27 - Mahasiswa Terakhir

1 0 0
                                    

Pintu itu dibuka pelan-pelan, menampakkan beberapa bunga matahari cantik yang tumbuh subur di depan gedung yang menjulang tinggi. Sembari menunggu taxi online pesanan mendarat di depan area gedung, gadis yang sudah rapih itu memilih berbicara dengan bunga matahari yang ditanamnya sendiri.

“Hai Atari! Apa kabar?!” sapanya dengan senyuman hangat. Bunga itu sudah dia beri nama sendiri.

“Dari perawakannya sih, kamu sehat ya? Subur gini. Alhamdulillah. Aku mau curhat, deh. Hari ini aku mau ke penerbit untuk mengurus karyaku, karena lusa aku sudah pulang. Sedih banget kalau dipikir-pikir. Ah, tapi tenang, kamu jangan sedih. Karena kamu bakal aku bawa ke Jakarta.” Shenina begitu antusias berbicara dengan tanaman.

Dia sungguh berani melakukan sesi curhat dengan tumbuhan, benar-benar tidak peduli jika ada orang yang melihatnya. Sejujurnya dia sudah kepergok beberapa kali oleh teman-teman di asramanya, tetapi sepertinya jika dia kepergok lagi, teman-teman asramanya sudah memaklumi kebiasaannya itu.

“Tapi ada syaratnya. Kamu jangan kangen ya sama Yogyakarta. Aku tahu susah karena banyak banget kenangan indah di sini. Tapi kamu harus tahu, Jakarta gak kalah seru. Bahkan kamu bakal ketemu banyak teman di The Shenina Florist,” lanjutnya.

Suara derum mesin mobil bisa didengar oleh Shenina dari area depan asrama. Lantas Shenina memalingkan wajah dari bunga matahari di hadapannya. Shenina kemudian tak lama menerima sebuah panggilan telepon dari ponselnya. Tidak perlu diragukan lagi bahwa itu merupakan taxi pesanannya.

Shenina lantas pergi menuju ke arah taxi tersebut, tak lupa dia berpamitan terlebih dahulu kepada bunga matahari di pot yang sudah dicat berwarna hijau. Shenina hari ini akan menghadapi pihak penerbit sendirian, sebelumnya dia berniat mengajak Ahana tetapi ternyata hari ini Syafiq sidang skripsi, yang mana berarti Ahana harus menemaninya.

Shenina begitu menikmati perjalanan kali ini, karena sepertinya ini hari terakhirnya dia akan mengelilingi Yogyakarta, sendirian pula. Tak lama, dia sampai di gedung penerbit karyanya, Shenina lantas disambut hangat oleh resepsionisnya dan dia kemudian menuju ke ruang utama.

Shenina di sana melakukan diskusi serta perjanjian-perjanjian kerja sebab dia akan pindah ke Jakarta. Naskahnya akan tetap diproduksi dan berhubungan melalui telepon.

Setelah tiga jam lamanya, akhirnya kesepakatan dicapai dan menguntungkan kedua belah pihak. Shenina keluar dari ruang utama, dia mampir sebentar ke toilet di sana. Setelah selesai ke kamar kecil, dia mengeluarkan ponselnya, untuk melihat jam, karena dia bukan tipe orang yang memiliki jam tangan sebab menurutnya itu tidak terlalu penting selagi dia memiliki ponsel.

Saat hendak menuju ruang resepsionis untuk berpamitan, netranya tak sengaja melihat sosok seseorang dari samping. Shenina yakin matanya tidak memiliki riwayat rabun jauh, walaupun hanya dari samping, Shenina sangat mengenal jelas siapa laki-laki tersebut. Dia kemudian menuju ke arah resepsionis dengan alis mengerut.

“Maaf, Mbak. Itu tadi siapa ya? Mas Raden bukan?” tanya Shenina kepada perempuan di depannya. Resepsionis itu pun kemudian mengangguk dengan tersenyum.

“Iya Mbak, itu yang akan ke gedung utama Mas Raden,” jawab resepsionis tersebut. Shenina semakin bingung. Untuk apa Raden ke sini?

“Kira-kira ada acara apa ya, Mbak?” tanya Shenina lagi.

“Oh, itu karena Mas Raden-“ ucap resepsionis itu terpotong karena tiba-tiba saja muncul dering telepon milik penerbit. Resepsionis itu kemudian mengangkat telepon itu dan berbicara selama sekitar sepuluh menit, sedangkan Shenina kemudian melihat ponselnya kembali. Ternyata taxi pesanannya sudah berada di depan gedung kantor.

“Maaf, tadi Mbak tanya apa ya?” tanya resepsionis itu dengan ramah setelah selesai mengangkat panggilan masuk.

“Maaf Mbak, tapi taxi pesanannya saya sudah ada di depan. Saya pamit kalau begitu, terima kasih. Assalamu’alaikum,” ucap Shenina terburu-buru.

SunflowersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang