37 | Bakpia kukus

433 59 10
                                    


Sudah lebih dari lima belas hari Dhara sama sekali tidak mendengar kabar dari Isac. Lelaki itu seperti ditelan bumi. Seharusnya Ia tidak perlu meresahkan ketidakhadiran Isac di antara mereka. Semestinya dia senang tidak perlu melihat wajah itu lagi. Tapi yang terjadi sekarang, Dhara malah risau.

Oka sudah molor ketika mereka sampai di rumah. Kini tinggal Dhara, Mira, dan Benjamin yang sedang menonton televisi. Lebih tepatnya Dhara dan Mira sedang menemani Benjamin menonton bola. Meskipun badan lelah setelah seharian wara-wiri di warung, tidak menghalangi Benjamin untuk menonton pertandingan tim jagoannya.

Biasanya Dhara hanya menemani sebentar, bahkan sebelum babak pertama selesai. Sementara Mira dengan setia menemani suaminya sampai pertandingan selesai. Tentu saja Mira tidak benar-benar menikmati pertandingan. Dia akan tidur sehabis membuatkan kopi untuk Benjamin.

"Mau kemana, Ra?" tanya Benjamin saat Dhara berdiri.

"Ke kamar, Pak. Ngantuk."

Belum sampai kakinya di pintu kamar, ponsel yang ia genggam berdering. Melihat nama Giri muncul di layar, dia buru-buru menjawab panggilan itu.

"Ra, bentar lagi gue sampai."

"Lo mau ke sini?"

"Yoi, tolong bukain pagar."

Dhara mengiyakan permintaan Giri lalu panggilan diputus begitu saja.

"Siapa, Ra?" Suara Mira terdengar serak.

"Giri, Bu. Dia mau ke sini."

Mira melirik jam dinding.

"Ibu mau ngapain?" tanya Dhara. Dia melihat Mira tidak lagi rebahan melainkan duduk dan merapikan rambutnya.

"Giri pasti belum makan. Ibu mau lihat nasi di mejikom."

Terdengar suara deru mesin mobil di depan sana. Dhara bergegas menuju pintu depan, membuka kunci, lalu berlarian ke pagar. Perlahan mobil putih milik Giri memasuki pekarangan. Selesai Dhara menutup pagar, mesin mobil pun mati. Giri turun dari sana.

Laki-laki itu mengoper plastik putih berukuran sedang.

Dhara menerima dengan bingung. Namun begitu tahu isi di dalamnya, matanya berbinar-binar. "Wih, yang dari Jogja. Kok nggak bilang-bilang? Biasanya lo bakal tanya ke gue mau nitip apa."

"Itu dari teman gue."

Dhara membiarkan Giri yang menutup dan mengunci pintu.

"Udah berapa kosong, Pak Ben?" Giri bergabung menonton bola.

Benjamin senang akhirnya dia punya teman. "Satu sama."

Giri angguk-angguk.

"Makan dulu, Ri." Mira datang dari dapur. Dia membawa segelas teh panas. "Kamu minumnya teh aja, kalau kopi nanti bergadang sampai pagi. Besok kerja, kan?"

Giri menerima teh itu dengan girang. "Aku makannya nanti aja, mau nyantai dulu sebentar."

Kini suasana tak sesepi tadi. Ada suara Benjamin dan Giri yang bergantian mengomentari pertanding, sementara Dhara dan Mira menikmati bakpia kukus kesukaan mereka.

Saking tidak mau ketinggalan pertandingan, Giri sampai membawa piring nasinya ke depan tv. Dia mengunyah sambil sesekali melontarkan kritik.

"Jangan keras-keras, entar Oka bangun," Dhara menegur dua laki-laki yang sedang gaduh setelah satu gol tercipta.

"Ra, tolong ambilin nasi." Giri menyodorkan piring yang hampir kosong.

"Ambil sendiri."

"Lagi seru ini, Ra." Giri menunjuk layar televisi. "Gue lapar banget."

Dhara menghela napas. Ia menyambar piring dari tangan Giri lalu menuju dapur.

"Ra, tambahin jengkol tiga biji."

Dhara kembali membawa pesanan Giri.

"Thank youu," mulut Giri sampai monyong saking senangnya.


***


Biarpun semalam habis bergadang, Benjamin tetap bangun pagi seperti biasa. Yaitu saat langit masih gelap. Beda lagi dengan Giri yang masih terlelap di depan tv dengan posisi tengkurap dan tubuhnya terselimuti sarung kesayangan Benjamin.

"Heh! Bangun. Jam segini masih molor. Kerja nggak lo?" Dhara menendang-nendang kaki Giri.

Satu tangan Giri mengucek mata, sedangkan tangan yang lain sibuk menggaruk perut. Dengan kesadaran yang belum terkumpul sepenuhnya, dia melihat ke arah jendela yang gordennya sudah tersampir di sisi kiri dan kanan. "Astaga, Ra. Di luar masih gelap gulita. Lo kecepetan bangunin gue."

"Oka aja udah bangun dari tadi."

Giri mencebik kesal. Kini kesadarannya sudah pulih seratus persen. "Oka masih bayi, kerjaannya cuma minum susu sama tidur. Jangan disamain sama gue yang udah dewasa dan banyak beban hidup."
Dhara tertawa mendengar ucapan Giri. "Emang paling bener lo bangun siang. Kalau bangun kepagian gini otak lo suka eror. Tiba-tiba keluar kata-kata mutiara."

"Resek!" Giri menendang sarung yang menutupi kedua kakinya. "Sepi banget ini rumah." Dia baru menyadari bahwa hanya ada mereka bertiga di dalam sana. "Pada kemana?"

"Biasa, ke pasar."

Giri merapikan bekas tempat tidurnya.

"Ra."

Dhara yang hendak melangkah ke dapur menghentikkan kakinya. Ia menoleh. "Kenapa? Jangan lagi ada kata-kata mutiara di antara kita."

"Hasil tes DNA udah keluar."


-Bersambung-

~

Punya kritik & saran? Yuk, dikomen.

Suka sama cerita ini? Jgn lupa Vote.

What Popi Left Behind [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang