RVSD 16 | Ubi calling ....

490 59 1
                                    


Salah satu rutinitas Mira setiap pagi adalah memandikan dan mendandani cucu kesayangannya. Setelah itu ia akan menyerahkan Oka pada Benjamin yang sudah menunggu di teras. Hanya saat pagi begini mereka bisa bersantai bersama Oka. Karena kalau warung sudah buka, mereka menjadi sangat sibuk.

Dari sela-sela pagar besi di depan sana. Benjamin dan Mira bisa melihat para siswa yang sedang berjalan menuju sekolah. Ada SD dan SMP yang letaknya tidak begitu jauh.

"Ben!" teriak Ngadino dari balik pagar yang memisahkan rumah mereka.

Benjamin berdiri lalu menghampiri Ngadino bersama Oka.

"Isac mana? Mau gua ajak main catur." Dandanan Ngadino tidak seperti kakek-kakek pada umumnya, begitu juga dengan caranya bicara. Dia itu mbah-mbah gaul.

"Jangan diajakin main catur terus, Mbah. Nanti ambeien."

"Ah! Nggak mungkin." Ngadino mengibaskan tangan di depan wajah. "Hai Oka," sapanya pada Oka dan bayi itu merespon dengan tawa kecil. "Gua jadi kangen cucu."

Ngadino tinggal seorang diri setelah bercerai lima belas tahun yang lalu. Dia menolak tinggal bersama anak-anaknya yang sudah berkeluarga. Ia lebih suka tinggal di rumah itu, rumah yang dibangun bersama mantan istrinya.

Selesai ngobrol dengan Ngadino, Benjamin kembali ke rumah. Dia langsung menuju dapur. Di sana Benjamin disambut sang istri yang sudah menyiapkan sarapan untuk mereka.

"Ra, sarapan dulu," seru Mira sambil menimang-nimang Oka.

"Iya, Bu. Sebentar lagi." Sayup-sayup terdengar suara Dhara.

"Dhara lagi ngapain, Bu?" tanya Benjamin yang tengah mengunyah. "Dari tadi di kamar terus, nanti sakit."

Mira menarik satu kursi kemudian duduk di sana. "Tadi Ibu udah ke kamarnya, Pak. Dia lagi rebahan, nggak sakit."

Di kamar, Dhara memang sedang rebahan. Rebahan sambil memandangi KTP milik Isac yang selalu lupa untuk dikembalikan. Padahal laki-laki itu sering datang. Isac pun sepertinya lupa pada kartu identitasnya.

Dhara dibuat takjub dengan foto Isac pada benda tipis itu. Selama ini yang Dhara tahu, foto KTP adalah aib. Sudah jelek, berlaku selamanya. Namun hal itu ternyata tidak berlaku pada Isac. Laki-laki itu terlihat tampan, sama persis seperti aslinya.

"Ini petugas yang ambil foto kayaknya teman dia, jadi bisa ngulang sampai dapat hasil yang bagus."

Dhara terus menggerutu. Dia tidak terima foto Isac terlihat begitu indah. Beda dari foto KTP-nya yang buruk rupa. Dhara masih ingat kenangan saat foto itu diambil. Dia harus antre lama, menyebabkan bedak yang ia poles pada wajah sudah luntur ketika namanya dipanggil. Belum lagi petugas di sana yang kerjanya super gesit. Saking gesitnya, baru juga bokong Dhara mendarat pada kursi, suara kamera langsung terdengar di telinga. Satu kata singkat dari petugas di balik layar komputer membuat Dhara syok. "Udah, Mbak."

Ponsel Dhara berdering.

Ubi calling ....

Nama itu berhasil membuat Dhara bersemangat. Dia meraih ponselnya kemudian beranjak duduk dengan satu kaki menggantung di tepi kasur.

"Ubi!" seru Dhara begitu ponsel menempel pada telinganya.

"Cie yang kangen gue. Senang, ya, gue telfon?"

"Gue kangen sama anak lo!"

Ubi bukan nama asli. Ubi itu panggilan akrab Dhara pada Wina. Semenjak Wina pindah ke Malaysia bersama suaminya, mereka jadi jarang bertemu. Pertemuan terakhir mereka terjadi sebelum Popi meninggal. Saat itu Popi yang sedang hamil besar ikut nongkrong di kafe langganan Wina dan Dhara dari jaman SMA.

"Gaitha masih tidur."

"Udah bisa ngapain aja si Thata?"

"Thata udah bisa jalan, ngeberantakin rumah. Pokoknya udah bisa bikin Bundanya pusing tujuh keliling."

Dhara terkikik.

"Oka gimana?"

"Oka baik."

"Belum rusuh, ya?"

"Udah, dong," kata Dhara dengan menggebu-gebu. "Walaupun belum bisa jalan kayak Thata, tapi Oka udah bisa ngejambak rambut gue."

Kini riliran Wina yang tertawa. "Rasain! Lo kan sering ngeledekin gue pas lagi kerepotan momong Thata."

"Ubi, lo kapan pulang?"

"Ini gue pulang."

"Gue serius."

"Gue super serius."

Dhara membelalak. "Lo di Indo? Serius, Bi?!"

"Iyaaa, gue lagi di Indo. Gue telfon mau ngabarin sekalian ngajak ketemu."

"Gass!" ucap Dhara dengan semangat. "Kapan?"

"Hari ini bisa?"

Dhara berpikir sejenak. Hari ini warung buka, akan sulit baginya untuk meninggalkan warung. Dhara memang tidak membantu secara langsung, namun dia yang bertanggung jawab pada pesanan yang masuk di aplikasi. Belum lagi ia masih harus membuat konten untuk diunggah.

"Ra," panggil Wina di ujung sana. "Tante gue buka resto di dekat warung lo. Dekaaat banget. Gimana kalau kita ketemuan di sana?"

Secercah cahaya menyinari kepala Dhara. Kalau jaraknya dekat tentu tidak akan menjadi masalah.

"Bawa Oka," lanjut Wina. "Resto punya Tante gue kids friendly. Selain ada permainan untuk anak, di sana juga dilarang merokok. Dijamin aman dari asap-asap berbahaya."

"Entar lo serlok, ya."

"Siyap!"


"Kamu ngobrol sama siapa?"

Saking kagetnya Dhara sampai menjatuhkan ponsel ke lantai.

"Ibuuu, kaget aku."

Dhara berjongkok mencomot ponselnya. Untungnya benda itu tidak bermasalah, hanya lecet sedikit.

"Bu, nanti aku mau ketemu sama Ubi."

"Dia pulang?"

Dhara tersenyum lebar. "Iya, makanya nanti kami mau ketemuan. Boleh, kan?"

"Oka diajak?"

"Pastinya."

"Di sana aman nggak untuk bayi?"

"Tenang, Bu. Tempatnya aman untuk anak-anak, lokasinya juga dekat dari warung."

"Ya, sudah," Mira memberikan izin.


-Bersambung-

~

Punya kritik & saran? Yuk, dikomen.

Suka sama cerita ini? Jgn lupa Vote.

What Popi Left Behind [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang