Bab 22
"Sedangkan dengan pacarmu?"
"Entahlah. Acapkali aku merasakan gurauannya bernada kesombongan. Mentang-mentang insinyur dari perguruan tinggi ternama di Indonesia, lalu dengan seenaknya meremehkan aku yang label kampusnya kalah dengannya...
"Belum tentu begitu. Itu mungkin perasaan bawaaan anak-anak sekolah saat memilih kampus. Kamu janganlah terlalu sensitif begitu."
"Tapi mengapa aku kesal ketika ia kembali menemuiku?"jawabku sambil mengacak-acak rambutku yang tidak gatal.
"Aku tidak tahu yang kurasakan saat itu, kecuali merasa hampa saja. Aku merasa bahwa rasa sukaku kepadanya dulu itu sudah terkontaminasi dengan tuntutan masyarakat, bahwa jodoh kebanggaan seharusnya dokter, insinyur, ABRI, PNS. Saat ia membuatku kecewa dengan alasan logis, lalu aku bisa keluar dari rumah orangtuaku dengan cara mencicil perumahan, aku merasa terbebas dari tuntutan-tuntutan yang menyesakkan napas. Tuntutan segera menikah demi cemas dilangkahi adik-adikku serta tuntutan harus memilih suami dengan label di atas. Aku ingin bebas dari tuntutan tersebut."
"Hmmm...perasaan yang aneh,"sahut Syka mencoba memahami beban batin yang kurasakan,
"Selama ini Kamu menganggap arahan sebagai tuntutan mungkin? Adakalanya arahan tradisi memang nggak logis sih. Misalnya kecemasan dilangkahi adik-adik yang seharusnya ditanggapi sebagai takdir. Mengapa harus diarahkan untuk tidak dilangkahi padahal lahir, jodoh, matinya manusia sudah ditentukan Tuhan? Yang lahir pertama harus kaya duluan dan mati duluan, lalu harus menikah duluan pula? Tidak begitu kan, faktanya? Semuanya acak bergantung sebab akibatnya kan? Tidak berurutan seperti aturan manusia, kan? "
"Berikutnya, untutan tradisi peninggalan zaman kolonial mungkin, karena jodoh ideal itu seharusnya dokter, insinyur, ABRI, PNS, sedangkan nenek moyang kita semula petani dan pelaut seperti kondisi alam kita. Lalu, kita terlanda era industri melalui penjajah yang mengenalkan pekerjaan kantoran, pekerjaan bersenjata, pekerjaan harus berseragam? Lalu, pekerjaan itulah yang dianggap bergengsi. Sementara itu, yang mau mengelola hasil laut seperti bu Susi, malah memiliki Susi Air. Dengan kesuksesannya, bu Susi membuktikan, bahwa laut kita bisa memberikan kekayaan berlimpah, bahwa makan ikan selain membuat pintar juga sanggup membuat kita kaya. Hal itu diperoleh dari laut kita, Indonesia," lanjutnya sambil melipat mukena.
"Tapi kalau ada, mengapa tidak? Apalagi alasan pacarmu itu logis lho. Ia pun datang lagi setelah masalah Kalian dianggap usai,"sahut Merry,
"Aku tidak menemukan kesalahan di titik ini,"lanjutnya.
"Pernah sih, seorang kerabat menganggap aku nggak bisa balik suka pada pacarku setelah peristiwa itu, karena aku suka lelaki tampan. Meskipun ia menganggap wajar karena latar belakang pendidikanku dari Fakultas Bahasa dan Seni, tapi aku nggak bisa sepenuhnya menyetujui pendapatnya. Toh, tidak selalu lelaki tampan membuatku senang saat bersamanya."
"Kamu terbawa suasana nyaman sebagai anak kos-kosan yang selalu enjoy dalam berdiskusi bahkan berdebat. Seperti yang kurasakan pada suamiku. Gadis lajang mana yang pernah berkhayal menikah dengan duda ada anak, lebih tua beberapa tahun dari bapaknya pula. Andaikan obrolan nggak nyambung, mana aku mau?" sahut Merry.
"Kini nyaman ya?"tanya Vina.
"Kenyamanan yang kian nyaman karena ia pun mapan. Aman deh,"sahut Syka yang disambut dengan tawa Merry.
"Bagaimana akhirnya hubunganmu dengan bos Kamu itu?"tanya Syka.
"Hubungan apa? Nggak ada apa-apa. Ia kan suami orang,"kilahku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tebaran Mozaik
General FictionSuka duka para gadis (mahasiswa maupun yang sudah bekerja) di tempat yang sama, sebuah tempat kos. Tempat bak kawah candradimuka, arena penggemblengan diri, karena dari kawah itulah akan muncul perempuan-perempuan dengan kemandirian dan kepribadi...