"Gue Papanya Oka!" sentak Isac. Suaranya berhasil membuat Rowan membeku. "Bisa-bisanya lo ngatain bayi sampai segitunya. Anak ini masih kecil, dia masih suci!"
Rowan mengusap ujung bibirnya yang berdarah. "Jadi elo, cowok yang kabur itu?" Lalu dia menatap Dhara. "Ra, ini kesempatan bagus buat lo. Mumpung Papanya udah ada, lo kasih aja ke dia. Supaya hidup lo bisa bebas."
Habis sudah kesabaran Dhara. Yang tadinya dia ingin segera mengakhiri semuanya, namun sekarang beda cerita. Dhara mendekap Oka, mengupayakan supaya bayi itu tidak bisa mendengar dan melihat apa yang akan ia lakukan.
Dhara menendang tulang kering Rowan dengan keras. Laki-laki itu langsung berteriak kesakitan.
"Begini nih jadinya kalau tutup panci dikasih nyawa. Omongan lo nggak ada manfaatnya sama sekali. Nyaring doang nggak ada isi!" Dhara memuntahkan segala hal yang sejak tadi berdesakan memenuhi dadanya sampai membuat ia sesak.
Dhara maju selangkah, namun pergerakannya dihalangi Isac. Sebagai gantinya laki-laki itu yang mendekati Rowan.
"Lo salah besar kalau menganggap takdir anak ini nggak sempurna," ujar Isac dengan nada tenang namun tajam. "Hanya karena nggak punya orang tua yang utuh seperti orang lain, bukan berarti hidunya nggak berguna. Karena pada kenyataannya, orang yang hidupnya sempurna seperti lo ini, malah tumbuh jadi seorang bajingan."
Setelah mengatakan itu Isac kembali ke sisi Dhara. "Gue antar pulang."
Wina pun menimpali, "lo balik aja, Ra. Cecunguk ini biar gue yang beresin."
Tanpa bantahan Dhara setuju meninggalkan tempat itu. Dia membelah kerumunan yang ternyata sudah jadi sebanyak itu.
Dhara tidak membawa kendaraan karena lokasi resto tidak terlalu jauh dari warung. Dan ternyata keputusannya sangat lah tepat. Kalau dalam kondisi emosi seperti ini dia membawa kendaraan, entah apa yang akan terjadi pada dirinya dan Oka.
Sepanjang perjalanan baik Dhara maupun Isac tidak ada yang mengeluarkan suara. Begitupun Oka yang sudah tertidur pulas. Di dalam mobil itu Dhara terus diliputi amarah yang belum juga mereda.
Isac menawarkan diri untuk mengantar Dhara pulang ke rumah, tapi perempuan itu menolak. Sesampainya di warung, Dhara langsung ngacir tanpa berbasa-basi.
"Kok muka Dhara butek begitu?" tanya Benjamin setelah Dhara melewatinya tanpa menyapa. "Kalian bertengkar lagi?"
Isac menggeleng dengan bahu merosot. "Bukan bertengkar sama saya, Om."
"Wina sama Dhara berantem?" ucap Mira tidak percaya. "Kadang-kadang mereka emang suka adu mulut, tapi nggak pernah separah ini. Apalagi mereka udah lama nggak ketemu."
"Bukan samaWina," kata Isac yang asal tebak saja padahal dia belum berkenalan dengan perempuan yang tadi ada di resto bersama Dhara. "Ada laki-laki yang cari masalah."
"Jangan-jangan sama Rowan?" Mira menebak dengan mata melebar.
Isac mengangguk lemas.
"Emang biang kerok itu bocah!" Mira meninju-ninju telapak tangannya sendiri. "Sekali-kali harus dikasih pelajaran. Dari dulu mulutnya berbisa!"
"Bu, tenang." Benjamin mengingatkan bahwa mereka sedang ada pelanggan. "KTP-mu gimana?"
Beberapa saat yang lalu Isac datang ke warung untuk mengambil KTP-nya yang ada pada Dhara. Setelah mendapatkan informasi mengenai keberadaan Dhara dari Jayastu, dia langsung meluncur ke resto. Tak disangka-sangka, isac malah mendapati suatu kejadian yang membuat kepalanya mendidih.
"Lain kali aja nggak papa, Om. Sekarang suasana hati Dhara lagi nggak bagus, saya nggak mau memperparah."
Benjamin menepuk-nepuk pundak Isac. "Terima kasih kamu udah antar Dhara dan Oka ke sini."
"Sama-sama, Om."
***
Oka sudah tidur. Sedangkan Dhara, Mira, dan Benjamin masih terjaga di depan tv. Dhara dan Mira tengah melipat pakaian ketika Benjamin sibuk mengganti chanel tv.
"Ra, lain kali kamu harus bawa Ibu ketemu si Rowan-Rowan itu," kata Mira. "Biar Ibu pelintir ginjalnya! Itu anak dikasih mulut sama Tuhan malah dipakai untuk ngomong yang nggak berguna."
Dhara melipat baju dengan gerakan kasar. "Kalau tadi aku nggak lagi gendong Oka, udah kutebas selangkangannya, Bu."
"Bagus! Anak ibu nggak boleh lemah."
"Tadi Isac yang bikin Rowan babak belur?" Benjamin ikut nimbrung setelah berhasil menemukan tayangan tv yang menarik.
"Iya, tadi Isac yang pukul wajahnya Rowan. Terus aku yang tendang kakinya."
Mira langsung mengajak Dhara high five. Mereka seakan-akan merayakan sebuah kemenangan.
"Good." Benjamin mengangguk-angguk.
Dhara meremas kain yang ada di tangannya. "Aku belum puas, Bu, Pak. Harusnya tadi sekalian aja aku lempar kursi ke mukanya Rowan."
"Jangan terlalu gegabah," Benjamin mengingatkan. Sebagai satu-satunya laki-laki dewasa, dia berusaha mendinginkan suasana. "Nanti malah kita yang jadi tersangka. Kalau mau balas dendam, harus dengan cara yang keren. Kalau caranya licik dan kotor, berarti kita satu level sama dia."
"Kapan-kapan jebak aja si Rowan, bikin dia datang ke warung. Terus kita keroyok!" Mira makin menjadi.
Benjamin menghela napas.
"Pak, jangan meremehkan emak-emak," kata Mira berapi-api. "Maksud Ibu 'keroyok' itu bukan kita pukul, tapi pakai cara lain."
Dhara menyeringai. "Kita kasih dia sambal yang pedasnya level seratus, Bu."
Mira mengacungkan jempol. "Kita kasih ayam atau ikan yang udah di goreng berkali-kali, berhari-hari, biar copot giginya."
"Kempesin ban mobilnya!" timpal Dhara.
Bukan lagi satu, kini dua jempol Mira terangkat ke udara. "Mantap!"
Benjamin sudah tidak bisa berkata-kata. Kalau menyela lagi, dipastikan dia kalah. Menjadi lelaki satu-satunya–karena Oka masih bayi–bukan berarti dia selalu menang. Malah dia yang paling sering mengalah. Karena lawannya adalah ras terkuat di bumi.
-Bersambung-
~
Punya kritik & saran? Yuk, dikomen.
Suka sama cerita ini? Jgn lupa Vote.
KAMU SEDANG MEMBACA
What Popi Left Behind [END]
Ficção GeralPopi meninggal setelah melahirkan Oka. Dan Dhara menjadi satu-satunya orang yang dipercaya untuk menjaga bayi mungil itu. Saat Oka berumur lima bulan, Isac-mantan Popi-muncul. "Sekarang gue ada di sini. Gue akan bertanggung jawab," kata Isac penu...