RVSD 30 | Menerka-nerka

404 54 4
                                    


"Gue calon istrinya Mas Isac."

Dhara tersentak mendengar hal itu. Bahkan kedua tangannya yang berada di bawah meja sampai mengepal. Namun dia tetap berhasil mengontrol ekspresi wajahnya.

Dhara tidak mengatakan apa-apa karena Luna terlihat belum selesai bicara.

"Ada beberapa hal yang membuat pernikahan kami terus tertunda," Luna melanjutkan. "Salah satunya tentang Oka."

Dhara masih menunggu sampai gilirannya untuk membuka mulut.

Luna nampak ragu-ragu. "Selama Mas Isac belum bisa membawa Oka, pernikahan kami akan terus ditunda."

Dhara merasa ada sesuatu yang mengganjal. Tentang Isac yang katanya ingin membawa Oka untuk tinggal bersama mereka. Padahal seingat Dhara, laki-laki itu tidak berniat merebut Oka darinya.

Apa mungkin Isac yang berbohong padanya? Kalau benar begitu berarti selama ini laki-laki itu berpura-pura baik untuk menunggu Dhara lengah lalu membawa Oka pergi.

Kepala Dhara dipenuhi berbagai prasangka buruk. Pelipisnya sampai berdenyut memikirkan itu.

"Gue nggak bisa melihat Mas Isac berjuang sendiri," ujar Luna. "Gue berniat untuk membantu Mas Isac. Gue mau meyakinkan elo bahwa kami bisa menjadi orang tua yang baik untuk Oka." Luna beringsut ke meja. "Gue memang nggak ada pengalaman mengurus bayi, tapi gue janji akan banyak belajar dari elo. Atau kalau perlu, gue siap belajar mulai dari sekarang sembari kami mempersiapkan pernikahan."

"Tunggu dulu."

"Tolong percaya sama gue dan Mas Isac," Luna tidak memberi kesempatan Dhara untuk mengutarakan pendapat. "Kalau pernikahan kami terus ditunda, gue takut kehilangan Mas Isac."

Dhara menghela napas kasar. Ini saatnya untuk angkat bicara. "Gue nggak tahu sampai mana Isac cerita soal Oka ke elo. Tapi satu yang pasti, gue nggak akan pernah menyerahkan Oka ke kalian."

Mata Dhara berkilat penuh kesungguhan. Dia mengangkat satu tangan pertanda tidak ingin disela. "Gue mengizinkan Isac dekat dengan Oka bukan berarti suatu saat gue bakal luluh. Nggak akan pernah!"

Luna tertunduk lesu.

"Soal pernikahan kalian, itu urusan lo dan Isac," Dhara menegaskan. "Jangan pernah menyeret Oka ke dalam masalah kalian."

Sewaktu Dhara beranjak dari kursinya, Luna ikutan berdiri.

"Gue nggak berniat menghalangi pernikahan kalian," Dhara kembali berucap. "Tapi kalau ini berkaitan dengan Oka, tentu aja gue nggak akan tinggal diam."

Dhara keluar dari resto dengan dada yang bergemuruh juga kepala yang pening. Kedua tangannya mengepal, ingin sekali ia menonjok seseorang. Dan satu wajah yang terbayang tentu saja wajah sang pembohong ulung. Siapa lagi kalau bukan Isac!


***


Mood Dhara anjlok. Seharian menyibukkan diri di warung nyatanya tidak lantas membuat kejadian itu terlupakan begitu saja. Beberapa kali Oka sampai terabaikan, dibiarkan main sendiri di atas kasur sementara dirinya asyik melamun.

Ada kekecewaan yang seakan-akan terus tertancap di dadanya. Secuil kepercayaan yang mulai tumbuh untuk Isac, ternyata membuat Dhara lengah. Dia sempat lupa dengan sosok Isac yang dulu pernah meminta Popi untuk aborsi.

Malam itu, sesampainya di rumah. Seusai makan malam, ketiga orang dewasa masih bertahan di meja makan. Dhara menceritakan semuanya pada Benjamin dan Mira. Pastinya mereka syok, sama seperti Dhara saat pertama kali mendengar hal itu dari Luna.

"Bukannya Bapak memihak Isac," kata Benjamin dengan hati-hati. Dia tahu kalau putrinya sedang kalut dan sensitif. "Sampai kapanpun, Bapak selalu dipihakmu. Tapi kalau boleh kasih saran, sebaiknya kamu bicarakan dulu dengan Isac. Kita harus mencari tahu kebenarannya."

Mira yang duduk di sebelah Dhara lalu mengelus punggung putrinya.

Mata Dhara terasa panas, memerah, dan air mata menggenang di sana. "Aku nggak akan membiarkan siapapun membawa Oka, Pak. Aku ... aku nggak mau kehilangan Oka."

"Nggak akan ada yang bisa membawa Oka pergi dari rumah ini." Benjamin berdiri dan mendekati putrinya. Dia memeluk Dhara dari belakang. "Kamu nggak berjuang sendiri, Ra. Bapak dan Ibu akan mempertaruhkan segalanya demi mempertahankan Oka."

Mira ikutan menangis ketika melihat putri semata wayangnya sesegukan. "Oka itu cucu kami, Ra." Ia menggenggam tangan Dhara dengan erat. "Kami akan selalu ada untuk kamu dan Oka. Jadi jangan pernah merasa kalau beban ini kamu pikul sendiri."

Di dalam dekapan Benjamin, Dhara menumpahkan segala amarah dan benci yang berubah menjadi air mata. Isakan itu tak lagi ia tahan. Dia menangis sejadi-jadinya. Ketakutan akan kehilangan Oka membuatnya gelisah tak keruan.

Oka memang bukan darah dagingnya, namun kasih sayang Dhara untuk Oka begitu besar. Sampai dia berani mempertaruhkan segalanya bahkan nyawa. Menjaga Oka bukan lagi tentang janji kepada teman yang telah tiada, akan tetapi Dhara memang tulus mencintai bayi itu. Nyatanya ikatan batin tak melulu tentang sedarah.

Suara tangisan Oka membuat isakan Dhara berhenti seketika. Ia mengurai pelukan Benjamin lalu menyeka air matanya.

"Oka bangun, Ra. Buruan susulin sebelum nangisnya makin kencang. Kasihan Mbah Ngad nanti nggak bisa tidur," seloroh Mira dan berhasil menerbitkan senyum di wajah sendu putrinya.

"Aku ke kamar dulu, ya, Pak, Bu."

Benjamin dan Mira membiarkan Dhara melangkah sendiri keluar dapur.

"Gimana ini, Pak?" tanya Mira.

Benjamin menepuk-nepuk pelan pundak istrinya. "Untuk saat ini kita kasih kesempatan mereka untuk berdiskusi."


-Bersambung-

~

Punya kritik & saran? Yuk, dikomen.

Suka sama cerita ini? Jgn lupa Vote.

What Popi Left Behind [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang