28 - Hari Terbaik di Yogyakarta

0 0 0
                                    

Pagi ini cuaca begitu cerah dengan langit yang sedikit berawan. Perempuan yang sekarang tengah berada di depan cermin kamar itu asyik menatap pantulan dirinya sendiri. Hari ini outfitnya berupa rok hitam plisket, baju biru dengan outer batik biru serta kerudung hitam.

“Udah cantik itu,” celetuk Ahana yang baru saja masuk ke dalam kamar. Shenina hanya tersenyum saja mendengarnya.

“Agendanya mau ke mana aja sih hari ini?” tanya Shenina kemudian berbalik membelakangi cermin dan menghadap ke arah Ahana.

“Kita nurut sama Pak sopir aja. Aku juga gak tahu, sih,” balas Ahana yang kemudian duduk dan membenarkan kerudungnya.

“Mas Syafiq kan sopirnya? Kok bisa gak tahu?” tanya Shenina kemudian.

“Siapa bilang Mas Syafiq sopirnya?” Ahana bertanya balik. Shenina mengerutkan dahinya tanda bahwasanya dia bingung.

“Mas Raden sopirnya,” lanjut Ahana. Mendengar hal itu, mata Shenina membulat.

“Kok bisa?” tanya Shenina yang kemudian duduk di kasur yang berarti di samping Ahana.

“Awalnya sih Mas Syafiq yang ajak. Terus Mas Syafiq bingung mau ke mana, jadilah dia nyuruh Mas Raden jadi tour guidenya. Ya udah deh, begitu,” balas Ahana masih begitu santai.

Shenina kemudian menghadap ke depan. Jujur saja, walaupun ia ingin sekali bertemu Raden untuk mengucapkan terima kasih, tetapi ketika kesempatan itu datang, sungguh ia malu sekali. Apalagi di dalam novelnya terdapat ucapan terima kasih untuk seorang Raden Andrea Narendra.

“Malu banget aku!” ucap Shenina bingung sendiri sembari memegang kepalanya. Ahana terheran-heran melihat hal tersebut.

“Kemarin cari-cari Mas Raden. Sekarang gak mau ketemu. Huh, dasar cewek!” balas Ahana. Tak lama kemudian suara klakson mobil terdengar dari luar.

Ahana lantas mengintipnya dari jendela kamarnya yang memang berada di depan sendiri.

“Itu mereka udah datang!” ucap Ahana kemudian menyuruh Shenina untuk cepat bersiap-siap, Shenina di pukul sembilan pagi itu merasa frustrasi sendiri.

Mereka berdua pun kemudian menuju ke arah mobil. Terlihat bahwa Syafiq tengah duduk di depan dengan Raden yang menjadi sopir. Shenina serta Ahana pun seperti biasa mereka duduk berdua di belakang. Mobil hidup kembali, membawa mereka berkelana hari ini. Beberapa menit berlalu, masih belum ada suara yang keluar dari mulut masing-masing, hanya ada alunan musik dari Maher Zain yang sibuk menggema di dalam mobil. Sampai, akhirnya Raden mengalah membuka suara.

“Sarapan dulu kali ya?” ucapnya masih tetap fokus dengan pandangan menyetir mobil.

“Wah, boleh tuh. Apa ya enaknya?” sahut Ahana dari belakang.

“Bubur boleh tuh, gimana?” ucap Syafiq.

Shenina dan Ahana mengangguk. Raden pun hanya mengikuti saja.

Mereka kemudian menuju ke arah bubur langganan Raden. Raden menepikan mobil putihnya tersebut, lalu mereka turun dan duduk lesehan di pinggir jalanan Kota Yogyakarta.

Shenina berinisiatif untuk memesankan mereka, hal ini dikarenakan bubur kesukaan Shenina sedikit berbeda dari orang-orang kebanyakan.

“Tim bubur diaduk atau gak diaduk?” tanya Syafiq setelah Shenina sudah beralih duduk bersama mereka.

“Aku tim gak diaduk sih, apaan kalau diaduk malah aneh banget, bikin hilang selera makan,” celetuk Ahana yang kemudian Syafiq mengangkat tangannya untuk melakukan tos. Ternyata mereka berdua benar-benar sefrekuensi.

SunflowersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang