15. Bercerita

26 12 2
                                    

"Kita kenapa?"

Kini Dinda hanya menatap Ravendra, lalu Dinda menundukkan kepalanya pelan agar bisa menyembunyikan matanya yang sudah sembab akibat menahan tangisan. Dia menggigit bibir bawahnya, tenggorokan nya terasa sakit karna menahan tangisan itu sudah lebih dari 5 menit lamanya.

"Semenjak hari itu kita kenapa, aku gak menyalahkan kamu. Aku menyalahkan kita berdua."

Berbeda dengan Dinda, Ravendra tak sungkan melontarkan tangisannya. Berusaha ia tahan namun tak bisa.

"Kita gak pernah cerita, gak bernah tanya kabar lagi sejak hari itu. "cape ya?" "gimana hari ini?" itu semua gak pernah lagi Dinda."
satu tangan Ravendra memegang tangan Dinda, satunya dia gunakan untuk menahan air matanya agar tidak terus keluar.

"Kamu yang ceria udah hilang, dimana kamu yang suka cerita tentang setiap sudut tempat yang kamu datangi, aku gak mau kita berantem terus karna kamu emosian tiap hari." Ravendra menatap Dinda penuh harapan, dia kemudian menundukkan kepalanya setelah dia mengatakan semua yang ada di kepalanya sejak "hari itu"

"Aku juga mau kita baik Rav."

"Aku mau kita kayak dulu."

"Tapi sejak hari dimana Anin gugur di kandungan aku, aku ngerasa kehilangan. Aku merasa bersalah gak mau makan sayuran yang selalu kamu buat biar janinnya sehat, walau aku tau bukan itu alasannya. Dan sejak dia hilang dari aku, kamu seolah biasa aja dan gak peduli dengan Anin. Mana tangisannya!?" teriak Dinda, kini air matanya tak mungkin lagi dia tahan. Ravendra sudah mengungkit tentang Anin.

Saat satu tahun pernikahan, Dinda sempat mengandung anak perempuan yang telah mereka beri nama Anindia. Tapi saat usia kandungan ke 4 bulan, janin tidak berkembang secara normal. Maka kehamilan Dinda dinyatakan telah berhenti saat itu juga.

"Ka-kamu pikir aku diam, aku gak sedih kayak kamu?" tanya Ravendra, dia tak percaya Dinda akan berkata seperti itu.

"Memang aku harus nangis mengurung diri seminggu dikamar kayak kamu? itu gak akan merubah kenyataan Dinda." lirih Ravendra, dia mengingat setelah kehamilan Dinda berhenti, Dinda mengurung dirinya di kamarnya 7 hari. Dan terhitung dia tidak makan 4 hari.

"Aku juga sedih Dinda, tapi apa aku harus tunjukin kesedihan aku setelah kamu ngurung diri seminggu karna sedih itu?. Dengan aku nangis itu sama aja menambah kesedihan kamu."

"Waktu itu."

"Aku mau kamu datang, peluk aku di kamar."

"Tapi apa? kamu bahkan gak pernah tanya apa-apa soal aku seminggu itu. Kamu gak pernah pulang dari kantor kurang dari jam 11 malam seminggu itu."

Ravendra tersentak, hatinya tergores begitu saja saat tau ternyata Dinda butuh seseorang saat itu. Ravendra mengira Dinda tak butuh diganggu, tak butuh siapapun saat itu. Nyatanya ternyata dia serapuh ini, dia butuh pelukan saat itu.

Ravendra meraih bahu Dinda dan memeluknya erat saat itu juga, "Maaf." ungkapnya dengan lembut, mereka berdua menangis apalagi Dinda. Seolah tangisannya yang selama ini dia tahan telah ia luapkan semuanya semaunya.

"Maaf aku gak ngertiin kamu, maaf Dinda." Ravendra menepuk punggung Dinda saat istrinya ini menangis kencang.

~

"Hiks hiks."

Keyfa menangis mendengar cerita kegugurannya calon bayi Dinda, Hannah menceritakan nya. Hannah sebenarnya sudah lama sadar bahwa selama ini Dinda dan Ravendra sering bertengkar karna kurangnya komunikasi soal "Anin" calon bayi mereka dahulu.

Risha mendongakkan kepalanya dan matanya melotot menatap langit-langit warung seblak itu. Risha begitu karna menahan tangisannya. Irsyad yang melihatnya langsung menundukkan kepala Risha agar dia leluasa menangis tanpa dilihat orang banyak. Tapi sedari tadi orang banyak sudah melihat mereka karna kostum tidur Nara, Hannah, Keyfa, dan apalagi Risha yang sangat bagus dan mencolok motifnya.

Gara-gara Tetangga!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang