RVSD 12 | Mulas

494 62 3
                                    


Tiap dua minggu sekali warung tutup. Tepatnya di awal dan di akhir bulan. Pertama kali jadwal libur ini diterapkan, banyak pelanggan yang kecewa karena tidak ada pemberitahuan sebelumnya. Sehingga ada saja pelanggan yang datang saat warung libur. Kalau sekarang, hal itu tidak mungkin terjadi. Sebab Benjamin sudah memasang banner berisi jadwal warung, juga Dhara rajin menginformasikan hal itu di media sosial.


Hari ini Penyetan Pak Ben tutup.

Rumah terasa sepi karena Benjamin dan Mira sedang pergi ke Bogor untuk menghadiri pesta pernikahan.

"Aduh! Perut gue." Dhara meremas perutnya. "Ini pasti gara-gara rujaknya Elia."

Kemarin Elia membawa rujak. Dhara dan Jayastu langsung kalap melihat buah-buahan segar yang dilumuri sambal pedas. Mira sudah mengingatkan untuk tidak makan berlebihan, namun mereka tak acuh.

Dengan susah payah Dhara turun dari tempat tidur. Dia mengangkat Oka yang sedang berceloteh sendiri. Kakinya keluar kamar menuju dapur.

"Duh ..." Dhara kembali merintih kesakitan. Kaos yang ia kenakan sampai kucel karena terus diremas. "Gimana, nih. Mama harus ke toilet, kamu mau dititip ke siapa?"

Walaupun sedang kesakitan, kepala Dhara masih bisa berpikir jernih. Dia tidak mungkin buang hajat sambil menggendong Oka. Ia tidak tega karena bau di dalam sana pasti sangat menyengat.

Dengan langkah gontai Dhara keluar rumah. Berharap ada tetangga yang bisa membantunya menjaga Oka. Namun yang didapati malah suasana yang sunyi seperti tanah kosong tak berpenghuni.

Dhara tidak bisa meminta tolong pada Jayastu atau Elia. Karena dari story yang mereka unggah sekitar lima belas menit yang lalu, terlihat mereka berdua sedang kencan dengan pacar masing-masing.

Dhara duduk di kursi plastik yang ada di teras. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, dia berusaha supaya Oka tetap aman di gendongannya.

Kalau saja umur Oka masih di bawah lima bulan. Dhara bisa dengan mudah meninggalkannya sendiri di tempat tidur. Masalahnya sekarang Oka sudah bisa bergerak sedikit demi sedikit menuju tepi kasur. Akan sangat berbahaya jika ditinggalkan seorang diri.

Sudah setengah putus asa. Seseorang berjalan membuka pintu gerbang yang memang tidak terkunci. Dhara bersorak dalam hati tatkala melihat Ngadino tersenyum sambil melambaikan tangan. Akhirnya petolongan datang.

"Lu kenapa, Ra?" tanya Ngadino begitu sampai di teras. "Sakit?"

"Mbah, boleh titip Oka sebentar?" Dhara mengatakan itu sembari meringis kesakitan. "Aku lagi sakit perut. Mules, Mbah."

Ngadino segera mengangkat Oka dari pangkuan Dhara. "Lu tenang aja, Oka aman sama gua."

Dengan tubuh sedikit membungkuk, Dhara beranjak dari kursi. "Titip, ya, Mbah Ngad."


***


Sudah tidak terhitung berapa kali Dhara keluar masuk kamar mandi. Badannya lemas, seperti habis mendaki gunung. Di tengah-tengah rasa mulas yang tidak kunjung mereda, terselip rasa khawatir dengan kondisi Oka yang ia titipkan ke Ngadino. Jangankan berjalan ke luar rumah, baru satu langkah menjauh dari pintu kamar mandi saja perutnya sudah mulas lagi. Dia tidak punya kesempatan untuk mengecek Oka.

"Ra."

Ngadino datang dengan wajah gusar. Oka yang sedang ia gendong terlihat tidak nyaman dengan posisinya.

"Oka beol, Ra. Mbah bingung harus gimana."

Dhara yang sedang berjongkok di dekat pintu kamar mandi lantas menegakkan tubuhnya. "Sini, Mbah, biar aku aj–duh, perut gue." Lagi-lagi perutnya melilit tak tertahankan. Dan bersamaan dengan itu, Oka merengek. Pasti si bayi tidak nyaman dengan popok yang lembab.

"Anu ... di depan ada Isac," ucap Ngadino. "Dia bilang mau membantu, tapi harus dapat izin dulu dari kamu."

Dhara berada di posisi yang sulit. Perutnya melilit, dia harus segera kembali nongkrong di kloset. Mustahil bagi dirinya untuk mengganti popok Oka.

"Gimana ini, Ra." Ngadino panik sebab tangisan Oka makin kencang. Bayi itu menggeliat seakan minta diturunkan dari gendongan.

"Yaudah, Mbah." Dhara mengalah. "Biar Isac yang ganti popoknya Oka." Bulir-bulir keringat memenuhi keningnya, sebagai pertanda bahwa ada gelombang rasa sakit yang tengah ia tahan. "Mbah harus tetap mendampingi Oka, ya."

Dengan yakin Ngadino mengangguk.



Setengah jam lebih Dhara berjibaku dengan rasa mulas di kamar mandi. Kini perutnya terasa lebih baik. Dengan langkah setengah diseret, dia berjalan menuju ruang tamu. Dia duduk di salah satu sofa dengan posisi setengah berbaring.

Suara langkah kaki yang terdengar makin mendekat membuat Dhara membuka mata. Ada Isac di sana, berdiri menjulang di hadapanya. Oka nampak nyaman dalam dekapan laki-laki itu. Tidak ketinggalan Ngadino menyusul di belakang.

"Masih sakit, Ra?" tanya Ngadino dengan nada khawatir.

"Udah mendingan, Mbah."

"Kalau gitu bisa gua tinggal?" Ngadino sempat melirik jam yang melingkari tangan kirinya. "Pak RT ngajakin main catur."

Ngadino dan catur memang kombinasi yang tidak akan pernah bisa terpisahkan.

"Gua main di rumah, Ra. Kalau lu butuh apa-apa telfon aja. Atau teriak juga boleh, gua pasti denger," lanjut Ngadino.

Dhara membiarkan Ngadino pulang. Tidak lupa dia mengucapkan terima kasih karena sudah menjaga Oka.

Setelah Ngadino pergi, Dhara mengambil Oka dari Isac. Baru juga sebentar berada di sisinya, bayi itu menangis. Tangannya terus mengarah pada Isac. "Kok nangis? Oka, ini Mama." Dhara berusaha menunjukkan wajahnya pada Oka, tapi bocah itu tidak peduli. Matanya yang berair terus menatap Isac. Kini suara tangisannya makin nyaring terdengar.

"Sini, biar gue yang gendong." Secara mengejutkan tangisan Oka berangsur mereda setelah berada di pelukan Isac. "Masih mau digendong Papa, ya?"

"Udah dibilang jangan sebut diri lo 'papa'."

"Gue maunya dipanggil 'papa'. Kalau lo keberatan, lo aja yang ganti panggilan."

"Kalau gitu lo jangan protes soal Giri yang nyebut dirinya 'papa' ke Oka."

"Status gue sama Giri jelas beda. Gue ini beneran Papanya Oka," kata Isac. "Dan gue keberatan dia terlalu dekat sama Oka. Bisa-bisa nanti Oka menganggap Giri itu Papanya betulan."

Kalau tadi perutnya yang bermasalah, sekarang kepala Dhara yang berulah. Dan sudah jelas disebabkan oleh Isac yang banyak bicara. Dia berharap orang tuanya cepat pulang supaya dia bisa segera mengusir laki-laki itu dari rumahnya.


-Bersambung-

~

Punya kritik & saran? Yuk, dikomen.

Suka sama cerita ini? Jgn lupa Vote.

What Popi Left Behind [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang