40 | Tiba-tiba rindu

570 61 4
                                    


Pukul satu malam Oka terbangun lalu menangis. Dia tidak demam, tubuhnya dalam kondisi baik. Dhara membuatkannya susu, namun ditolak. Seisi rumah kalang kabut. Oka sudah pindah tangan beberapa kali, tapi tetap tidak tenang.

"Maunya sama Isac mungkin, Ra," celetuk Mira setelah menyerahkan Oka pada suaminya. "Kemarin sore waktu Isac pulang, Oka nangis nggak mau ditinggal."

Kemarin Oka memang enggan berpisah dari Isac. Butuh usaha keras untuk melepaskan Oka dari gendongan laki-laki itu. Isac sendiri terpaksa pergi karena ada pekerjaan.

Benjamin ikut menambahi, "kalau dibiarkan begini, kayaknya Oka bakal nangis sampai pagi."

"Gimana kalau kita telfon Isac?" Dhara mengusulkan ide. "Atau Video call."

Mira dan Benjamin setuju.

Untungnya Dhara dan Isac sudah bertukar nomor ponsel, jadi Dhara bisa segera menghubungi laki-laki itu.

"Halo?" seru Dhara saat panggilan di terima.

"Kenapa, Ra?" suara Isac terdengar parau.

"Maaf, ya, gue ganggu. Ini Oka nangis terus dari tadi."

"Oka kenapa? Demam?" Isac jelas sekali khawatir. "Gue harus gimana?"

"Oka nggak sakit, cuma lagi nangis." Dhara mengelus punggung mungil itu. "Bisa video call, nggak? Sebentar aja nggak pa-pa. Siapa tahu kalau lihat elo, Oka jadi tenang."

"Gue ke sana aja, Ra."

"Eh, nggak usah." Dhara menatap Mira dan Benjamin bergantian. Ia gelagapan.

"Tunggu, ya, gue siap-siap dulu."

"Gimana?" tanya Mira ketika Dhara menjauhkan ponsel dari telinga. "Kok telfonnya mati? Isac lagi sibuk?"

Dhara menggaruk kepalanya. "Dia mau ke sini."


Kurang dari setengah jam Isac sampai di rumah Benjamin. Tatkala melihat Isac, Oka langsung mengangkat kedua tangannya. Dan dalam dekapan laki-laki itu, Oka masih sempat menangis namun tidak seheboh tadi. Sampai akhirnya si bayi kelelahan dan Isac memberikannya susu formula.

"Kan, bener kata ibu," Mira menyombongkan diri. "Oka pengin ketemu Papanya."

Setelah keramaian yang disebabkan oleh Oka usai, kini mereka merasa lelah.

Isac dengan telaten memegangi botol susu yang sedang disedot Oka. "Kangen sama Papa, ya?" Dia menepuk-nepuk pelan paha Oka. "Maaf, ya, kemarin ditinggal. Oka masih marah sama Papa?"

Dhara masih tak habis pikir. Bisa-bisanya Oka sangat lengket pada Isac.

Benjamin dan Mira pamit masuk ke kamar. Mereka harus menyempatkan tidur supaya nanti bisa bangun dalam kondisi yang fit.

Dhara membawa Isac ke kamar yang biasa digunakan Giri. Karena takut Oka kembali ngereog, dia membiarkan bayi itu tidur bersama Isac.

"Lo harus bangun pagi, nggak?"

Isac yang sudah merebahkan diri di kasur menoleh ke pintu. "Ya?"

"Siapa tahu pagi-pagi lo ada urusan, nanti gue bangunin."

"Besok pagi gue mau nunggu sampai Oka bangun." Dengan lembut Isac mendekap dan mengelus Oka.

Ada perasaan aneh yang menjalari hati Dhara saat melihat pemandangan itu.

Dulu kamar itu milik Popi. Benjamin sendiri yang merenovasi sesuai selera Popi. Giri sampai iri karena Popi mendapat tempat pribadi di rumah itu.

Tidak ingin larut dalam kesedihan, Dhara bergegas masuk ke kamarnya sendiri. Dia tidak langsung tidur, tangannya sibuk mencari foto-foto kenangan bersama Popi.

Muncul sebuah foto berlatar kamar rumah sakit. Foto itu diambil beberapa jam sebelum Popi melahirkan. Dia sendiri yang meminta mereka berdua untuk selfi, padahal sedang menahan sakit kontraksi.

"Popi ...." Mata Dhara berkaca-kaca ketika melihat senyuman Popi di foto itu. "Gue pikir gue udah jadi sahabat yang baik, ternyata sampai akhir gue sama sekali nggak memahami elo."

Meski Popi pernah berpesan untuk tidak mencari keluarganya, namun Benjamin tidak setuju akan hal itu. Seminggu setelah Popi meninggal, berbekal KTP milik perempuan itu, Benjamin dan Dhara terbang langsung ke Surabaya. Mereka mendatangi rumah Popi.

Akan tetapi rumah itu sudah kosong sejak lama. Seorang tetangga menginformasikan bahwa pemiliknya pindah entah kemana. Tak satupun dari warga yang akrab dengan pemilik rumah itu. Selain karena mereka bukan orang asli situ, juga karena mereka cenderung menutup diri.

Dhara menggeser ke foto selanjutnya.

"Kenapa lo nggak pernah cerita kalau ada dua 'Isac' di dalam hidup lo?" Ia mengusap air mata yang membanjiri pipinya. "Kenapa semua penderitaan ini harus lo hadapi sendirian?"


-Bersambung-

~

Punya kritik & saran? Yuk, dikomen.

Suka sama cerita ini? Jgn lupa Vote.

What Popi Left Behind [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang