RVSD 19 | Kita kenapa lagi?

452 48 2
                                    


Isac dibuat bingung dengan sikap Dhara yang lagi-lagi membentangkan jarak yang begitu lebar di antara mereka. Setelah kejadian di resto, sikap Dhara kembali seperti semula. Isac tidak diberi izin untuk menyentuh Oka. Hanya boleh melihat dari kejauhan.

"Ra," panggil Isac saat perempuan yang sedang menenteng tas bermotif hewan warna-warni itu hendak masuk ke dalam rumah.

Seharian ini Isac membantu di warung. Selagi membantu, dia mencoba mencari selah untuk berbicara dengan Dhara. Namun perempuan itu selalu saja berhasil melarikan diri. Hingga malam tiba dan Isac mengikuti mereka pulang ke rumah.

Benjamin dan Mira membawa Oka masuk. Sekarang tersisa Isac dan Dhara yang masih bersitatap di ambang pintu.

"Apa?" kata Dhara dengan nada malas. "Lo nggak mau pulang? Ini udah malam."

"Kenapa kita begini lagi?"

Dhara menggaruk kepalanya. Wajahnya terlihat mengantuk. "Apanya yang 'begini'?"

"Kenapa kita menjauh lagi? Kenapa balik ke awal?"

"Sejak kapan kita dekat? Dari awal kita emang begini."

Isac menggeleng tidak setuju.

"Gue nggak suka lo terlalu dekat sama Oka."

"Gue Papanya Oka, Ra."

"Fakta itu yang paling gue benci!" suara Dhara mulai meninggi. "Kalau aja lo nggak kabur, semua nggak akan jadi seperti ini. Lo, Popi, dan Oka pasti baik-baik aja sekarang. Dan Oka nggak bakal jadi cemoohan orang."

Dhara mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Sungguh dia butuh tidur sesegera mungkin.

"Harusnya lo terus aja kabur, nggak perlu muncul lagi," Dhara melanjutkan setelah ada jeda untuknya sekadar menarik napas dalam-dalam. "Seperti kata Bapak, lo tetap Pap–lo orang tuanya Oka. Selama lo kooperatif, gue akan kasih lo kesempatan untuk sesekali pegang Oka."

"Hubungan kita yang seperti ini nggak bagus untuk tumbuh kembang Oka, Ra." Isac memberikan sebuah gagasan. "Lo pikir Oka nggak akan sadar kalau kita musuhan? Oka nggak selamanya jadi bayi, suata saat dia akan dewasa dan mengerti semuanya."

"Dan harusnya itu jadi salah satu ketakutan dalam hidup lo," sambar Dhara. "Setelah Oka dewasa, dia bakal tahu segalanya. Tahu tentang lo yang pernah berpikir untuk membunuhnya."

Isac membeku. Dia kehilangan kata-kata. Kepalanya kosong.

"Mendingan lo pulang. Gue capek dan pastinya lo juga capek."


***


"Biar nggak bete, gimana kalau besok kita jalan? Besok kan kita ulang tahun."

Beberapa hari ini suasana hati Dhara sedang buruk. Jangankan soal ulang tahun, dia bahkan belum menyempatkan diri untuk menelepon Wina.

"Kita mau kemana?"

"Taman Bogor, gimana?"

Ide itu cukup membuat Dhara puas.

"Di sana banyak pepohonan. Semoga nggak terlalu ramai, jadi Oka bisa nyaman."

Dhara pindah posisi. Yang tadinya duduk di depan tv kini masuk ke kamar lalu merebahkan diri di sebelah Oka. "Sekalian besok gue mau beli baju untuk Oka. Bajunya udah pada kekecilan."

"Ra."

"Ya?"

"Lo masih bete sama Isac atau Rowan?"

Seingat Dhara, dia belum menceritakan soal Rowan ke Giri. "Emak gue, ya, yang cerita?"

"Bukan. Wina yang cerita ke gue," ungkap Giri. "Dia khawatir sama elo, Ra."

Dhara jadi merasa bersalah karena dia belum juga menyempatkan waktu untuk menghubungi Wina. Padahal biasanya mereka selalu bertukar kabar entah itu sekadar chat atau voice note. Hal-hal kecil dan remeh selalu bisa menjadi topik pembicaraan yang panjang kalau mereka sudah memulai sesi rumpi.

"Nanti gue telfon Wina."

"Semangat, dong, Ra. Besok kita ulang tahun."

"Gimana mau happy, besok gue makin tua."

"Lo tetap lebih muda dua tahun dari gue. Bukannya itu yang selalu lo banggakan?"

Dhara tersenyum lebar. Giri selalu berhasil memperbaiki suasana hatinya.

"Gue jemput pagi, ya," ucap Giri setelah beberapa saat terdiam. "Awas aja kalau besok lo bangun kesiangan."

"Gue bangun kesiangan karena malamnya jagain Oka yang bentar-bentar kebangun," omel Dhara. "Lo belum tahu aja rasanya mata ngantuk, badan capek, tapi ada bocah yang belum mau tidur. Malah ngajak mainan."

Giri terkekeh. "Tenang, besok gue traktir. Lo yang pilih mau makan apa. Bebas."

"Bener, ya?"

"Iyap."

"Gue mau pesan makanan mahal, lho."

"Oke."

"Yang mahal dan banyak."

"As your wish."


-Bersambung-

~

Punya kritik & saran? Yuk, dikomen.

Suka sama cerita ini? Jgn lupa Vote.

What Popi Left Behind [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang