Bab 15 Tebaran Mosaik oleh Kinanthi
"Gotong Mayit,"sahut Puspa menoleh ke arahku.
"Ih, ngeri,"ujarku meskipun pernah mendengar istilah tersebut.
"Kalau anak tunggal seperti Kamu, Pus?"
"Ontang-anting atau unting-unting ya? Aku lupa."
"Unting-unting,"sahut Melia sambil melihat gawainya.
"Ada beberapa urutan anak yang harus diruwat dalam tradisi Jawa,"lanjutnya masih membaca gawainya.
"Tradisi ruwatan memang masih hidup di dalam masyarakat Jawa berasal dari mitologi Hindu. Ritual ini bermakna pembebasan sekaligus penyucian manusia sukerto dari "dosa bawaan". Ruwatan dilakukan kepada para sukerto, anak-anak yang berdosa karena takdir, akan menjadi santapan Batara Kala. Namun, Batara Guru mengatakan ritual ruwatan akan menyelamatkan anak-anak sukerto dari santapan Batara Kala,"ia berhenti sejenak, kemudian melanjutkan bacaannya,
"Baca terus, Mel. Siapa saja yang termasuk anak-anak sukerto,"pintaku.
"Ah males. Baca sendiri di intenet kan banyak info tersebut,"sahutnya menutup gawainya,
"Aku tidak termasuk anak Sukerto. Kalian berdua harus ruwatan," ia menunjukku,"Kalian tiga bersaudara semua perempuan, gotong mayit,"lalu menoleh ke arah Puspa,"Kamu juga anak unting-unting. Kalau aku kan dua lelaki satu perempuan tapi aku bungsu. Jadi bukan termasuk dalam kelompok sendang kapit pancuran."
"Tapi orangtuaku dulu sudah melakukan akikah untukku,"kilah Puspa.
"Wajib nggak sih, akikah?"tanya Melia mencoba mengingat pelajaran agama yang pernah didengarnya.
"Sunah tapi sunah muakad, Neng. Jadi, kalau ada uang, lakukanlah. Itu lebih baik,"jawab Puspa yang mendalami agamanya sejak KTP-nya diberi label Islam.
Gaya pendalaman agama yang bagiku kaku karena ia memaknai semua kata secara leksikal tanpa mengaitkan dengan konteks. Sementara itu, aku sebagai orang jurusan bahasa, memaknai kata sesuai konteks meliputi waktu, tempat, situasi, juga konotatif, simbolis, kiasan. Kami sering berdebat tentang opini tersebut, tapi begitulah kami, setelah berdebat dengan opini masing-masing, akhirnya rukun lagi, bergurau lagi, membuat kami semakin bangga dan cintai bangsa kami, Indonesia, yang rukun dalam perbedaan.
"Nah, apa kataku,"sergah Puspa,"Kamu memang harus mencari suami kaya demi bisa melestarikan budaya. Bagaimana dengan saudara mbak Sasa? Perlu dikenalkan nih? Pilih adiknya atau kakaknya?"tiba-tiba Puspa menoleh ke arah Melia yang tengah tersenyum-senyum.
"Mengapa senyum-senyum, Mel?"
"Kalau perempuan di tengah, disebut sendang kapit pancuran ya. Kalau lelaki yang ditengah?"
"Tinggal dibalik saja. Pancuran Kapit Sendang,"sahut Puspa tertawa.
"Kenapa tertawa sih?"kilahku kesal karena istilah untukku yang tiga perempuan bersaudara adalah gotong mayit. Nggak lucu sama sekali."
"Lucu saja. Kalau perempuan disebut sendang, kalau lelaki disebut pancuran."
"Ngeres ini, senyum-senyum begitu dengar kata pancuran,"Puspa tertawa mencubit lengan Melia.
"Eh, adiknya mbak Sasa pernah ngajak cewek ke tempat kos. Tapi kakaknya selalu sendirian lho kalau nyamperin mbak Sasa,"lanjut Puspa memandang ke arah Melia setelah tawanya reda.
"Mengapa segitunya menatapku sih?"tanya Melia salah tingkah.
"Melestarikan budaya itu perlu biaya besar. Makanya ada yang ekstreem melarang agar tidak bikin melarat terlebih jika tidak banyak manfaat. Tapi Kamu kalau menikah dengan orang kaya kan bisa melestarikan budaya dan nggak dicemaskan bakal melarat, apalagi jika menikahi saudara lelaki mbak Sasa yang anak konglomerat."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tebaran Mozaik
General FictionSuka duka para gadis (mahasiswa maupun yang sudah bekerja) di tempat yang sama, sebuah tempat kos. Tempat bak kawah candradimuka, arena penggemblengan diri, karena dari kawah itulah akan muncul perempuan-perempuan dengan kemandirian dan kepribadi...