20 - Alasan

11 3 0
                                    


Kasur dengan warna abu-abu bermotif Jerapah dan Zebra itu telah menjadi saksi bisu tangisan Shenina saat ini, ah, tidak, barang-barang lain juga.

Shenina rasanya bingung dengan semua yang tiba-tiba saja terjadi. Lusa dia akan berangkat untuk volunteer, dan sedari tadi ponselnya terus mengeluarkan notifikasi. Grup volunteer amat begitu berisik di telinganya, dilihatnya, ternyata pembagian divisi. Harusnya dia mengerjakan tugas untuk volunteernya hari ini agar besok dia bisa beristirahat. Namun, rasanya dia sekarang ingin keluar saja dari kegiatan sosial tersebut.

Shenina terus memikirkan niatnya untuk membatalkan kesediaannya untuk mengikuti volunteer, kejadian tadi pagi benar-benar mengacaukan pikiran dan hatinya. Konsentrasinya terganggu, bahkan Adine baru pulang beberapa menit yang lalu, hanya karena dia sibuk membantu Shenina untuk mengurus toko serta menenangkan sahabatnya itu, memberi banyak nasihat dan mengingatkannya untuk terus beristigfar. Astagfirullah.

Shenina memilih untuk mengambil wudu, lalu dia memulai membaca Al-Qur'an, menenangkan dirinya. Karena, yang ada di hadapannya yaitu As-Syifa, penawar.

Lantunan ayat suci itu dia baca dengan lirih namun tepat. Setelah selesai membaca, Shenina duduk di tepi ranjang. Dia menuangkan air ke dalam gelas lalu meminumnya. Saat hatinya merasa lebih baik, dia mengingat lagi segala kejadian yang telah terjadi. Dia ingin mengkaji mengapa itu semua bisa terjadi.

"Tolong kasih alasan yang logis," ucap Shenina dengan menahan air matanya agar tidak luruh.

"Lo? Customers itu? Sejak kapan?" lanjutnya bertanya. Laki-laki yang ada di depannya itu kemudian menghela napas, dia mengangguk. Shenina tersenyum kecut sembari membuang muka.

"Kenapa, Zaf? Kenapa?" tanya Shenina, rasanya sudah muak dengan semuanya.

"Yang logis, Zaf," ucap Shenina penuh penekanan dengan manik mata yang tegas.

"Untuk apa, Zaf? Jauh-jauh hanya untuk kasih bunga? Yang benar saja," lanjutnya tidak habis pikir. Tidak tahu mengapa, rasanya pasokan kesabaran di dalam dirinya seperti sudah menipis.

Zafran lantas mendongak, menerawang kepada awan.

"Maaf. Karena, gue baru sadar, ada sosok tangguh layaknya Khaulah binti Azur di zaman sekarang. Kalimat mudahnya, gue tertarik."

Dahi Shenina mengerut, dia sungguh tidak paham dengan perkataan Zafran.

"What do you mean?"

"Gue ketemu sama orang itu. Lalu, tak disangka, gue ketemu juga sama anak-anak ini di mana gue tiba-tiba merasa punya tanggungjawab. Gak adil rasanya membiarkan mereka buta dengan ilmu," jawab Zafran. Shenina masih belum mengerti, dia memutuskan untuk menjawab secara cepat, namun tiba-tiba Zafran menghalangi ucapannya untuk keluar.

"Gue suka." Mata Shenina membulat mendengarnya. Apa katanya? Suka? Zafran menyatakan perasaan? Oh my God. Suka dengan dirinya?

"Suka sama ... siapa? Shenina?" tanya Shenina ragu sembari menyebutkan namanya. Mendengar itu, Zafran sedikit tertawa.

"Bukanlah," ucapnya. Rasanya tiba-tiba saja seperti ada pisau yang menggores sedikit hati Shenina. Dia malu. Malu mengapa mengatakan hal itu. Dia juga tidak tahu mengapa rasanya sakit, padahal Shenina tidak suka momen ini.

"Gue suka sama dia. Maira," lanjut Zafran. Deg. Hati Shenina sudah tidak bisa stabil. Napasnya tidak tenang? Maira? Maira siapa? Atau jangan-jangan? Jika benar dari mana dia bisa tahu?

"Iya, Maira yang di mana gue ketemu sama dia beberapa tahun lalu. Di The Airly Florist, saat gue masih SMP. Waktu itu gue mau cari bunga buat Kakak gue, tapi gue ketemu seseorang di sana, namanya Maira. Itu alasan di balik kata customers," jelas Zafran.

SunflowersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang