Bukannya ke rumah sakit, Isac malah membawa motornya memasuki pelataran sebuah klinik. Dhara langsung siaga. Penerangan di sana cukup bagus, ada banyak lampu yang menerangi hampir ditiap sudut.
"Kok ke sini? Tadi gue bilang ke rumah sakit terdekat."
"Ini klinik terdekat," timpal Isac sebelum protes Dhara makin panjang. "Dokter di sini teman gue. Dia dokter anak."
Isac berniat membantu Dhara. Dia yakin tangan perempuan itu pasti pegal setelah menggendong Oka sejak tadi.
"Mau ngapain?" Dhara mundur selangkah. Gerakannya membuat Oka terganggu.
"Lo nggak capek gendong dari tadi?" tanya Isac dengan nada khawatir. "Sini gantian."
"Nggak!" jawab Dhara lantas beranjak meninggalkan Isac. Dia menuju pintu kaca dengan tulisan open menggantung di sana. Ketika hendak meraih gagang pintu, Isac lebih dulu membukakan pintu itu untuknya.
Mereka masuk ke sana dan disambut seorang perempuan yang berdiri dibalik meja resepsionis. Perempuan berkerudung biru laut itu pun menyapa.
"Dokter Rui ada?" tanya Isac.
Perempuan itu mengangguk. "Ada. Beliau sedang–"
"Isac?" Seorang laki-laki dengan tampilan semi formal keluar dari sebuah ruangan. "Tumben ke sini. Lo mau ngapain?"
"Lo kan dokter. Gue ke sini pastinya mau berobat."
"Gue dokter anak, Bro."
"Bukan gue yang sakit, tapi anak gue." Isac menyingkir sedikit supaya teman dihadapannya mengalihkan pandangannya pada Dhara dan Oka yang sedari tadi tertutupi punggungnya.
Rui menatap Isac dan Dhara bergantian. "Lo kapan kawin? Kok gue nggak diundang?"
"Pertanyaan lo disimpan untuk nanti. Ini Oka panasnya tinggi banget."
Dengan kondisi setengah bingung. Rui membawa Isac dan Dhara menuju ruang periksa. Ketika direbahkan ke brankar, Oka sempat merengek. Untungnya tidak pecah jadi tangisan yang bisa membuat suasana makin mencekam.
Dari ekspresi Rui yang santai setelah memeriksa Oka. Dhara punya firasat baik. Dia yakin bahwa demam yang dialami Oka bukan demam yang membahayakan.
"Gimana?" tembak Isac langsung begitu Rui menduduki kursi di balik meja.
"Jangan khawatir, ini demam biasa." Begitulah penuturan Rui. "Beberapa hari ini gue menerima pasien dengan gejala serupa. Lagi pancaroba, kalau fisik nggak kuat bisa meriang."
Isac menarik satu kursi lalu mempersilakan Dhara duduk di sana. Tidak ada penolakan seperti sebelumnya. Perempuan itu langsung duduk tanpa protes. Isac mengulum senyum. Dia yakin Dhara sedang tidak sadar dengan apa yang baru saja terjadi.
"Oka perlu dirawat inap nggak, Dok?"
"Tidak perlu. Nanti sampai di rumah obatnya langsung diminum, ya." Rui menyempatkan diri menatap Oka yang sudah kembali tertidur.
Setelah mendapatkan obat, Isac buru-buru pamit. Dia yakin Rui akan memberondongnya dengan berbagai pertanyaan kalau mereka tidak segera angkat kaki dari sana.
***
Dari klinik, Isac mengantar Dhara dan Oka pulang ke rumah. Sesampainya di sana, bangunan itu nampak sepi tak berpenghuni. Wajar saja karena Benjamin dan Mira masih di warung.
Pintu rumah terbuka. Dhara masuk untuk menyalakan lampu-lampu. Setelahnya dia menyiapkan obat untuk Oka.
Selesai dengan urusan obat, Dhara menimang-nimang Oka supaya bocah itu kembali tertidur. Tidak membutuhkan waktu lama, dalam sekejab Oka sudah kembali terlelap. Dhara lega karena Oka tidak rewel seperti tadi. Sekarang tinggal menunggu reaksi obat sehingga demam bisa segera turun.
Baru saja berhasil mendaratkan tubuh Oka ke kasur. Dhara teringat dengan keberadaan Isac yang terlupakan. Dia benar-benar lupa karena fokusnya terus tertuju pada Oka. Dia turun dari kasur lalu menuju pintu depan. Daun pintu masih terbuka lebar dengan seseorang yang sedang duduk di teras.
"Lo kenapa nggak pulang?" tanya Dhara keheranan.
Isac langsung berdiri. "Belum pamit," jawabnya. "Pintu rumah lo kebuka gini. Lo-nya lagi sibuk mengurus Oka. Nanti kalau ada maling gimana?" Dia bisa melihat raut lelah pada wajah perempuan itu. "Gue pulang, ya."
"Makasih."
Tubuh Isac tersentak. Dia berbalik badan untuk kembali menatap Dhara.
"Sebenci-bencinya gue sama elo, gue bukan orang yang nggak tahu cara berterima kasih."
"Oke, sama-sama." Hanya kata singkat itu yang keluar dari mulut Isac.Sekaligus menjadi penutup percakapan mereka malam itu.
***
Bisa ditebak apa yang dilakukan Benjamin dan Mira sesampainya mereka di rumah. Tentu saja masuk ke kamar Dhara untuk melihat cucu kesayangan. Mereka baru bisa bernapas lega setelah melihat langsung kondisi Oka. Sekalipun tadi Dhara sudah menelepon, tetap saja hati mereka belum bisa tenang.
"Bu, jangan terlalu dekat sama kasur. Kita dari warung, belum bersih-bersih." Pelan-pelan Benjamin menarik lengan Mira mendekat ke sisinya. "Demamnya gimana, Ra?"
"Udah mulai turun, Pak."
"Tadinya Ibu mau nekat nyusul ke klinik, tapi nggak tega lihat Bapak kewalahan karena warung lagi ramai."
Benjamin teringat sesuatu. "Isac gimana?"
"Udah pulang dari tadi."
"Kamu bilang makasih nggak?"
"Iya, Bu. Tenang aja," jawab Dhara.
Mira mengacungkan dua jempol untuk Dhara. "Omong-omong ATM-nya Isac udah kamu kembalikan?"
Mata Dhara melebar. "Duh! Aku nggak ingat sama sekali."
"Terus tadi yang bayar obat siapa?" Mira bertanya lagi. Dan pertanyaannya itu mendapat sikutan dari Benjamin. "Ibu cuma penasaran, Pak."
"Aku yang bayar," ujar Dhara. "Tadinya Isac mau bayarin, tapi aku tolak."
Benjamin menarik-narik ujung baju Mira. "Interogasinya dilanjut besok pagi. Sekarang kita semua butuh istirahat." Dia membawa istrinya keluar dari kamar.
-Bersambung-
~
Punya kritik & saran? Yuk, dikomen.
Suka sama cerita ini? Jgn lupa Vote.
KAMU SEDANG MEMBACA
What Popi Left Behind [END]
Fiksi UmumPopi meninggal setelah melahirkan Oka. Dan Dhara menjadi satu-satunya orang yang dipercaya untuk menjaga bayi mungil itu. Saat Oka berumur lima bulan, Isac-mantan Popi-muncul. "Sekarang gue ada di sini. Gue akan bertanggung jawab," kata Isac penu...