Bab 19
Bab XIX Tebaran Mosaik oleh Kinanthi
"Sungguhkah? Kapan? Oke. Kujemput. Di mana? Bandara Soeta atau Halim?" suara Merry terdengar sangat gembira, membuat suaminya yang tengah sarapan pun bertanya keheranan.
"Ada apa, Ma?"ia menoleh sesaat ke arah isterinya yang pagi itu terlihat riang.
"Teman-teman kos akan datang,Pa. Mereka ingin berlibur di sini. Sudah dapat izin untuk cuti."
Saat itu pun tibalah. Merry menuju Bandara Soeta untuk menjemput teman-temannya. Ada Syka, aku si Dyllia yang sering dipanggil Lala, dan Vina teman sekamar Merry.
"Hmm...makmur juga hidupmu, padahal baru dua tahun menikah dan setahun di Jakarta,"bisik Syka seolah agar tidak terdengar suaminya.
"Suamiku duda, sebaya ayahku, dan sudah memiliki satu anak pula,"jawabnya sambil memeluk kami satu per satu.
"Suamimu duren sawit nih,"lanjut Vina menggodanya.
"Tentulah. Mana mau aku kalau nggak sawit meskipun duren,"lanjut Merry balas menggoda. Namun ucapan tersebut buru-buru diralatnya,
"Sesungguhnya bukan karena itu. Kami bertemu di suatu tempat dan tiba-tiba saja perbincangan terasa nyambung. Seakan chemistry pun spontan menyelubungi kami. Rasa kangen jika tak bertemu pun menggelitik. Ibarat rindu mendengarkan materi kuliah dari para dosen kesayangan....
"Memang duren sih di fotonya,"lanjut Vina.
"Apa sih duren? Duda keren?"tanyaku pura-pura tidak tahu.
"Betul,"jawab Vina, "Sawit pula. Sarang Duwit,"godanya lagi. Merry hanya tertawa kemudian melanjutkan,
"Tapi Kamu belum tentu mau, kan? Sejak sebelum bertemu, dikenalkan, maupun kenalan dengan seseorang, Vina sudah membatasi pilihan. Harus jejaka, harus selisih lima tahun, harus pegawai BUMN, harus tinggi, harus kumisan, harus seiman. Duh...pembatasan-pembatasan yang membuat sempit jalan pertemuan dengan jodoh."
"Seharusnya bagaimana?"tanyaku.
"Ini pula. Kamu sebetulnya juga setali tiga uang dengan Vina. Janganlah yang gak seiman, juga ukan suami orang, dan sebagai anak sulung maunya pun lebih tua. Tapi... Kamu malah diuji habis-habisan sama Tuhan. Panah asmara mereka yang paling bikin Kamu kelabakan justru dari mereka bertiga. Kisah asmaramu jika boleh diumbar, sampai Kamu dilangkahi adik-adikmu, berkisar dan berputar-putar antara lelaki-lelaki milik orang, lelaki-lelaki tidak seiman, dan lelaki-lelaki lebih muda, bukan? Kaum yang justru mati-matian Kauhindari sebelumnya, tapi Kamu tak berdaya dan akhirnya pilihan pun jatuh kepada yang lebih muda. Karena lebih aman dan lebih memungkinkan,"kilah Merry. Aku pun tertawa saja tidak menjawab. Sementara itu, Vina masih penasaran menunggu komentar Merry selanjutnya.
"Apakah keinginanku termasuk pembatasan pertemuan dengan jodoh? Betulkah?"
"Tentu saja. Toh tidak ada dasar hukum yang melarang atau mengharuskan Kamu memilih pria yang tinggi, yang kerja di BUMN, yang harus selisih lima tahun. Itu kan pendapatmu...
"Bukan. Itu kan harapan umum sekitar."
"Padahal belum tentu Kautemukan chemistry kalaupun bertemu sesuai keinginan. Kalau akhirnya terjadi pernikahan, hanya pujian dari sekitar yang Kaudapatkan, sedangkan hatimu belum tentu merasa nyaman jika tanpa adanya kecocokan. Sesungguhnya komunikasi meskipun bukan hal sulit, tapi bukan juga dapat dianggap mudah. Padahal tanpa jalinan komunikasi yang aman, untuk apa kebersamaan? Bukankah kalau sekadar uang, kita bisa mencari?"kilah Merry mempertahankan argumentasinya.
Vina terdiam mencoba mencerna kritikan Merry. Selama ini begitulah yang dilakukan. Parasnya yang cantik serta postur tubuhnya yang seideal peragawati memang membuatnya merasa tidak kesulitan mendapatkan sosok impiannyaa. Akan tetapi, kriteria yang telah diucapkan entah semata gurauan maupun sungguhan, memang sanggup membuat orang-orang iseng mencoba menggodanya.
Suatu ketika menjelang wisuda, seorang lelaki datang menemuinya mengajak berkenalan. Sosoknya tampan dengan tinggi tubuh sesuai impian Vina, ditambah pengakuan usianya lebih tua lima tahun, dan bekerja di sebuah bank pula, Vina yang dasarnya pendiam tidak lagi melakukan wawancara selain hanya percaya dan percaya saja.
Tibalah saat wisuda. Si lelaki tampan pun menemaninya. Teman-temannya pun memujinya. Ada yang ingin bernasib sama, tak jarang pula yang iri tanpa sebab yang pasti, hanya kipasan bara si iblis yang terlalu sakti.
Maka, ketika suatu sore teman-temannya melihat si lelaki berjalan berdua dengan wanita lain, yang mereka rasakan pun tetap sama. Ada yang setulusnya merasa iba kepada Vina. Adapula yang diam-diam merasa riang bersorak sorai merasakan kepedihan yang bakal menimpanya.
"Vin, pacarmu yang menemanimu wisuda, jalan sama cewek lain lho,"ujar Marita tanpa perasaan, seolah ingin segera melihat wajah Vina menjadi merah padam.
Vina yang merasakan perhatian pacarnya mulai berkurang bahkan tidak segera membalas komunikasinya baik melalui media sosial maupun jalur pribadi, memang telah mendapatkan firasat yang tidak nyaman. Peristiwa itu membuatnya terpukul dan mencoba mengevaluasi diri. Ucapan Merry membuatnya teringat peristiwa itu setahun yang lalu.
"Kamu kenal suamimu di mana sih? Bukankah semasa kuliah? Bahkan semester tujuh Kamu diam-diam menikah,"sahutku melihat ke arah Merry yang tengah membuka e-banking.
"Suamiku menambahi uang di rekening nih,"katanya sambil menirukan perkataan suaminya melalui telepon yang baru saja diterima,
"Ajak teman-temanmu jalan-jalan, Ma. Sudah kukirim uang di rekeningmu. Nanti sore jika tidak macet dan bisa pulang cepat, kita ajak mereka makan malam. Mereka kan tamu kita."
"Duh...benar-benar happy nih,"seru Vina mencubit pipi Merry.
"Tapi Vin, Kamu belum tentu mau lho, berjodoh dengan orang bernasib seperti suamiku. Duda berusia hampir sama dengan ayahku, punya anak satu pula. Bukankah kamu maunya yang lajang, bekerja di BUMN, selisih usia harus lima tahun, tinggi dan tampan?" kata Merry mengedipkan mata ke arah Syka. Syka pun tersenyum menunggu jawaban Vina.
"Salahkah?"tanya Vina mengambang. Karena ia menyadari ada yang salah dalam kriteria pencariannya tapi ia tidak segera menyadari seberapa besar salahnya.
"Aku tidak menentukan kriteria apa pun. Bagiku ketampanan tidak selalu harus berpatokan setampan aktor Korea. Pekerjaan pun kuhayati dari kegigihannya dalam berupaya. Usia tidak kubatasi jumlah karena kedewasaan sama sekali tidak dapat diukur dari jumlah umur. Status hanyalah kesalahan melangkah dalam memilih nasib yang harus dimaknai sebagai takdirnya dan masa lalunya. Bagiku yang paling penting adalah merasa nyaman saat memandangnya dan saat berbincang dengannya. Kenyamanan tersebut tidak mudah. Tidak selalu keindahan bak iklan sanggup membuat batinku merasa nyaman. Demikian pula bergengsinya pekerjaan. Hal itu pun belum tentu sanggup membuatku merasa tenang. Hanya ketika aku merasa dihargai dan dilindungilah, rasa nyaman itu muncul. Aku mencoba jujur dengan hati nuraniku, bahwa cinta bagiku adalah ketika aku merasa dicintai dan mencintai."
"Tapi, aku nggak yakin Kamu mau jika ia tidak sawit. Bukankah usianya tua?"sahut Vina spontan. Ia menyesal telah menyampaikan ungkapan tersebut, tapi sudah telanjur. Sebagai permintaan maaf, ia hanya memeluk bahu Merry tanpa berkata-kata.
"Hal itu juga apresiasi untuknya. Andaikan ia tidak mapan padahal tua, tak akan ia berani mendekatiku. Hal itu pun merupakan etika bagiku, bahwa ia menghargaiku, bukan?"
"Dan Kamu pun merasa wajar?"
"Tentulah. Sejujurnya aku pun nggak mau kalau ia tidak mapan karena ia tua. Meskipun kematian tidak melihat usia, setidaknya ia telah hidup lebih lama, kan? Itu logis. Tapi, aku pun bukan mau asal ia mapan, kan? Ia pun pengertian, nyambung dalam perbincangan apa saja, bahkan keren juga kan?"bela Merry atas pilihannya sambil mengajak kami makan siang sebelum berjalan-jalan.
Bersambung ke bab 20
KAMU SEDANG MEMBACA
Tebaran Mozaik
General FictionSuka duka para gadis (mahasiswa maupun yang sudah bekerja) di tempat yang sama, sebuah tempat kos. Tempat bak kawah candradimuka, arena penggemblengan diri, karena dari kawah itulah akan muncul perempuan-perempuan dengan kemandirian dan kepribadi...