bab 27
"Saat ia keceplosan ingin memiliki kafe juga seperti Devita, ia menjadi kurang suka kan? Cemas tersaingi atau malah ia menganggap Del orangnya nggak mau kalah, padahal hanyalah ingin eksplore, karena memang bawaan zodiacnya. Apalagi si Del itu ekstrovert,"sahut Merry,
"Kamu tahu saja sih?"tanya Syka.
"Lho, bukankah ini info dari Kamu?"bisik Merry melirik ke arahku, seolah cemas aku mendengarnya, padahal percakapan mereka sangat dekat denganku. Tentulah telingaku mendengar dengan jelas. Tapi apa peduliku, toh begitulah adanya.
"Tapi nggak apa-apa, aku senang mendapat info ini,"lanjutnya.
"Karena itu, jika Kamu nggak segera menikah, coba saja cari tempat kerja di kota ini, Del. Di sini nggak ada yang akan merasa tersaingi karena kami pun serba berlari,"ujar Merry sambil mendekat selangkah ke arahku.
"Tentu Del keberatan meninggalkan rumahnya. Kan lagi sayang-sayangnya nih memiliki KPR,"goda Syka mencolek pinggangku. Aku pun hanya berjingkat merasa geli, tidak segera menyahut karena melihat Vina seolah ingin mengatakan sesuatu.
"Banyak juga uangmu. Belum genap dua tahun kerja sudah bisa mencicil rumah," sahut Vina.
"Yakh...tentu saja uang muka patungan sama orangtuakulah. Kalau lagi bokek karena harus nyicil pun ibuku masih memberiku uang."
"Untuk rumah bukan masalah ribet kan? Bisa dijual tuh, lalu dibelikan di sini atau dikontrakkan atau apalah terserah Kamu. Tapi aku sangat berharap Kamu bisa tinggal di kota ini agar dekat denganku. Selain itu juga baik untuk perkembangan hobimu kukira. Terlebih kondisi psikologismu yang ekstrovert. Aku cemas Kamu malah kian stress jika merasa banyak yang malah penasaran akan kesendirianmu atau ekstrovertmu itu lho. ...
"Atau...misalnya ada yang berniat memorot hartamu? Harta yang hanya berupa rumah, bagi kaum yang tidak bisa menabung, merupakan ancaman kan? Harus diakali dan dimusnahkan kan? Agar mereka tidak terkesan pemboros berdalih agar Kamu tidak sombong dalam memprovokasi orang lain agar ikutan membencimu? Itu ilmu purba sejak zaman Kabil dan Habil, tau!?"Merry melanjutkan kemungkinan mengerikan, yang bisa saja mengancamku, setelah berhenti sebentar.
"Kecuali jika sudah menikah,"sahut Vina.
"Itu juga masalah kecil. Kalian bisa tinggal di sini berdua. Semua juga demi si Del. Atau aku yang terlalu mencemaskan sahabatku? Aku cemas ia nggak bisa berkembang. Bukan salah sekitar, tapi lebih pada pengaruh zodiac serta karakternya yang ekstrovert. Aku cemas dimaknai lain lalu dianggap mengajak bersaing. Tapi, di kota ini ia hanyalah sebutir debu, siapa yang bakal resah? Justru di suatu tempat yang menganggapnya tak pernah ada, ia bisa berkembang leluasa. Sesungguhnya ia pun tak ingin mencari musuh, tak ingin dianggap mencari pesaing. Namun, jika situasi telah terasakan tidak nyaman, sesungguhnya bumi Allah sangatlah luas untuk tempat yang aman dan nyaman,"Kata Merry.
"Seharusnya kita berbahagia di mana pun berada. Kalau lingkungan sudah membuat sesak napas karena nggak mau tampak kalah denganmu yang kreatif, lalu mengipas bara mencari-cari kawan untuk memusuhimu dengan dalih agar kamu nggak sombong, ngapain tinggal di lingkungan sejahat itu? Logis nggak sih, berniat menghancurkan mental dengan dalih agar nggak sombong? Seberapa pedulinya mereka andai kelak kita masuk neraka karena sombong? Tentu mereka cemas zona nyamannya terusik dengan aktivitas orang lain. Mereka memang malas atau memang ber-IQ normal. Bayangkan! Kalau tidak dihindari, hal itu kan sama saja dengan menyeret orang jenius menjadi normal, lalu masih saja menarik paksa orang normal menjadi idiot. Apalagi idealnya tes iQ itu dilakukan tiga bulan sekali, sama dengan tes lainnya seperti TOEFL, dan lainnya,"lanjut Syka.
Kami pun berpisah dengan Merry kemudian bergegas menuju ruang tunggu setelah urusan dengan hal yang berkaitan dengan keberangkatan ke bandara Juanda terselesaikan. Sepanjang perjalanan aku banyak diam. Apalagi nomor tempat dudukku di bagian paling belakang. Untung saja dudukku dekat jendela meskipun terpisah dengan teman-teman. Aku pun mencoba menikmati pemandangan dari balik jendela. Seperti biasa, seorang pramugari mempraktikkan demo tentang keselamatan andaikan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Mulai dari cara memasang sabuk pengaman, mematikan telepon genggam, sampai mengenakan pelampung keselamatan dan masker oksigen.
Aku pun memperhatikannya tanpa sanggup membayangkan andaikan betul-betul terjadi bencana, mampukah aku mengikuti langkah tersebut? Atau malah terkalahkan oleh kepanikan, kekalutan, kemudian pasrah terhadap takdir. Aku tak lagi membayangkan hal yang menakutkan. Jika untuk melangkah sudah dibayangi ketakutan, tentu tak akan bisa melangkah. Bukankah hidup untuk dijalani, bukan untuk dibayangkan?
Ketakutan dan ketegangan pun perlahan mulai hilang ketika pesawat mulai terbang, telah take off. Banyak orang beranggapan bahwa momen krusial dalam penerbangan pesawat adalah ketika take off maupun ketika landing. Oleh karena itu, setelah take off perasaan kembali tenang tidak lagi diliputi ketegangan. Tiba-tiba, kepalaku terasa pusing begitu memperhatikan perubahan bentuk rumah yang kian mengecil. Akan tetapi pusing tersebut tidak lama. Aku pun kembali bisa menikmati melihat pemandangan dari ketinggian. Rumah, hotel, dan jalanan, serta mobil yang semakin mengecil, dan semakin kecil. Kemudian, terlihat gumpalan awan berjalan berarak seperti kapas, hutan menghijau, kemudian disusul oleh hamparan laut yang membiru.
"Kita turis backpacker semua kan? Oke deh. Kita bisa cepat pulang, nggak kelamaan menunggu antrean barang dari bagasi,"terngiang ucapan Syka pagi tadi sebelum pulang.
Di Jakarta hanya dua hari, kami memang tidak sempat berbelanja, selain hanya berjalan-jalan berpindah-pindah dari mall ke mall. Oleh karena itu, barang kami pun tidak bertambah, tetap seperti ketika berangkat. Semuanya menyatu di dalam backpack yang nangkring di punggung. Kami berjalan bersama sambil mengenang masa kuliah ketika berangkat bersama-sama. Semua mengenakan backpack di punggung dan isinya pun berat, ada laptop dan buku-buku tentu. Sementara itu, isi backpack di punggung kami hanyalah pakaian.
Kami pun mengiyakan. Kebiasaan menjadi anak kos-kosan dan naik turun angkot ke mana saja, membuatku tidak terlalu kesulitan mengepak barang bawaan ketika harus bepergian. Yang pasti dibawa adalah bahan antikusut, selain fleksibel juga tidak menuntut diseterika.
"Suamimu sedang cuti jugakah?"tanya Vina tadi pagi.
"Begitulah. Sedang pergi bersama keluarganya. Bersama kedua orangtuanya dan saudara-saudaranya."
"Kamu nggak ikut?"
"Sesekali nggak bergabung. Nggak apa-apa kan udah dapat izin ketemu Merry bersama Kalian."jawab Syka.
Aku kembali melihat ke bawah. Yang terlihat hanyalah hamparan laut. seolah hanya lautan saja isi bumi. Meskipun lautan memang lebih luas daripada daratan, dengan komposisi 70% sedangkan daratan hanya kebagian 30%. Laut menjadi habitat bagi banyak makhluk hidup, Bukan hanya itu saja, laut juga menjadi salah satu sumber kehidupan manusia, selain hutan. Bukankah di laut banyak aneka ikan serta rumput laut? Bahkan, lautan menghasilkan oksigen lebih banyak dari pada hutan. Kira-kira apa dampak yang terjadi bila tidak ada lagi laut di muka bumi, ya?
Di Bumi, laut memiliki peran penting dalam menyerap dan mendistribusikan radiasi cahaya matahari.Tanpa adanya air, cahaya matahari yang tajam bahkan adakalanya sangat tajam dan menyengat tersebut, bisa menyebabkan wilayah ekuator terpanggang kepanasan. Selain itu, tidak ada energi yang tersalurkan ke wilayah kutub. Dengan demikian, peran laut membantu mengatur suhu pula bagi bumi.
"Arus laut pun berperan penting bagi iklim global di bumi. Andaikan tanpa adanya laut, maka iklim di bumi juga bisa berubah-ubah, kan? .Arus laut mengatur air dari tempat tropis ke utara dan selatan, serta membawa air yang dingin ke bagian ekuator. Arus laut membantu mendistribusikan energi panas sehingga bisa seimbang,"terngiang ucapan VIna ketika kami berangkat tempo hari. Ia menyampaikan hasil bacaannya tanpa menutup handphonenya.
"Kalian harus bersyukur hidup pada era milenial ini,"demikian yang dikatakan bapak tempo hari.
"Dulu ketika dunia belum ada internet, untuk mengetahui sesuatu harus mencari sumber informasi dari buku. Sebelum era internet, buku dan guru seolah satu-satunya sumber informasi. Murid bergantung dari informasi guru. Informasi dari guru tersebut diperoleh dari buku. Guru zaman dulu kelihatan banget bedanya, seperti kamus berjalan. Anak-anak sekarang bisa mencari informasi dari internet, tidak melulu dari guru dan buku."
"Tapi, buku terlebih jurnal tetaplah lebih terpercaya dari internet, karena anak-anak bisa membuat blog dan mengisi blog tersebut secara suka-suka tanpa ada editor."
Bersambung ke bab 28
KAMU SEDANG MEMBACA
Tebaran Mozaik
General FictionSuka duka para gadis (mahasiswa maupun yang sudah bekerja) di tempat yang sama, sebuah tempat kos. Tempat bak kawah candradimuka, arena penggemblengan diri, karena dari kawah itulah akan muncul perempuan-perempuan dengan kemandirian dan kepribadi...