Bab 25, Tebaran Mosaik oleh Nanik W. (Kinanthi)

4 2 0
                                    

Bab 25

"Justru yang lebih mencemaskan tuh, kondisi psikologis Kamu, Del,"ujar Merry ketika mengantar kami pulang menuju bandara.

"Siapa yang menjamin orang tidak jahil atas kesendirianmu, seperti yang dialami Vina?" lanjutnya sambil nyetir. Jalanan padat merayap. Aku mendengarkan omongannya sambil menengok kiri kanan. Indahnya tanah airku, itu yang terlintas di hati pagi itu.

"Iya sih. Kalau Kamu cemas, sebetulnya aku lebih cemas, malah seakan paranoid deh,"sahutku.

"Orang bisa curiga mengapa Kamu suka menyendiri? Lalu bisa saja mereka taruhan untuk menaklukkan Kamu. Kamu dianggap semacam lagi nonton pertandingan bola. Siapa kira-kira pemenangnya?" sahut Vina. Entah ia dengar atau tidak percakapan kami tentang dirinya kemarin pagi. Yang pasti pagi itu ia tampak cerah juga.

"Adakalanya pun diiming-iming, si X dan si Z telah menjabat menjadi CEO lho, Presdir lho. Bagaimana reaksimu?" sahut Syka menakuti.

"Duh, bikin aku nggak begitu berani ikut reuni pula nih. Padahal kangen teman-teman. Tapi selalu muncul kecemasan, jangan-jangan respons aku disalahpahami dengan aneka prasangka kemudian mereka berulah yang membuat aku nggak bisa konsentrasi...

"Konsentrasi apa? Bikin novel. Justru bagus tuh, untuk bahan tulisan,"sanggah Syka yang membuatku terdiam. Eh, boleh juga ya celetukannya.

"Yang pasti Kamu kalau datang saat ada reuni, bisa dicurigai ingin ketemu si X yang diinfokan telah jadi CEO maupun si Z yang telah jadi Presdir. Hehee. Ribet nggak sih. Datang salah nggak datang salah."

"Ngapain,"sahut Merry,"Datang saja. Yang penting Kamu bersikap biasa saja. Lama-lama mereka kan sadar Kamu tidak seperti prasangka mereka."

"Memang menjengkelkan dan membebani pikiran. Tapi, bukankah hal itu anugerah? Bukankah janji Tuhan, tak akan memberi cobaan jika Kita nggak sanggup? Justru kamu akan dapat novel berjilid-jilid akibat paranoid tersebut,"sahut Syka.

"Kita mengapa juga harus buru-buru pulang. Kan masih cuti,"ujar Vina menggumam. Syka yang merasakan omongan tersebut ditujukan untukku segera menyikut lenganku. Aku pun tersentak dari lamunan seakan belum puas di kota Jakarta hanya dua hari, spontan menjawab,

"Maaf, Kawan. Muridku besok sudah masuk sekolah nih. Aku seharusnya tidak libur. Mereka libur dua hari, kuambil cuti...

"Mengapa nggak langsung sepekan sih?"sahut Merry membuatku gemas, mencubit pipinya,

"Aduh-aduh...Ibu Bos ini. Setelah banyak uang, lupa ya sama gurunya. Coba diingat-ingat lagi dengan sepenuh kebeningan jiwa dan hati nurani,"ujarku menghela napas panjang, sepanjang-panjangnya.

"Pernahkah ketika ada guru cuti, misalnya cuti melahirkan, ibadah haji, maupun cuti lainnya, kelasmu kosong?"

"Tentu tidak. Selalu ada guru pengganti. Biasanya sesama bidang studi...

"Nah, begitulah. Karena itu aku ambil cuti dua hari ini saja bersamaan dengan muridku yang juga libur dua hari."

"Kapan ambil cuti lagi?"

"Tentu nanti, ketika muridku libur lagi, aku bisa ambil cuti lagi sampai batas maksimal pemberian izin cuti per tahun. Mana bisa aku cuti seenaknya kalau bukan saat muridku libur?"

"Duh nggak asyik ya, cuti kok nggak bebas pilih waktu. . Semoga pahala berlimpah tercurah untuk Kalian, wahai pahlawan tanpa tanda jasa,"goda Vina,

"Cuti pun diambil ketika muridnya libur agar kelasnya tidak kosong. Berangkat kerja pun pagi-pagi pukul enam sudah berlari cemas terlambat, karena berdampak terhadap sikap murid...

"Betul tuh. Karyawan lain masuk pukul 08.00. Para emak-emak tersebut masih sempat menyiapkan sarapan meskipun bangun pukul 05.00. sarapan siap, rumah sudah disapu dan dipel, tanaman sudah disirami beserta mobil pun sekalian disemprot kinclong. Baru jam 7.00 berdandan cantik membawa bekal makan siang, kemudian meluncur menuju kantor. Emak-emak yang menjadi guru, bisa sih begitu asalkan bangun pukul 03.00...

"Ribet juga. Bagaimana andaikan mengantuk di kelas? Anak-anak ada saja yang usil lho. Melihat gurunya ngantuk, ada juga yang memotret kemudian diunggah ke status."

"Duh, ribet menjadi guru. Masuk harus pagi-pagi, susah cuti pula, kalau murid nggak libur nggak bisa cuti agar nggak bikin repot diri sendiri dan teman sejawat...

"Tapi pulang kan lebih cepat. Karyawan lain pulang pukul 18.00, guru pulang dua jam sebelumnya...

"Tapi, sama lelahnya juga kan? Setiba di rumah ingin segera istirahat dengan perasaan bersalah kepada tanaman hias, ikan di kolam, motor yang belepotan."

"Solusinya memang harus bersibuk sejak pukul 03.00 dengan syarat tidak mengantuk seharian. Harus kuat terjaga sampai pukul 16.00 begitu tiba di rumah bisa segera istirahat."

"Memang robot? "sela Vina,"Nggak bisa begitu seterusnya. Remuk tuh."

"Solusinya memang harus berbagi rezeki. Untuk bersih-bersih rumah, pakaian, mobil, siram-siram dan merawat piaraan, memang harus dikerjakan orang lain. Hitung-hitung berbagi rezeki."

"Harus ada penghasilan ganda atau pasangan hidupnya juga sesama pekerja."

"JIka tidak?"

"Entahlah. Kan nggak semudah itu mengaktifkan pikiran bawah sadar agar segala keinginan bisa terselesaikan mengikuti irama batin kita. Kita kan bukan kaum wali maupun peri. Kita harus memberdayakan akal nih, bagaimana caranya? Ayo siapa yang bisa menjawab, boleh pulang cepaat, Anak-anak,"gurauku menoleh ke arah Vina.

bersambung ke bab 26

Tebaran MozaikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang