Hari ini level bad mood Dhara meningkat drastis. Semua gara-gara Giri dan menstruasi. Yang pertama, Giri membatalkan janji karena tiba-tiba harus lembur. Katanya ada masalah di kantor. Padahal sedari subuh Dhara sudah bangun untuk bersiap, begitu juga Oka.
Belum selesai rasa kecewanya pada Giri. Masih harus ditambah dengan menstruasi yang datang tak sesuai jadwal.
Hari ulang tahun yang harusnya ia habiskan dengan bersenang-senang bersama Oka dan Giri, malah berakhir di rumah bersama perut yang nyeri. Untungnya hari ini warung tutup, jadi Dhara bisa absen dari tugasnya menjaga Oka. Ada Benjamin dan Mira yang membantunya.
"Kamu udah minum obat?" tanya Mira yang sedang menggendong Oka. Dia menimang-nimang Oka sembari menonton televisi dengan posisi berdiri.
Dhara mengangguk. Mengkonsumsi obat anti nyeri tanpa resep dari dokter memang tidak baik, tapi kalau sakitnya tak tertahankan, dia bisa apa.
Dhara tidur di kasur ambal yang terhampar di lantai. Posisi tidurnya lucu, seperti bolu gulung. Walaupun matanya mengarah ke tv, namun sebenarnya dia tidak benar-benar menikmati tayangan di layar itu.
"Ra." Benjamin mendekati putrinya lalu duduk berjongkok. "Ada Isac. Boleh nggak dia gendong Oka?"
"Boleh," ucap Dhara begitu cepat. Hitung-hitung sebagai permintaan maaf karena dua hari yang lalu Isac menjadi tempatnya mencurahkan emosi yang tak terkendali. "Tapi jangan ditinggal, ya, Pak. Bapak atau Ibu harus nemenin, takutnya nanti Oka dibawa kabur."
"Nggak akan dibawa kabur."
Itu bukan suara Benjamin melainkan Isac. Dhara mendongak dan mendapati laki-laki itu berdiri tidak jauh darinya. Tidak ketinggalan Oka yang sudah didekap erat.
"Tuh, katanya nggak akan dibawa kabur," timpal Benjamin.
Dhara sedang tidak punya tenaga untuk meladeni Isac. Paling tidak dengan adanya laki-laki itu, mereka bisa bergantian menggendong Oka.
Bukannya segera pindah lokasi, Isac malah uji nyali dengan mendekati Dhara. Sesekali dia tersenyum pada Oka untuk menanggapi celotehan si bayi.
"Sakit banget?"
"Gue lagi mode senggol bacok. Jangan ganggu!" Dhara kembali menggulung dirinya sendiri. Dia ingin pindah ke kamar, tapi badannya lemas.
"Lo lagi pengin makan apa? Siapa tahu bisa naikin mood."
"Makan orang!" seru Dhara dengan sadis. "Lo orang, kan? Berarti bisa gue makan." Ia menutup kepalanya dengan bantal.
"Beneran nggak pengin apa-apa?"
Dengan gerakan cepat Dhara menarik bantal dari kepalanya. Matanya menatap Isac dengan tajam. "Lo berisik banget! Kalau lo terus ada di sini, gue bakal minta lo gendong gue ke kamar. Mau lo?!"
"Oke."
"Hah? Oke?" Dhara gelagapan. Dengan posisinya yang masih berbaring, dia melihat Isac menurunkan Oka ke kasur ambal. "Lo mau ngapain?"
Isac mengangkat tubuh Dhara dengan begitu mudah. Perempuan itu digendong ala bridal style. Meskipun Dhara memberontak, tapi Isac sama sekali tidak goyah.
"Kamar lo yang mana?"
"Turunin gue!" Dhara memukuli dada Isac.
"Nanggung, Ra."
"Nangung, nanggung! Itu Oka malah lo cuekin."
"Bentaran aja. Makanya buruan kasih tahu kamar lo yang mana."
Satu cubitan mendarat di lengan kiri Isac, membuat laki-laki itu meringis. Setelah itu Dhara menunjuk sebuah pintu dan kaki Isac langsung bergerak ke sana.
Begitu diturunkan ke kasur, Dhara meraih satu bantal lalu dihantamkan ke Isac. "Buruan keluar sana!"
"Iya."
***
"Isac kemana, Pak?" tanya Mira yang baru kembali dari rumah tetangga. Setelah diperhatikan ternyata motor Isac sudah tidak ada.
Benjamin menggeleng. "Lagi pergi sebentar. Tadi bilangnya ada keperluan, nanti balik ke sini lagi."
"Keperluan apa?"
Belum sempat Benjamin menjawab, sebuah kendaraan beroda dua memasuki pekarangan rumah. Itu Isac bersama motor kesayangannya.
"Kamu dari mana?" tanya Mira pada Isac. Dia melihat laki-laki itu menenteng kantong plastik.
"Saya beli keju aroma untuk Dhara."
Karena bungkusan plastik itu disodorkan padanya, tentu saja Mira menerima dengan senang hati.
"Ada martabak telur untuk Om sama Tante."
"Kamu bawa martabak kayak lagi ngapelin cewek." Benjamin menggeleng-gelengkan kepala.
Isac tersenyum malu-malu. Dia mengusap belakang kepalanya.
"Ini martabaknya Tante bawa ke dalam dulu, ya." Mira pergi meninggalkan para lelaki di teras.
***
Dengan badan yang masih lemas, Dhara turun dari kasur lalu berjalan keluar kamar. Karena tidak ada orang di sekitar sana, dia melangkah menuju dapur. Ia bertemu Mira yang sedang berdiri di dekat meja makan.
"Ra, ada keju aroma."
Mata Dhara berbinar kala melihat camilan kesukaannya. "Ibu baik banget. Makasih, ya, Ibuku sayang."
"Bukan Ibu yang beli."
"Bapak?" Dhara mengunyah keju aroma dengan perasaan bahagia.
"Isac."
Gerakan mulut Dhara langsung berhenti.
Mira mencomot satu keju aroma dari plastik. "Tadi dia pergi sebentar untuk beli ini sama martabak telur."
"Martabaknya mana?"
"Udah habis," kata Mira dengan santai.
Tahu-tahu terdengar derap kaki yang cukup keras. Suaranya makin mendekat ke dapur.
"Bu, gempa!"
"Tapi perabotan nggak ada yang bergerak."
"Ra! Ayo kita potong kue!" Giri memasuki dapur sambil menenteng kotak kue yang cukup besar. Laki-laki itu memakai topi kerucut khas perayaan ulang tahun. Meski tersenyum lebar, raut kelelahan tidak bisa disembunyikan dari wajahnya.
-Bersambung-
~
Punya kritik & saran? Yuk, dikomen.
Suka sama cerita ini? Jgn lupa Vote.
KAMU SEDANG MEMBACA
What Popi Left Behind [END]
Ficción GeneralPopi meninggal setelah melahirkan Oka. Dan Dhara menjadi satu-satunya orang yang dipercaya untuk menjaga bayi mungil itu. Saat Oka berumur lima bulan, Isac-mantan Popi-muncul. "Sekarang gue ada di sini. Gue akan bertanggung jawab," kata Isac penu...