15-Halusinasi

63 4 0
                                    

Ilona menatap ruangan minimalis yang tersusun banyak rak obat di dalamnya. Susunannya sangat rapi. Ternyata seperti ini bentuk ruangan obat-obatan dalam imajinasi Ilona.

"Duduk di sana," perintah Kaisa. Ia menunjuk ranjang yang cukup nyaman di tempati.

Ilona menurut saja.

Kaisa mengambil perban dan beberapa obat untuk menghentikan pendarahan.

Ia meletakkannya di atas ranjang. Ia duduk di samping Ilona dan mulai membersihkan luka di lehernya agar tidak infeksi.

"Sstt, bisakah kau lebih pelan? Lukanya sangat perih," Ilona kembali memejamkan matanya. Tangannya Ia kepalkan kuat-kuat. Lukanya hampir mengenai urat nadinya.

Kaisa bisa melihat Ilona tak berbohong. Dia terlihat sangat takut dengan rasa sakit. Ia mengoleskan obat merah dengan pelan.

"Tenang saja, aku akan menemanimu. Tidak akan sakit," gumam Kaisa. Ia meniup luka di leher Ilona kemudian kembali mengoleskan obatnya perlahan. Lalu meniupnya lagi agar Ilona tak terlalu merasakan sakitnya.

'Tenang saja, aku akan menemanimu. Tidak akan sakit'

Ilona pernah mendengar kalimat itu. Jantungnya berpacu dua kali lipat. Apakah dia berhalusinasi lagi?. Ia membuka matanya perlahan kemudian menoleh pada Kaisa yang sudah selesai membalut luka di lehernya.

"Apa kau-pernah melintasi alur novel sebelumnya?," Ilona menatap Kaisa dengan wajahnya yang penuh harap.

"Kau sedang berhalusinasi? Melintasi apa? Alur novel? Apa itu novel?," Kaisa mengerutkan keningnya bingung tapi sedikit terkekeh.

"Ooh, apakah novel adalah sebuah buku mantra? Atau sebuah buku pengobatan kuno," Kaisa merapikan obat-obatannya masih menertawakan perkataan konyol Ilona. Dia sangat takut rasa sakit sehingga mulai mengatakan kalimat aneh.

Benar juga. Itu tidak mungkin. Mana mungkin Kaisa yang menemaninya di sana. Itu mustahil. Ilona hanya terlalu banyak berfikir. Sepertinya dia kembali berhalusinasi.

"Sekarang kau adalah tawananku. Jadi bersikap patuhlah. Jangan berfikir untuk kabur," Kaisa memperingatkan. Dia bisa digunakan sebagai bahan negosiasi dengan mentri perang. Atau alat untuk menghancurkan kerajaan.

"Tenang saja. Aku juga tidak berniat kabur," Ilona merebahkan tubuhnya di atas ranjang dan menarik selimut. Lebih baik dia tidur saja.

"Oh tidak. Makanannya," Kaisa masih menyelinapkan makanan malam pertama ke istana pada orang suruhannya. Dia pikir akan memberikannya pada Ilona dan Aeren.

Tapi tidak mungkin Aeren melakukannya dengan Nayara. Tidak mungkin makanan itu akan mempengaruhi Nayara. Kaisa mencoba meyakinkan diri sendiri.

🌸🌸🌸🌸🌸

Suasana di istana masih menegang. Setelah kekacauan di acara pernikahan, keamanan istana di perketat.

Aeren menunggu tabib selesai mengobati Nayara. Ia menunggu di depan pintu. Tak berselang lama, pintu ruangan di buka.

Aeren langsung menghampiri tabib itu untuk menanyakan kondisi Nayara.

"Tabib, bagaimana kondisinya?," tanya Aeren dengan tatapan cemas.

"Salam yang mulia. Dia hanya syok. Tak ada luka yang serius. Hanya terkena goresan kecil," Jawab tabib.

"Syukurlah," Aeren berujar lega. Ia bisa tenang sekarang.

"Kalau begitu, hamba pamit dulu yang mulia,"

"Silahkan,"

Antagonist WriterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang