17 - Berdua

10 2 0
                                    

Satu bulan telah berlalu, pertengahan Mei sudah menyapa dunia. Sesosok perempuan dengan celana putih dan blus biru langit tak lupa kerudung Rabani putih itu tampak cemas menatap kartu ucapan berwarna kuning yang berada di tangannya, Apa kabar? Semoga baik, begitu tulisan yang tertera di sana.

Shenina begitu gelisah, dia tengah menunggu keberadaan temannya di ruang tamu. Dia benar-benar terusik dengan tragedi Sunflower, begitu Shenina menyebutnya. Dari dalam rumahnya, tiba-tiba saja sorot cahaya kuning dari luar menembus gorden jendelanya.

Shenina kemudian bergegas membuka pintu, orang yang ditunggu datang juga, Shenina kemudian memberikan senyum ramah kepada Ayah dari Adine tersebut yang memilih langsung pulang tanpa mampir terlebih dahulu.

Adine datang sendiri, karena Kinanthi sedang berlibur ke Surabaya sedangkan Fateen dia sedang ada kegiatan tari dari sebuah badan resmi. Mereka kemudian menuju ke dalam kamar Shenina, setelah makan malam bersama.

"Oke, Nyonya Shenina, ada apa gerangan sampai-sampai Anda menyuruh saya untuk menginap di sini?" Adine bertanya sembari meletakkan ranselnya ke meja, kemudian duduk di atas kasur Shenina.

Shenina memilih untuk duduk di karpet merah, dia lantas menampakkan wajah bingungnya. "Gue ngerasa kena teror, atau mungkin, pengagum rahasia? Gue takut banget, Dine," ujar Shenina.

Adine langsung mendelik mendengarnya, dia kemudian ikut duduk di karpet menemani Shenina.

"Maksudnya gimana?" tanyanya, belum paham tentang apa yang dikatakan sahabatnya itu.

Shenina menunjuk ke arah vas bunga di kamarnya, di mana di situ juga terdapat tiga buket bunga matahari yang tergeletak di dekatnya.

"Lo lihat itu, Dine? Dan, ini, lo juga harus lihat ini," ucap Shenina yang kemudian berdiri, membuka laci lalu mengambil tiga kartu ucapan, ditambah yang dipegangnya maka menjadi empat kartu.

Shenina kemudian memberikannya kepada Adine. Sahabat Shenina itu merasa kebingungan, tetapi dia membaca satu persatu kartu itu, alisnya tak lama saling menyatu satu sama lain, dahinya mengerut, gadis yang memiliki riwayat sebagai keturunan Belanda itu kemudian menatap Shenina.

"From your customers?" tanyanya bingung. Shenina menggeleng.

"Gue gak tahu. Empat kali dia kasih bunga dan kartu itu, jadi setiap hari Minggu tapi gak setiap minggu juga sih, ada anak kecil yang berbeda-beda, beli bunga, tapi setelah itu katanya bunganya buat gue aja, ya gue bingung dong, Dine, siapa coba? Jujur gue risih banget," ucap Shenina penuh emosi, wajahnya sudah merah, dia kalut.

"Pelanggan bungamu yang mana ini? Banyak woy, siapa kira-kira?" tanya Adine. Shenina kemudian menggeleng, Adine menghela napas.

"Umma tahu?" lanjut Adine bertanya, lagi dan lagi Shenina menggeleng.

"Gue tuh bingung, Dine, kenapa hari Minggu gitu loh? Dan, kenapa harus Sunflower? Gak ada yang tahu gue suka bunga itu selain kita berempat," ucap Shenina menatap Adine lekat, Shenina kemudian juga menceritakan bagaimana awalnya bunga itu bisa datang, bagaimana kejadian setelah pengumuman SNBP itu.

"Mungkin, dia kasih pas hari Minggu karena tahu kalau lo ke toko hanya pas Minggu saja? Kan dia pelanggan bunga The Shenina Florist." Adine beropini. Shenina menggelengkan kepalanya, lagi.

"Awal-awal kasih bunga sih mungkin iya, tapi gue selama liburan ini tuh hampir setiap hari di toko, Dine. Gak hanya Minggu," jelas Shenina menyangkal opini Adine.

"Oke tinggalkan tentang Minggu. Sekarang begini, lo yakin, yang tahu kalau lo suka Sunflower cuma kita berempat? Atau mungkin dia tahu dari meja kasir? Kan ada mataharinya?"

SunflowersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang