Bersambung ke bab XIII
"Ada gurat kehilangan. Terlebih rasa malu. Sulit kuingkari, sebagai wanita yanag hidup di bumi patriarki, ditinggal kawin lebih dulu, apa pun alasannya, tetaplah aku yang terkesan ditinggalkan." Ia terdiam sesaat. Jemarinya menggulung rambutnya seperti sanggul, kemudian diikat.
"Itu karena Kamu mengekspose kebersamaan,"jawabku bernada protes.
"Bukan aku, tapi dia. Ia pamer kebersamaan di media sosialnya. IG, X, FB, Tiktok, semata memamerkan bahwa dengan gajinya yang besar, ia bisa mendapatkan perempuan yang ciri fisiknya bak model. Risih nggak sih?" jawabnya dengan ekspresi kesal,
"Ulah tersebut yang membuatku menjadi ilfeel, seolah aku komoditas yang bisa dibeli, semata mendongkrak rasa tidak percaya dirinya, seolah kebanggaannya hanya uangnya."
"Wajar itu, bukankah demi beroleh uang sebanyak itu, ia terbukti berprestasi?" wajahnya masih tampak manyun.
"Bagaimana kalau pengaruh privilege?"kilahnya.
"Ribet amat sih. Suka uang atau prestasi atau ciri fisik atau karakter sih? Harus ada persentase yang jelas, sehingga ada yang bisa dihapus manakala tidak menemukan semuanya."
"Karakter temperamental. Itu minusnya. Kalau marah nggak mikir penyulutnya, jangan-jangan penyebab masalah terbanyak itu tuh, dirinya sendiri. Jika diingatkan, seolah tantrum," jawabnya sambil melepaskan ikatan rambutnya kembali. Ia terlihat benar-benar gelisah.
"Tapi kan banyak uangnya?"godaku tak tega melihat ke arahnya, karena aku pun tak sanggup menghadapi orang seperti itu.
"Suka pamer kebersamaan di media sosial. Itu aku juga nggak suka, apalagi kami masih pacaran. Aku jadi merasa dibayar untuk dipamerkan."
"Kok bisa?" aku keheranan.
"Tentu saja, karena yang mengekspose kebersamaan hanya dirinya dan aku tak kuasa melarang. Sedih nggak sih? Aku jadi seolah kerbau dicocok hidung. Demikian pula saat ia seolah memberondongku dengan ajakan menikah. Seolah aku merasa diungkit-ungkit diingatkan setiap sen, setiap sendok nasi, setiap tetes BBM yang telah dikeluarkannya untukku. Caranya mengungkapkan kalimat seolah ia telah menguasai diriku dengan traktirannya."
"Jangan mengecilkan arti uangnyalah. Ia nggak sekadar nraktir kan? Ia juga memberimu uang belanja, membayar tempat kosmu,"sanggahku menahan tawa melihat ekspresinya yang tetap manyun.
"Terkesan nggak sopan. Terkesan mengungkit hal jual beli saat memberondongku dengan protesnya akibat aku mengelak diajak menikah. Aku dibuat malu, dipermalukan karena jelas terbaca ia telah keluar uang untuk aku. Tukang suap deh."
"Karena Kamu sudah dibayar? Hehehe."Tapi desakan untuk berpisah tetap ada menyikapi karakternya itu? Meskipun sedih juga ketika menyadari aku bakal kehilangan pohon uang?"
"Yang Kaulakukan kemudian bagaimana?"lanjutku.
"Mencoba mengerti barangkali ia menemukan yang lebih cocok dariku, karena aku tetap saja sulit untuk tidak boros urusan penampilan...
"Lalu Kamu melepaskan? Selagi belum ketemu pohon uang baru, Kamu belajar sederhana?"
"Begitulah...
"Kamu tidak mau berkompromi atau sudah keduluan wanita lain sih?"
"Dua-duanya mungkin. Aku tengah mencoba berkompromi tapi ia sudah didekati wanita lain...
"Mengapa Kamu tidak mempertahankan?"
"Aku pun mengalami konflik batin ketika ia menawari pernikahan. Aku belum yakin seratus persen tentang isi hatiku."
"Apa yang Kauragukan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Tebaran Mozaik
General FictionSuka duka para gadis (mahasiswa maupun yang sudah bekerja) di tempat yang sama, sebuah tempat kos. Tempat bak kawah candradimuka, arena penggemblengan diri, karena dari kawah itulah akan muncul perempuan-perempuan dengan kemandirian dan kepribadi...