11 - Hadiah

6 3 0
                                    

Hamparan rumput di taman kota begitu menyejukkan mata. Beberapa orang berlalu lalang untuk sekadar jalan sore atau mungkin ada kepentingan lain yang harus diselesaikan.

Sosok berjas navy kini sendirian duduk di kursi panjang di pinggir taman. Shenina tengah bergelut dengan pikirannya sendiri, mengingat segala kejadian setelah final tadi.

"Zafran!" panggil Shenina dari ambang pintu. Sang pemilik nama langsung menoleh mendengar panggilan tersebut, dengan gesture yang Shenina lihat seperti sedang menyembunyikan sesuatu di belakang punggungnya.

"Lo? Ada apa? Maksudnya cari siapa?" Shenina bertanya selagi Zafran melihatnya dengan ragu, lalu tangan kanannya yang sedari tadi disembunyikan pelan-pelan dia keluarkan. Zafran kemudian tersenyum tipis.

"Buat lo. Atas kemenangannya. Dan, kalaupun lo sedih, gue harap dengan ini, lo bisa lebih baik," ucap Zafran sambil menyerahkan setangkai bunga matahari berukuran sedang yang sudah berbentuk buket.

Shenina terpaku melihat hal tersebut, dia diam cukup lama, pikirannya berkecamuk.

"Gue gak menang, Zaf," ucap Shenina. Dia juga tidak mengerti mengapa malah kata tersebut yang keluar. Rasanya air mata yang sudah berhasil dibendung, agaknya sudah tidak sabar lagi untuk menerobos jatuh ke permukaan pipinya yang dipenuhi bahan kimia tipis itu. Mati-matian Shenina harus menahannya. Dia tidak mau terlihat lemah di hadapan orang lain, harga diri!

"Maksud lo apa? Di tangan lo itu, apa kalau bukan kemenangan?" jawab Zafran dengan melihat ke arah piala yang dipegang oleh Shenina.

"Lo tiruin dia? Untuk apa?" tanya Shenina balik.

Shenina rasa, Zafran mendengar semua percakapannya dengan Habibie. Ck, jika benar, maka dasar penguping!

"Gue gak tiruin dia. Untuk apa? Plagiat bukan sifat gue," balas Zafran dengan nada yang Shenina rasa sensi.

"Zafran kenapa sih? Kenapa dia tiba-tiba jawab seperti itu? Gue harus gimana? Apa gue harus tolak? Tapi, kan, pemberian? Dia cuma memberi karena untuk menghargai lomba, kan?" Shenina terus membatin, bertengkar dengan dirinya sendiri.

"Terima kasih, gue hargai lo sebagai teman mau repot-repot." Shenina akhirnya memutuskan untuk menerima bunga tersebut.

"Gue duluan, Wassalamu'alaikum," lanjut Shenina.

Shenina mengembuskan napas lelah. Dia kemudian mengambil bunga matahari yang tadi diletakkan di sampingnya. Dia amati bunga itu lamat-lamat, sunflower. Tiba-tiba saja ponselnya mengeluarkan nada dering, Shenina langsung mengangkatnya, ternyata sang Umma menyuruhnya untuk pulang. Shenina pun langsung bergegas pergi meninggalkan taman kota yang asri itu.

🌻🌻🌻

Papan tulis begitu kosong tanpa coretan sedikit pun. Gesekan pensil dan penghapus serta suara jam dinding memenuhi ruangan, saling beradu siapa yang paling nyaring.

Deretan depan begitu ambisius mengisi kertas kosong di hadapan masing-masing, pun dengan deretan belakang yang tak ingin kalah, walau terkadang ada saja di antara mereka yang sedikit saling lirik dengan perasaan waswas.

Guru pengawas tiba-tiba saja memberi peringatan bahwa waktu kurang sepuluh menit, Shenina semakin panik bukan kepalang, dia masih harus mengerjakan dua soal isian lagi.

Matematika benar-benar membunuh otaknya. Peluh keringat muncul di dahinya, dia mengerahkan segenap jiwa dan pikirannya untuk menjawab dua soal terakhir tersebut, entah benar atau tidak yang penting dia mengisinya, sampai suara jam istirahat mengakhirinya. Kini, Shenina beserta teman-temannya tengah berada di surga sekolah, kantin.

SunflowersTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang