Bab 28 Tebaran Mosaik oleh Nanik W. (Kinanthi)

8 1 0
                                    

bab 28

Saat itu kami di pasar Tanah Abang. Vina dan Syka berjalan-jalan sedangkan aku dan Merry duduk di kafe.

"Ada penginapan dengan harga terjangkau kelas menengah ke bawah pula di sekitar sini, Merr,"kataku membuka percakapan sambil melihat lalu lalang kendaraan yang seakan tiada hentinya di depan kami.

"Tentu saja. Banyak orang berbelanja ke sini, bahkan dijual lagi. Kalau di Surabaya sama dengan Pasar Turi kali ya?"

"Aku dulu semasa awal kuliah, dari tabungan gajiku, aku pernah iseng beli barang ke Pasar Turi lho. Baju, sepatu, tas. Kalau dijual lagi dapat harga miring asalkan membelinya sekitar tiga bijilah. Kukreditkan ke tetangga sekitar rumah orangtuaku. Laris manis juga sih. Cicilan 10 bulan, kujual dengan keuntungan 50%. Misalnya harga beli Rp100.000 kukreditkan dicicil selama 10 bulan harganya menjadi Rp150.000."

"Per bulan nyicilnya berapa? Rp15.000? Wah, anak sekolah juga bisa beli tuh."

"Memang sasaran ke mereka agar rajin menabung. Lumayan lho hasilnya. Apalagi saat sekamar dengan Puspa. Si anak tunggal tapi rajin dan pandai mengelola uang. Mana pernah ia bermalasan memasak? Ia selalu memasak sendiri, sesekali menjahit baju sendiri. Nggak heran ia berani hanya berperan sebagai ibu rumah tangga saja, karena sudah piawai mengelola uang saku. Aku pun dapat uang muka untuk nyicil KPR patungan dengan ortuku, juga dari hasil mengkreditkan barang itu lho."

"Bagaimana kini? Masih berlanjut?"

"Aku sudah tinggal di KPR. Nggak banyak kenal dengan warga sekitar. Semuanya pendatang. Aku masih ragu. Lain dengan karakter tetangga sekitar ortuku dulu kan?"

"Mengapa nggak Kaulanjutkan saja usahamu itu di kampung ortumu?"

"Aku kan lagi seolah-olah menghilang dari kampungku begitu kedua adikku menikah. Jadi usahaku kini terhenti sementara. Entah untuk ke depan."

"Untuk ke depan, kudoakan segera menikah. Kemudian cari tempat tinggal di sini bersama suami Kamu kelak."

"Jangan berprasangka aku ngajak Kamu pindah, lalu pindah semuanya termasuk keyakinan lho ya,"ujarnya sambil mengaduk es jus apokat di depannya.

Panas kian terasakan siang itu di sela semilir angin pukul 10.30.

"Aku tahu Kamu nggak sejauh itu. Kita kan sudah berteman sejak kuliah, sekitar empat tahun,"jawabku sambil mencicipi ketoprak Jakarta yang ternyata tidak jauh berbeda dengan tahu thek di Surabaya dan sekitarnya.

Isinya irisan mentimun, taoge, tahu, telur rebus, bihun, dituangi saus kacang lalu ditaburi bawang merah goreng, dihidangkan bersama kerupuk dan melinjo goreng. Tahu thek hampir sama hanya ditambahi irisan lontong dari beras rebus dibungkus daun, tanpa bihun, kuah kacang dicampur petis dan ulegan bawang putih ditambah cabe tentu, serta telur tidak direbus melainkan didadar. Sedangkan taburan pun sama yaitu irian bawang merah goreng dan kerupuk serta emping melinjo goreng.

"Lidahmu masih cinta petis ya. Padahal nggak lahir di Sidoarjo,"godanya.

"Iya sih, tapi aku sudah tinggal di wilayah Sidoarjo sejak bayi, sejak umur 3 tahunan."

"Memang kenapa? Susah pindah tempat ya? Sudah sangat kerasan?"

"Sebetulnya di manapun aku kerasan. Di sini juga kerasan."

"Kita bisa cocok berteman meskipun berbeda. Itu aku suka."

"Mengapa harus dipermasalahkan sih? Jika mau, apa sulitnya bagi Tuhan untuk membuat kita seisi bumi menjadi seragam? Tapi Tuhan memang maha Kreatif. Lihat saja. Tumbuhan bernama sama pun jenisnya berbeda-beda. Ada rambutan aceh, rambutan binjai. Pisang pun beraneka. Ada pisang susu, pisang raja, pisang ambon. Duh, nggak lucu jika kita menuntut kesamaan."

Tebaran MozaikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang