Bab II Tebaran Mosaik oleh Kinanthi

33 3 0
                                    


Bab II

"Selamat datang di tempat kos, para yuniorku yang cantik,"terdengar suara dari balik pintu sebelum sosoknya tampil sepenuhnya. Aku segera menoleh ke arahnya. Ekspresinya ramah, rambut terurai sebahu dikeriting gantung tampak masih acak-acakan belum tersisir, tetapi tetap saja seolah melekat dan pas dalam membingkai wajahnya. Kenangan awal bertemu mbak Sasa sebagai anak kos kembali melintas.

Kami pun bergegas menyalami senior kami di tempat kos tersebut. Konon, dirinyalah penghuni tempat kos terlama. Sejak ia masih kuliah sampai bekerja. Ia tetap kerasan di tempat kos baruku itu.

"Selamat datang di Kawah Candradimuka, kos-kosan, tempat belajar bermasyarakat sebelum benar-benar terjun ke dunia nyata sebagai manusia dewasa, yang harus mandiri dalam masyarakat pluralis,"lanjutnya sambil menyambut uluran tangan kami satu per satu.

Setelah itu, ia pun keluar rumah. Sebelumnya, ia pun berdandan terlebih dahulu. Wajahnya yang sudah tampak glowing ditaburi bedak translucent. Setelah itu rouge pun dipoleskan ke kedua pipinya yang ranum, diakhiri dengan memoleskan matte lipstick. Tatkala merasa ada yang belum lengkap, ia pun kembali ke depan kaca rias sambil mengulaskan eye shadow ke kelopak matanya. Jadilah, ia tampak lebih cantik dan segar sebelum melangkah keluar rumah.

"Hmmm ...dosa tuh tampilannya. Tidak berkerudung, berdandan pula," bisik Syka sambil melengos. Netta dan Terry saling pandang dan saling senyum. Puspa sepertinya ingin ikut berkomentar tapi dibatalkannya. Ia kemudian mengeluarkan isi tasnya dan memasukkan bajunya satu per satu, sedangkan aku pura-pura sibuk dengan gawaiku, enggan menanggapi komentar Syka.

"Kebiasaan tuh Syka. Sejak masih tinggal di kampung semasa SMA,"bisik Netta. Terry hanya mengangguk.

"Mungkin Ia beribadah sesuai dengan kemampuannya. Emang Gue Pikirin,"sahutku sambil rebahan melipat bantal kemudian memiringkan kepala sambil membaca buku.

"Aku juga tidak ingin mikirin, toh ia nggak mengganggu aku. Kemarin saat aku tiba di antar pacarku, sikapnya biasa saja. Tidak sok bergenit ria. Coba saja berani bergenit-genit, kusembur dia,"sahut Puspa sambil ikut merebahkan diri ke sebalahku.

"Eh...ngomong-ngomong, salahkah ucapan si Syka tadi?"tanyanya menoleh ke arahku sambil sedikit menyentuh bahuku.

Aku pun menutup buku sebelum menjawab,

"Kewajiban kita hanya meningatkan, bukan mengubah. Tidak ada yang bisa diubah jika orang tersebut tidak mau berubah."

"Jadi, mengingatkan pun tidak dilarang?"

"Alangkah etisnya jika disampaikan secara etis pula. Berbicara empat mata. Bila perlu secara panjang lebar ulah si pelaku dan dampaknya bagi dunia dan akhiratnya. Tapi tidak dengan cara menggibah di belakangnya. Sama aja bohong. Sama aja dengan memberikan pahala kita kepadanya. Kok nyimut."

"Mana berani Syka bicara kepada senior tersebut,"sanggah Puspa.

"Jika tidak berani, lebih baik diam."

Kami pun terdiam terbawa arus jalan pikiran masing-masing. Aku teringat nasihat dan pesan orangtuaku ketika melepasku pamit untuk kos di kota agar tidak merasa kelelahan karena tinggal dekat kampus.

"Kamu kuanggap lulus sebagai anak kos dan tidak kularang mencicil rumah di perumahan begitu bekerja, hanya jika saat berperan sebagai anak kos, kamu tidak pernah bertengkar dengan teman,"itu wanti-wanti yang disampaikan ibu.

"Tambah satu lagi. Jangan berulah yang mempermalukan orangtua, misalnya hamil di luar nikah, berpacaran dengan pria beristeri, bertengkar dengan teman di tempat kos. Itu memalukan,"lanjut bapak.

Tebaran MozaikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang