Tcas...tcas....tcas...
Suara cambuk yang kasar mengalun keras di dalam penjara penyiksaan. Seorang gadis diikat di sebuah tiang sembari di cambuk dengan keras. Dia sudah tak berdaya."Katakan, sejak kapan pemberontakan itu di rencanakan?," tanya pria yang menghukum tahanan dengan cambuk. Petugas yang bertugas untuk mengintrogasi tahanan. Ia menghentikan aktivitasnya sejenak.
"Keluargaku tidak pernah memberontak," jawab gadis itu yang tidak lain adalah Ilona.
Tcas....tcas...
Arkh....
Cambuk itu kembali melibas tubuh Ilona yang penuh dengan darah."Mengaku saja, kau tidak akan tersiksa seperti ini jika cepat mengaku," petugas itu sudah mulai jengah. Gadis itu keras kepala sekali, membuat pekerjaannya semakin sulit saja.
"Hah..hah... bagaimanapun, aku pernah menjadi putri mahkota. Tidakkah kau bisa menunjukkan sedikit belas kasihan?," gumam Ilona menarik nafasnya yang terasa sesak. Rasa panas dan sakit yang menjalar di tubuhnya sekaligus membuatnya tak bisa lagi membedakan rasa sakit dan perih. Jadi, seperti inilah rasanya saat semua rasa sakit menyatu menjadi satu.
Pruff...
Petugas itu meludahi wajah Ilona. Masih berlagak sombong. Penjahat sepertinya mana pantas mendapat belas kasihan."Nona, kau masih memandang tinggi dirimu? Putri mahkota? Kau tidak pantas. Karena dirimu, putriku tersingkir dari pemilihan putri mahkota. Kau melakukan segala cara untuk naik menjadi wanita terhormat. Kau sangat licik," petugas itu tersenyum remeh. Di seluruh wilayah kerajaan, mana ada yang mengakuinya sebagai putri mahkota.
Tcas....tcas...
Cambuk itu mendarat di tubuh Ilona. Pukulan itu tanpa belas kasihan sedikitpun. Sekarang dia bahkan tak punya tenaga untuk mengeluh. Dia sangat lelah."Berhenti," seseorang memasuki ruangan introgasi dan menghentikan petugas. Ia mengepalkan tangannya dengan raut tak suka.
"Salam putra mahkota," petugas itu memberi hormat pada Aeren yang baru memasuki ruangan.
"Introgasi hari ini cukup sampai di sini. Kembalikan dia ke sel tahanan," perintah Aeren sembari meremas pakaiannya erat.
"Baik putra mahkota," petugas itu melepaskan ikatan Ilona dan mendorongnya kembali ke dalam sel.
"Pergilah, tinggalkan aku dengannya," perintah Aeren pada semua petugas.
"Baik," jawabnya perlahan keluar dari ruangan.
Aeren menatapnya dari luar. Melihat luka di sekujur tubuh gadis itu, membuat hatinya berdenyut nyeri. Ia tak berani menatap wajah Ilona.
Ilona berusaha berdiri sembari memegang jeruji besi. Sakitnya terasa nyata. Tidak di sangka saja, dia akan mendapat penyiksaan seperti ini di dalam novelnya sendiri.
"Jangan keras kepala. Sebaiknya kau mengaku saja. Kau tidak akan tersiksa seperti sekarang. Nyawamu juga akan diampuni," Aeren menatap Ilona dengan sorot mata teduh. Ada sedikit kekhawatiran di benaknya.
"Tidak. Jika aku mengaku, itu berarti perjuangan ayahku sia-sia. Dia meregang nyawa di medan pertempuran juga sia-sia. Jika aku mengakuinya hanya untuk menyelamatkan nyawaku, bagaimana dengan ribuan prajurit pengikut ayahku? Bagaimana dengan panglima Hadra? Uhuk...," ujar Ilona terbatuk. Dadanya terasa sakit.
"Jika aku mengaku, mereka semua akan di hukum penggal. Apakah itu semua sepadan?," Ilona menelan salivanya pahit. Bau anyir darah menyeruak di tubuhnya. Hebat sekali tubuhnya di novel ini. Sudah terluka sangat parah, tapi masih saja sadarkan diri.
Aeren sedikit menunduk. Ada rasa bersalah yang menjalar di hatinya. Dia terpaksa memanah Ilona seolah dia sangat membencinya agar orang-orang di istana tak curiga padanya. Sebenarnya, panah kedua yang Ia tembakkan bukan untuk melukai Ilona, hanya memperingatkannya saja. Agar tikus busuk di istana lengah padanya karena di butakan kebencian pada istrinya. Disaat mereka semua lengah, itulah kesempatan bagi Aeren untuk menangkap mereka sekaligus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Antagonist Writer
FantasíaIlona Huria merupakan seorang penulis dengan nama pena 'Quin'. Ia sudah menerbitkan enam karya yang membuat pembacanya puas dengan setiap karya yang Ia ciptakan. Ilona selalu memberikan ending yang bahagia pada semua tokoh utama dan memberikan endin...