngobrol di pos ronda."

Rumah Dhara dekat dengan perempatan. Dimana ada pos ronda yang cukup terawat di sana. Kalau malam dipakai para bujang atau bapak-bapak main kartu. Sedangkan dipagi hari digunakan para ibu menunggu tukang sayur keliling langganan mereka.

Tadi pagi Isac memang datang berkunjung. Karena malas meladeni laki-laki itu, dia pura-pura tidak mendengar seruan yang memanggil namanya. Dhara pikir setelahnya Isac langsung pergi, karena suaranya tidak lagi terdengar. Dia tidak menyangka kalau laki-laki itu malah join dengan emak-emak yang sedang belanja sayur.

"Jadi benar dia Papanya Oka?"

"Ya ... gitu."

"Dia datang mau ngapain, Ra? Mau jemput Oka, ya?"

Dhara menggeleng. "Dhara nggak paham maksud dia apa. Malas juga mau tanya-tanya lebih lanjut."

"Tapi orangnya baik, lho," Ratih nampak menggebu-gebu saat mengatakan itu. "Sopan banget, nggak ada tampang-tampang bajingan."

"Jaman sekarang tampang nggak menjamin kelakuan, Bude," kata Dhara penuh penekanan. "Emangnya tadi ngobrol apa aja?"

"Ngobrol banyak. Tadi kami nongkrong lama di pos ronda."

Dhara berdecak kagum. "Kuat juga dia meladeni para emak."

"Isac ganteng, ya. Sayangnya dia punya masa lalu yang pahit."

Dhara pun pernah berpikir hal serupa. Ketika pertama kali mereka bertemu di restoran. Kala itu Dhara iri dengan Popi yang bisa mendapatkan pasangan seperti Isac.

Nahas. Bayangan indah soal Isac sudah melebur menjadi sebuah kebencian semenjak Popi datang ke rumah dimalam itu dengan tangisan yang menyesakkan dada.


***


"Kok, Ibu belanja banyak banget?"

Dhara takjub melihat empat kotak susu formula, dua kotak mainan bayi, dan beberapa produk perawatan bayi. Seperti sabun mandi, sampo, body lotion, sampai parfum. Semua itu menumpuk di sofa ruang tv.

Mira keluar dari kamarnya. Setelah pulang dari warung tadi, dia bergegas mandi supaya bisa menggendong Oka. "Itu semua dari Isac."

Kotak susu yang tadinya ada di tangan Dhara langsung meluncur ke lantai. "Harusnya tolak aja, Bu."

"Ibu sama Bapak bingung gimana nolaknya."
Benar, ya, kata orang. Makin tua maka hati kita makin sensitif dan tidak tegaan. Makin mudah juga untuk diluluhkan hatinya.

"Terima aja, Ra, itu rejekinya Oka."

Dhara mengambil kotak susu yang terjauh di lantai. Setelah dilihat-lihat, Dhara heran dari mana Isac tahu merk susu formula yang diminum Oka.

Benjamin datang bersama Oka. Dia menggendong Oka dengan jarik bermotif batik. "Kalau bukan Oka, siapa lagi yang mau pakai itu semua? Masak iya Bapak yang harus minum susu formula."

"Terus Ibu yang keramas pakai sampo bayi?" tambah Mira.

Pusing sekali kepala Dhara. Entah kenapa sosok Isac mulai memasuki kehidupan mereka. Padahal sebelumnya aman-aman saja, nyaman-nyaman saja. Dhara rindu hari-hari dimana nama Isac tidak perlu disebut di antara mereka.


-Bersambung-

~

Punya kritik & saran? Yuk, dikomen.

Suka sama cerita ini? Jgn lupa Vote.

What Popi Left Behind [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang