Tanpa Isac sadari, ada seorang perampok yang masuk bersamanya ke minimarket. Awalnya tidak ada yang mencurigakan. Sampai ketika Isac menuju meja kasir hendak membayar susu, dia melihat pegawai perempuan yang ketakutan karena ada seorang laki-laki bermasker hitam menodongnya dengan pisau.
Isac melangkah besar-besar untuk menolong pegawai itu. Mereka sempat berdebat, dia sengaja mengecoh konsentrasi si perampok. Dan rencannya berhasil. Saat itulah Isac melempar wajah laki-laki berbaju hitam dengan kotak susu, lalu pegawai itu langsung menyelamatkan diri.
Si perampok yang merasa posisinya tersudutkan, lantas berlari membabi buta ke arah pintu untuk melarikan diri. Saat itulah mereka saling bertabrakan dan menyebabkan tangan kanan Isac tersayat pisau yang dipegang perampok itu.
***
Mereka sampai di rumah Isac. Selepas keluar dari mobil, Giri meloloskan Oka dari car seat. "Oka biar sama gue," ucapnya pelan.
Giri datang ke rumah sakit setelah mendapat telepon dari Dhara. Karena perempuan itu tidak mungkin menyetir dalam kondisi syok, satu-satunya bala bantuan yang terpikirkan olehnya tentu saja Giri.
Sementara itu Dhara terus mengekori Isac yang berjalan masuk ke rumah.
"Lo butuh bantuan, nggak?" tanya Dhara ketika Isac berbalik dan menatapnya. Mereka sudah berada di depan pintu kamar berwarna putih.
Dengan tangan kirinya Isac menyentuh lengan Dhara. "Ra, gue baik-baik aja. Jangan khawatir."
Selama mereka berada di rumah sakit, Dhara tidak banyak berkomentar. Perempuan itu mendadak jadi pendiam. Isac tahu kalau Dhara sangat mengkhawatirkannya.
"Tangan lo lagi sakit, jangan bilang 'baik-baik aja'." Kejutekan Dhara muncul ke permukaan, membuat Isac sedikit lega.
"Kata dokter lukanya nggak dalam, bukan luka serius." Isac munjukkan tangan kanannya yang terbalut perban, tepatnya di bawah siku.
"Tapi lo ..." suara Dhara tercekat, matanya memanas. Dia tak sanggup menatap Isac. Kepalanya menunduk menyembuyikan genangan air pada pelupuk matanya.
Beberapa jam yang lalu saat Dhara mendapati Isac keluar dari minimarket dengan kondisi tangan terluka dan mengeluarkan banyak darah. Kepalanya terngiang kalimat kasar yang pernah ia lontarkan untuk laki-laki itu.
"Harusnya lo aja yang mati!"
Seketika Dhara dibanjiri rasa bersalah dan ketakutan yang amat deras. Dia ingin menarik semua kata-kata kasarnya. Ia takut ucapannya menjadi kenyataan.
Pelan-pelan Isac membawa Dhara ke pelukannya. Dengan tangan kanan yang masih terluka, dia tidak bisa mendekap perempuan itu dengan sempurna.
Dhara tidak menolak, malah kedua tangannya melingkari tubuh Isac. Lalu tangisnya pun pecah.
"Lo ... jangan mati, ya," ucap Dhara di sela tangisannya. "Gue ... gue takut ... lo mati."
Tangan kiri Isac menepuk-nepuk pelan punggung Dhara. Berusaha menenangkan perempuan yang sedang terisak di dadanya. "Maaf, ya, Ra. Gue bikin lo nangis. Sorry."
***
Selesai membersihkan diri Isac bergegas turun menemui Dhara dan Giri. Ia mengenakan chino pants dan kemeja lengan pendek.
"Lo mau pamer?" tanya Giri dengan gusar. "Sorry, Bro. Gue juga punya, malah bagusan punya gue."
Kening Isac mengernyit. Dia tidak paham.
"Baju lo nggak dikancing!" tambah Giri.
"Oh, ini." Isac menyentuh kemejanya yang memang tidak terkancing. Alhasil dada dan perutnya jadi terlihat. "Susah pasang kancing pakai satu tangan." Dia sudah memaksakan diri untuk menggunakan tangan kanannya, tetapi rasa nyeri langsung melanda.
"Harus banget gue yang ngancingin?"
Penawaran dari Giri membuat Isac mundur selangkah. "Ide lo di luar nalar."
"Biar gue aja." Dhara bangkit dari sofa empuk itu.
"Gue tahu posisi dan suasana udah sangat mendukung." Giri berdehem-dehem. "Tapi kalian jangan tiba-tiba cipokan, ya! Jangan menodai mata gue yang suci ini dengan hal-hal tidak senonoh!"
"Mulut lo!" Ingin sekali Dhara melempar Giri dengan sesuatu.
Giri berdiri lalu berkata, "gue sama Oka ke mobil duluan."
Setelah selesai dengan urusan kancing, Isac mengantar Dhara sampai di ambang pintu. Mereka berdua terdiam sejenak sembari memperhatikan Giri yang sedang menaruh Oka ke car seat.
"Gue pulang, ya."
Tangan Isac terangkat menuju wajah Dhara. Ia meraih helaian rambut yang ada di pipi perempuan itu kemudian disampirkan ke belakang telinga. "Sebenernya gue nggak rela lo sama Oka pulangnya diantar Giri." Isac meraih salah satu tangan Dhara. "Gue beneran lagi cemburu ini."
"Iya, tahu." Dhara membalas genggaman tangan Isac. "Udah malam, gue harus pulang."
Isac masih enggan melepaskan tautan tangan mereka. Andai saja bisa, dia ingin merengkuh perempuan itu sepanjang malam. "Nanti kalau dia aneh-aneh, lo langsu–"
Gerakan cepat dari Dhara berhasil membuat Isac terperangah dan tak bisa melanjutkan kata-katanya. Kecupan di pipi itu memang sangat singkat, namun berhasil memadamkan api cemburu di dada Isac.
-Bersambung-
~
Punya kritik & saran? Yuk, dikomen.
Suka sama cerita ini? Jgn lupa Vote.
KAMU SEDANG MEMBACA
What Popi Left Behind [END]
General FictionPopi meninggal setelah melahirkan Oka. Dan Dhara menjadi satu-satunya orang yang dipercaya untuk menjaga bayi mungil itu. Saat Oka berumur lima bulan, Isac-mantan Popi-muncul. "Sekarang gue ada di sini. Gue akan bertanggung jawab," kata Isac penu...