RVSD 34 | Tanpa ragu

440 66 11
                                    


Giri menepati janjinya. Dia cuti kerja setengah hari untuk ikut rapat keluarga yang diadakan di rumah Benjamin. Tentu saja keikutsertaannya tidak lepas dari izin yang telah ia dapat dari Benjamin.

Di ruang tamu sudah berkumpul lima orang dewasa dan satu bayi. Dhara, Mira, dan Giri duduk di sofa yang sama, sedangkan Benjamin dan Isac masing-masing duduk di single sofa. Posisi Oka sudah bisa tebak, tentu saja di pangkuan Isac. Tiap kali melihat Isac, bayi itu merengek minta gendong. Tak ingin ada tangisan di antara mereka, Dhara membiarkan laki-laki itu memangku Oka.

Giri menyikut lengan Dhara lalu berbisik, "lihat tuh matanya ke sini terus."

Dhara menyadari tatapan Isac yang terus mengarah padanya. "Lo yang nyari penyakit!" gumam Dhara. Giri sengaja duduk menempel padanya untuk melihat respon Isac.

Dhara masih kepikiran omongan Giri semalam. Mengenai dirinya yang ada rasa pada Isac. Karena itulah dia jadi salah tingkah dan berhati-hati tiap kali menatap Isac. Sebisa mungkin ia menghindari kontak mata diantara mereka. Dia ingin membuktikan kepada Giri bahwa dugaan Dhara naksir Isac salah besar.

Benjamin berdehem satu kali, pertanda rapat di mulai. Ia meminta perhatian dari semua orang yang ada di sana.

"Giri punya rekomendasi dokter yang akan membantu kita untuk Tes DNA." Benjamin menunjuk Giri dengan dagunya. "Apa kamu setuju?" tanyanya pada Isac.

Isac langsung mengangguk. "Saya setuju, Om," jawab Isac. "Menurut saya, lebih baik dari pihak Om yang memilih dokter dan juga rumah sakit. Kalau saya yang pilih, takutnya ada dugaan merekayasa hasil tes DNA."

"Nanti gue tanya ke teman gue kapan kita bisa konsultasi," kata Giri menambahi.

Isac sama sekali tidak terusik dengan tatapan intimidasi dari Giri. "Saya siap bertanggung jawab untuk apapun hasilnya nanti."

"Misalnya," ucap Mira, "kalau benar kamu bukan ayah biologis dari Oka, apa yang akan kamu lakukan ke depannya?"

"Saya akan tetap menjadi Papanya Oka," tutur Isac bersungguh-sungguh. "Saya akan terus mengisi posisi itu, karena sejak awal itulah tujuan saya mencari Oka."

"Kenapa?" Mira bertanya lagi. "Kenapa kamu bersedia melakukan itu? Padahal itu bukan tanggung jawabmu."

Isac mengelus kaki Oka. Si bayi sedang bergerak-gerak memainkan boneka pinguin dipelukannya. "Waktu Popi mengaku dia hamil dua bulan, saya marah besar. Saya mengatai Popi dengan berbagai julukan yang menyakiti hatinya."

Masih teringat jelas di kepala Isac apa saja yang ia katakan siang itu. Makian yang meluncur mulus dari mulutnya. Amarah yang tersulut setelah tahu cintanya dikhianati.

"Kamu selingkuh?! Perempuan murahan! Ada berapa banyak laki-laki yang udah kamu layani? Jadi selama ini aku pacaran sama seorang pelacur!"

Isac sangat menyesal. Benar kata orang, kalau sedang marah baiknya diam dan menghindar. Atau kita akan melakukan sesuatu yang kelak menimbulkan penyesalan.

Popi meminta maaf sambil menangis tersedu-sedu, namun Isac sama sekali tidak tersentuh. Laki-laki itu terus melontarkan sumpah serapah yang membuat perempuan hamil di sebelahnya makin terguncang.

"Beberapa bulan yang lalu orang tua saya meninggal." Isac mendekap Oka dengan lembut. "Saat itu saya merasa terpuruk dan kesepian. Hidup tanpa orang tua benar-benar membuat saya hilang kendali." Terlebih dahulu ia membenahi posisi boneka yang hampir jatuh. "Saya teringat dengan bayi di kandungan Popi. Saya membayangkan bagaimana kalau bayi itu dibesarkan tanpa sosok ayah."

"Jadi waktu itu lo belum tahu kalau Popi meninggal?" tebak Giri.

"Setelah kami putus, saya sama sekali nggak pernah tahu kabar Popi," ungkap Isac. "Saya datang ke tempat kerjanya dan temannya Popi bilang dia sudah meninggal."

Dhara yang dari tadi hanya diam dan mendengarkan nyatanya tidak benar-benar tenang di tempatnya duduk. Kepalanya mencerna cerita yang sedang ia dengar seolah-olah semua itu benar terjadi. Kalau ternyata hanya karangan Isac, nanti Dhara akan menyarankan laki-laki itu untuk alih profesi menjadi penulis. Karena Isac jago membuat plot twist.

"Jadi semua ini kamu lakukan karena merasa bersalah?"

Dhara takjub pada pertanyaan Mira. Ibunya itu kalau sinyal keponya sedang berfungsi, benar-benar bisa mengorek informasi sampai ke tulang.

"Awalnya memang begitu," kata Isac tak menampik pendapat Mira. "Tapi setelah menghabiskan banyak waktu dengan Oka, saya merasa bahwa ini bukan sekadar rasa bersalah." Isac mengecup kepala Oka. "Saya menyangi Oka dengan tulus. Saya nggak peduli dengan hasil tes DNA, saya ingin terus menjaga Oka."

Selanjutnya Mira melontarkan pertanyaan yang sejak tadi bercokol di dalam hatinya, "kamu ada rencana memboyong Oka setelah menikah?"

Isac menatap Dhara lebih dulu, tapi perempuan itu melengos. "Saya sudah menjelaskan ini ke Dhara. Saya tidak akan melakukan apapun tanpa izin dari Dhara."

Dan kalimat terakhir dari Isac berhasil membuat Giri, Dhara, Mira, dan Benjamin tercengang.

"Saya berharap Dhara mau diboyong sekalian untuk jadi nyonya di rumah."

Kepala Dhara pening seketika.

Giri ingin menghantamkan jidat ke tembok.

Mira melongo kehabisan kata-kata.

Dan Benjamin berdehem-dehem sampai batuk sungguhan.


-Bersambung-

~

Punya kritik & saran? Yuk, dikomen.

Suka sama cerita ini? Jgn lupa Vote.

What Popi Left Behind [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang