Mira bergegas membawa Oka masuk ke rumah. Meski putrinya tidak mengatakan apapun, tetapi dia tahu kalau langkah itu yang paling tepat. Dia sendiri belum rela membiarkan ayah tidak bertanggung jawab itu melihat wajah putranya yang selama ini disia-siakan.
"Mau apa lagi?" Dhara menjaga nada suaranya supaya tidak meninggi. Hari masih pagi, dia tidak ingin menarik perhatian para tetangga.
"Gue nggak akan menyerah," Isac berkata dengan percaya diri. "Gue datang bukan untuk merebut Oka dari kalian. Maksud dari 'tanggung jawab' yang gue bilang semalam, itu dalam bentuk finansial dan juga kehadiran gue sebagai ayah."
Dhara menarik napas dalam-dalam. Beruntung cuaca belum terlalu terik, jadi tidak menambah panas di kepalanya. "Oka nggak butuh uang lo. Selama ini dia baik-baik aja tanpa kehadiran seorang ayah. Apalagi ayah macam lo gini!"
"Tolong kasih gue kesempatan."
"Harusnya lo minta kesempatan itu waktu Popi masih ada. Waktu Popi merengek minta lo bertanggung jawab. Sekarang kesempatan lo udah habis."
Isac tak acuh dengan penolakan dari Dhara. Dia malah mengeluarkan dompet dan selanjutnya sebuah kartu ATM ditarik dengan mulus.
"Apa, sih!" Dhara sewot saat kartu itu disodorkan padanya. "Lo mau nyaleg? Pake segala nyuap gue. Nggak mempan!"
Isac meletakkan benda tipis itu ke salah satu pot yang berada di dekat kakinya. "Itu untuk kebutuhan Oka. Pin-nya tanggal lahir Popi, lo pasti tahu."
"HEH! Gue nggak sudi terima duit lo!" Akhirnya jeritan itu keluar. Dhara tidak lagi mempedulikan tetangga kanan kiri yang barang kali akan langsung keluar dari rumah setelah mendengar sauranya yang cempreng itu.
Dhara menyambar kartu yang ada di pot. Niatnya ingin dikembalikan ke Isac yang sudah naik ke atas motor. Namun langkahnya terhenti setelah mendengar suara Mira yang memanggil namanya dari dalam rumah. Dia jadi gamang. Antara mengejar Isac atau segera menemui Mira.
"RA! Dhara!!"
Lagi-lagi Mira memekik. Dhara jadi kepikiran soal Oka. Dia takut terjadi sesuatu pada bayi itu. Persetan dengan Isac. Ia langsung ngacir ke dalam rumah.
"Kenapa, Buuu?" Dhara belingsatan mencari Mira dan Oka. Detik berikutnya ia mendapati dua orang yang dicari sejak tadi sedang duduk di depan televisi.
"Gawat! Kita harus segera ke warung."
Dhara masih mengatur napasnya yang tersengal-sengal. Paling tidak dia sudah memastikan Oka dalam keadaan baik-baik saja.
"Buru-buru banget. Mau ngapain?"
"Ada pesanan mendadak dari temannya Bapak. Mau diambil jam empat."
"Berapa porsi?"
"Delapan puluh porsi."
Mata Dhara terbuka lebar. Mulutnya melongo.
"Cepetan kamu siap-siap. Kita ke warung sekarang."
"Tungguin, Bu. Aku bakal mandi secepat kilat."
***
Walaupun mendadak, Benjamin tidak menolak pesanan itu. Dia bergegas mencari bala bantuan dari tetangga. Untungnya selalu ada saja yang bisa membantu. Tentu saja Benjamin memastikan tenaga yang mereka keluarkan tidak cuma-cuma.
Siang ini ada Giati dan Iin yang membantu. Dua ibu rumah tangga yang paling sering dimintai pertolongan. Kerja mereka sangat bagus, bisa mengimbangi kecepatan Jayastu dan Elia.
KAMU SEDANG MEMBACA
What Popi Left Behind [END]
General FictionPopi meninggal setelah melahirkan Oka. Dan Dhara menjadi satu-satunya orang yang dipercaya untuk menjaga bayi mungil itu. Saat Oka berumur lima bulan, Isac-mantan Popi-muncul. "Sekarang gue ada di sini. Gue akan bertanggung jawab," kata Isac penu...