02 - Pesan Abi

15 4 0
                                    

Gerimis turun tepat setelah Isya yang dengan asyik membasahi tanah Jakarta, atmosfer silih berganti menjadi tenang dan teduh. Di dalam rumah bercat putih gading, terlihat gadis kecil berusia tujuh tahun geraian rambut hitam bergelombangnya, sedang asyik memakan es krim di ruang televisi bersama perempuan yang diketahui sebagai orang yang telah melahirkannya. Diusapnya rambut sang anak yang sedang duduk di depannya dengan lembut. Di sisi lain, lantunan ayat suci Al-Quran terdengar sangat indah dari ruangan di sampingnya.

Tajwid, tartil dan fashohahnya begitu tepat. Tak lama, suara dari ruangan tersebut beralih memanggil seseorang.

"Mai, ke sini sayang!" panggilnya.

Sang pemilik nama pun langsung berlari kecil walaupun dia tidak rela untuk meninggalkan acara televisi di hadapannya, Nussa dan Rara.

"Iya Abi, ada apa?" tanyanya polos dengan tangan yang penuh bekas es krim dan bibir yang sudah berlepotan dengan krim berwarna cokelat. Melihat hal itu, sang Abi pun hanya bisa tersenyum.

"Mai, cuci tangan dulu ya, sama Umma, habis itu ke sini lagi.” Perintah sang Abi dan gadis kecil itu pun mengangguk lalu pergi. Tak lama, gadis kecil itu kembali, beralih membawa satu tangkai bunga matahari berukuran sedang.

"Pintar anak Abi. Sini, my little princess," lanjut sang Abi sambil menyuruh anaknya duduk di pangkuannya.

Kemudian seperti yang dilakukan istrinya, diusapnya lembut kepala milik anak semata wayangnya itu. Sang anak malah mendongakkan kepalanya ke arah Abinya, berusaha meminta penjelasan tanpa harus berbicara. Sayang, bahasa kalbu itu tidak bisa dimengerti oleh Abinya, dia pun menyerah dan akhirnya merelakan pita suaranya untuk menunjukkan diri.

"Ada apa Abi? Aku kan lagi asyik nonton Nussa dan Rara," tanya gadis kecil itu polos, lalu mengembuskan napas dengan keras berlagak kesal. Sangat lucu. Melihat itu, laki-laki yang dipanggil Abi, lagi dan lagi hanya bisa tersenyum.

"Gak ada apa-apa, pengen ngobrol aja sama Mai. Memang, Mai gak kangen Abi apa? Eum ... anak Abi ini suka banget ya sama bunga matahari?" tanya sang Abi sambil menunjuk bunga matahari yang dipegang gadis kecil itu.

"Suka. Suka ... banget. Banget pokoknya, dan tentu saja Mai kangen ... banget sama Abi,” jawab gadis kecil itu sambil mengangkat kedua tangannya, pertanda dirinya antusias. Lalu dia berbalik dan memeluk pria yang tadi memangkunya dengan erat.

"Kenapa? Kok Mai bisa suka?" tanya sang Abi lagi, di tengah-tengah kegiatan memeluk anak perempuannya itu.

"Karena bagus. Warnanya menarik, beda dari bunga yang lain," jawab gadis kecil tersebut. Senyuman di bibir sang Abi benar-benar tidak bisa hilang, apalagi, setelah mendengar jawaban terakhir putrinya, lengkungan senyuman itu semakin jelas, dan mempernyata lesung di pipinya.

“Mai tahu? Itu sama seperti anak Abi ini. Mai jangan suka nangis kalau teman-teman Mai lebih pintar bahasa Inggrisnya atau juga karena lebih pintar main bulu tangkisnya, karena setiap bunga itu, berbeda,” ujar sang Abi yang kemudian menjawil pipi milik putrinya itu. Kebiasaannya yang dilakukan sedari anaknya masih balita.

Gadis kecil itu, kemudian merasa bingung, alisnya saling bertaut, berupaya memikirkan kalimat bertingkat yang dilontarkan cinta pertamanya itu, dia tidak tahu apa yang dimaksud sang Abi.

“Maksud Abi bagaimana sih? Aku gak paham deh. Kalau kata Umma sih, topiknya Abi berat,” jawab gadis itu sambil menggaruk kepalanya yang terasa agak gatal, dan Abinya malah tertawa.

“Nanti Mai juga akan paham. Dan pesan Abi, nanti kalau sudah besar, Mai wajib pakai kerudung ya, seperti Umma, sampai akhir hayat, bahkan walaupun Abi sudah meninggal nanti, janji ya sama Abi. Dan kalau main sama cowok sekadarnya aja,” ujar sang Abi. “Karena Abi setelah ini akan berjarak lagi dengan Mai, Abi gak bisa terus di sini. Bahkan belum tentu setahun sekali bisa pulang, Mai harus patuh ya sama Umma,” lanjutnya dengan nada selembut mungkin. Mendengar itu, gadis kecil di hadapannya mulai mengeluarkan air mata.

“Kenapa Abi harus pergi lagi? Aku gak mau Abi pergi naik pesawat lagi, aku maunya Abi di sini aja. Bareng aku, bareng Umma, tiap hari,” ucapnya sambil merengek, yang kemudian rengekkan itu berubah menjadi tangisan, di mana itu menyebabkan sang Umma datang.

Ummanya pun menggendongnya dan meminta penjelasan dari suaminya. Setelah mengetahui apa yang terjadi, sang Umma mengusap lagi puncak kepala anak semata wayangnya itu.

“Mai, udah jangan nangis, Abi kan harus kerja. Biar apa? Biar Abi bisa belikan mainan Mai, bisa ajak Mai jalan-jalan, bisa kasih Mai hadiah, bisa rawat Mai juga dan biar Mai bisa sekolah. Udah ya jangan nangis," bujuk sang Umma.

Mendengar hal itu, gadis kecil itu berhenti menangis. Disekanya air mata yang telah membanjiri wajahnya itu dengan sedikit kasar. Pipinya begitu memerah, apalagi hidungnya.

“Sekarang Mai janji ya sama Abi, sama ucapan Abi,” lanjut sang Umma meminta. Gadis kecil itu pun menatap wajah Abinya, dengan raut muka yang masih menunjukkan rasa tidak setujunya.

“Ya sudah kalau gitu, walaupun aku gak paham, tapi akan selalu aku ingat, aku janji,” ucap gadis kecil itu yang kemudian memeluk Abinya, sang Abi pun mengusap pucuk rambutnya dengan begitu lembut.

🌻🌻🌻

SunflowersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang