35 | Curiga

512 61 4
                                    


Terhitung sudah seminggu sejak tes DNA dilakukan. Menurut informasi dari temannya Giri, paling lama hasil tes akan keluar di hari keempat belas. Setelah semua prosedur tes selesai, tidak ada yang berubah dari Isac. Laki-laki itu tetap datang ke rumah Benjamin.

Sementara itu Dhara dibuat bingung dengan perasaannya sendiri. Dia ingin menghindari Isac, tetapi ia tidak mungkin membiarkan laki-laki itu menggendong Oka tanpa pengawasan darinya. Makanya tiap kali Oka bersama Isac, Dhara memaksakan diri untuk tetap ada di sekitar mereka.

"Mbak."

Dhara terperanjat mendengar seruan Jayastu. Laki-laki yang hari ini memakai kaos hijau telur asin itu duduk di sebelah Dhara sembari meletakkan ponselnya ke meja. Mereka duduk lesahan di salah satu meja yang ada di warung.

"Ini nomornya Mas Isac," ucap Jayastu. Dia menggeser ponselnya mendekat ke Dhara.

Tadi malam Dhara iseng menyalakan ponsel Popi yang masih ia simpan dengan baik. Dia membuka whatsapp untuk mencari jejak obrolan antara Popi dan Isac. Begitu chat room ditemukan, jarinya malah menggulir layar makin ke bawah. Satu persatu riwayat obrolan dengan nama berbeda tertera di sana. Dan sampailah Dhara pada satu nama yang membuatnya terpaku cukup lama.

Selama ini Dhara tidak pernah tahu kalau ternyata ada dua nama "Isac" di ponsel Popi. Chat whatsapp yang di-pin adalah "Isac" dengan emoji hati. Lalu kini ia menemukan satu lagi chat room bertuliskan "Isac" namun tanpa emoji hati. Jari Dhara menekan nama itu dan ternyata isinya hanya satu kalimat singkat dari Popi yang dikirim hampir setahun yang lalu.


Popi : Maaf aku menyesal.


Chat itu bercentang biru namun tak terbalas.

Dhara keluar dari chat room itu lalu kembali ke "Isac" yang posisinya paling atas. Di sana ada rentetan kalimat kejam yang dulu membuat hati Popi hancur lebur. Semasa Popi masih hidup, chat room itulah yang selalu Popi tunjukkan ke Dhara.

Semalaman Dhara terus memikirkan dua kontak bernama "Isac" yang ada di ponsel Popi. Makanya pagi ini ketika mereka semua sedang beres-beres warung, diam-diam Dhara mendekati Jayastu untuk meminta nomor Isac.

"Lo jangan bilang-bilang, ya."

Jayastu bingung. "Emang ada apa, Mbak?"

Dhara memperhatikan sekelilingnya. Kondisi aman. "Jangan bilang-bilang kalau gue minta nomornya Isac."

"Gengsi amat, Mbak."

Dhara mendelik. "Nurut aja kenapa, sih!"

Jayastu tak lagi menanggapi dan memilih pergi.

Dhara mengeluarkan ponsel miliknya. Semalam dia sudah mencatat dua nomor yang membuatnya sulit tidur. Setelah membandingkan ketiga nomor itu, hasilnya tak ada satupun nomor yang sama. Semua berbeda.

"Ra."

Dhara terkejut bukan main. Dua gawai yang ada di tangannya sampai berjatuhan. "Hampir copot jantung gue!" omelnya pada Isac yang duduk di seberang meja. Saking seriusnya menatap layar ponsel, dia sampai tidak sadar ada yang datang.

"Lagi ngapain?"

Bukannya menjawab, Dhara malah berkata, "Oka sama Elia." Kemudian dia kembali sibuk dengan dua ponsel yang sudah kembali ke tangannya.

"Gue tanya lo lagi ngapain."

Lagi-lagi Dhara mengatakan sesuatu yang tidak nyambung. "Iya, gendong aja. boleh-boleh."

Sejenak Isac mengamati wajah Dhara. "Itu hapenya Jayastu?"

Dhara mengangguk.

"Lo lagi lihat apa?"

Dhara menurunkan ponsel ke atas meja. Kini atensinya mengarah ke Isac. "Rahasia," ucapnya singkat dan tegas. "Lo ngapain di sini? Oka ada di sana." Dagunya mengarahkan Isac untuk menatap ke Elia yang sedang menggendong Oka di dekat tangga.

Tadinya Isac berencana meminta izin sebelum menggendong Oka. Namun setelah melihat gerak-gerik mencurigakan dari Dhara, dia jadi ingin bertanya hal lain.

"Mbak, udah belum hapenya?" Jayastu datang meminta barang miliknya. "Jangan lama-lama."

Dhara memicing. "Pelit banget, bentaran doang."

"Gue harus ngabarin ayang, Mbak."

Dhara berlagak seperti ingin muntah. "Gue nggak pengin tahu."

"Yas," panggil Isac.

"Hm?" gumam Jayastu. Dia sedang mengetik sesuatu di ponselnya.

Isac menyeringai, dia menemukan sebuah celah. Buru-buru ia bertanya, "tadi Dhara kenapa pinjam hape lo?"

"Mbak Dhara pengin lihat nomornya Mas Isac."

Jayastu belum menyadari kebodohannya.

"Kenapa Dhara pengin tahu nomor gue?" Isac kembali bertanya.

"Nggak tahu tuh, katanya jangan bil–" Buru-buru Jayastu membekap mulutnya sendiri. "Anu ... itu ...." Ia mencari cara untuk kabur. "Mm ... gaes, gue pamit dulu, ya. Kebelet."

"Jadi?" pertanyaan itu keluar dari mulut Isac sesaat setelah Jayastu minggat.

Dhara sok tak mengerti. "Apa?" nadanya santai.

"Udah dapat nomor gue?"

"Gue cuma pengin lihat, nggak gue save."

"Kenapa lo nggak mau simpan nomor gue?"

"Buat apa?"

"Siapa tahu lo butuh bantuan gue."

Dhara sebenarnya enggan membahas hal ini. "Lo itu sering ke sini, jadi buat apa gue punya nomor lo?"

"Tapi, Ra."

"Kenapa lagiii?" gerutu Dhara.

"Kenapa lo punya nomor gue yang lama?"

"Nomor lo yang mana?"

Isac mengulur satu tangannya ke arah ponsel Dhara yang ada di atas meja. Sejak tadi layarnya menyala, sehingga Isac bisa melihat apa yang tertera di sana.

"Ra, lo bisa tanya ke gue. Apapun itu pasti gue jawab."


-Bersambung-

~

Punya kritik & saran? Yuk, dikomen.

Suka sama cerita ini? Jgn lupa Vote.

What Popi Left Behind [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang