21-Lembaran Kosong

67 4 0
                                    

Hari semakin gelap. Namun Nayara enggan meninggalkan tempat pemakaman. Dia tidak bisa merelakannya. Atas dasar apa mereka berhak menginjak Nayara seperti ini? Hidupnya sudah terlalu menderita. Di kucilkan, dimamfaatkan, direndahkan, disiksa dan sekarang dia juga harus kehilangan ibunya.

Kenapa harus dia yang menderita? Kenapa tidak orang lain saja?

"Ibu," gumamnya sembari memeluk erat plakat nisannya.

Aeren berdiri di belakangnya. Kejadian ini pasti membuatnya sangat terpukul.

Aeren mendekat kemudian memeluknya erat. Dia tidak akan membiarkan Nayara seorang diri menghadapinya. Apapun yang terjadi, dia akan selalu menemaninya dan berada di pihaknya.

Nayara membalas pelukan Aeren sembari menumpahkan air matanya.

"Putra mahkota, ibuku di bunuh. Hiks... aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi," ujarnya semakin mengeratkan pelukannya.

Sementara Kaisa hanya menatap mereka dari balik pohon. Tak mendekat ataupun berusaha menghibur. Dia hanya diam memperhatikan.

"Pembunuhnya masih hidup tenang. Sementara ibuku pasti sangat menderita. Ini tidak adil. Benar-benar tidak adil," Ujarnya. Dia bisa melihat bekas tusukan pedangnya tidak terlalu dalam tapi langsung mengenai jantungnya. Hanya orang yang ahli dalam berperang yang bisa membunuh seperti itu.

"Tenang saja. Aku pasti akan menemukan pembunuhnya dan menghukum mereka secara setimpal. Aku berjanji," Aeren pasti akan menepati janjinya.

"Kau tidak akan ragu meskipun tau siapa pembunuhnya?," tanya Nayara. Jika benar kediaman mentri perang yang membunuh ibunya, apakah Aeren tetap akan menegakkan keadilan untuknya?

"Aku tidak akan ragu," ujarnya pasti.

"Aku mencurigai putri mahkota," Nayara tidak perlu menyembunyikan apapun. Dia hanya ingin pelakunya segera tertangkap.

Aeren melepaskan pelukannya. Dia terkejut. Kemudian menatap Nayara cukup lama. Dia pasti akan menyelidikinya hingga akhir.

🌸🌸🌸🌸🌸

Matahari sudah menyingsing. Namun Ilona tak kunjung bangun dari tidurnya. Dia masih betah berlama lama di atas ranjangnya.

"Nona, berapa lama lagi nona akan bangun? Nona, nona harus pergi ke kediaman selir utama. Nona harus menunjukkan belasungkawa," Cassi menarik selimut yang menutupi tubuh Ilona.

"Uuum Cassi. Aku tidak mau pergi," Ilona kembali menarik selimutnya. Dia tidak peduli lagi dengan alur ceritanya. Jika mati karena panah beracun ya sudah, di jalani saja. Nanti juga akan kembali lagi.

"Nona, nona harus pergi. Jika tidak, seluruh orang akan memandang nona sebagai putri mahkota tanpa perasaan," Cassi kembali menarik selimut.

"Biarkan saja. Cassi, jangan menggangguku. Pergilah. Aku masih nengantuk," Ilona menyipitkan matanya dan kembali menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut.

"Kau tidak memiliki hati sedikitpun? Keadaan sedang berduka dan kau masih bisa tidur dengan nyenyak?,"

Cassi buru-buru memberi hormat.


"Salam putra mahkota," ujarnya membungkukkan sedikit tubuhnya.

Ilona menghembuskan nafasnya kasar. Ia membuka selimut dengan rambut yang acak-acakan. Ia mendudukkan dirinya sembari menatap Aeren. Ia memutar bola matanya malas.

"Tuan yang terhormat. Kau sudah lupa kalau kau mengurungku di sini selama sebulan? Aku bisa apa lagi selain tidur?," Ilona menggaruk kepalanya dan mengucek matanya yang sedikit kabur akibat baru bangun.

Antagonist WriterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang