"Iya nih. Naluri lelaki ingin melindungi, sedangkan naluri perempuan ingin memiliki anak."
"Karena berkaitan dengan adanya rahim ya?"sahut Terry.
"Bisakah dimaknai yang ingin memiliki anak itu sesungguhnya kaum perempuan, demi memenuhi naluri keibuannya, akibat memiliki rahim? Oleh karena sesungguhnya lelaki tidak memiliki naluri keibuan, hanya naluri melindungi yang di dalamnya termuat hasrat untuk dinomorsatukan karena peran tersebut, maka lelaki dibuat ingat dengan tanggung jawabnya? Dengan cara anak-anak menyandang nama bapaknya?"
"Ada kemungkinan demikian atau patriarkis? Toh logika lelaki lebih cepat bisa merasakan, bahwa anak-anak sesungguhnya adalah titipan yang kelak akan meninggalkan kita demi masa depan, bahkan Kahlil Gibran sang penyair pun telah pula menulis puisi tentang anak, bukan?"
"Karena itukah, pada umumnya mereka memilih isteri yang bisa diajak menua bersama? Meskipun ada pengecualian sih. Ada pula yang tidak peduli, yang penting bisa memuaskan hasrat kegilaan kepada wanita, seolah sekadar menjalani wisata kuliner. Hehehe,"sahutku. Perbincangan pun semakin seru karena kami tidak kunjung beranjak menuju kamar masing-masing.
"Nggak usah mikir pengecualian dululah. Yang kita bahas sekarang adalah perbedaan naluri lelaki dan perempuan."
"Dampaknya besarkah?"
"Tentu,"sahut mbak Sasa.
"Akibat menuruti naluri, begitu memiliki anak, emak-emak biasanya sudah tak peduli pada siapapun dan apapun. Semua hanya anak dan anak saja. Ketika menyuapi si anak, ia pun menghabiskan sisa makanan itu jika tak habis. Ketika sudah sibuk ngeloni si anak, suaminya pun diabaikan. Suaminya dibiarkan makan tanpa ditemani, tidur tidak ditemani, bahkan lingerie seksi pun ditanggalkan, diganti daster kedodoran karena tubuh semakin melar demi menghabiskan sisa makanan si anak. Suami yang semula diposisikan sebagai sosok nomor satu pun perlahan menduduki posisi juru kunci. Semua demi pemuasan hasrat emak terhadap naluri keibuannya."
"Lalu?"tanyaku.
"Lalu, suami malas pulang. Suami yang semula ingin berjalan lurus pun tergoda angan mendapatkan wanita yang mau menomorsatukannya seperti dulu lagi. Ingin menemukan seseorang yang tetap menganggapnya pelindung, karena anak-anak di rumah menganggap emaknyalah sang pelindung, bukan lagi bapaknya. Bapaknya hanyalah seorang pembayar rekening-rekening, tukang benah-benah atap bocor, ban bocor. Tak ada lagi wibawa sebagai raja. Tak ada lagi tempat mencurahkan sifat kekanakan yang abadi dalam diri lelaki, karena lelaki sesungguhnya adalah bayi gede. Isterinya seolah tidak peduli lagi. Bahan obrolan hanyalah seputar biaya hidup yang makin mahal, kebutuhan dan keinginan anak-anak bahkan keinginan dirinya sendiri...
"Hehehe...emak-emak bajunya tiga lemari sedangkan baju bapak cukup diletakkan di sela-sela baju emak-emak. Itu pun jika isteri lupa membelikan baju, ia pun tak ada keinginan membeli baju karena uangnya sudah diberikan semua kepada isteri."
"Lelaki sesungguhnya baik. Kalau ada yang jahat, justru malah mengherankan ya?"kata Terry termenung sambil bertopang dagu. Ia menatap foto pacarnya di galeri gawainya.
"Mungkin pernah terluka,lalu kehilangan rasa percaya terhadap perempuan? Seperti dalam Kisah Seribu Satu Malam?"
"Konon,"lanjut Merry,"Seorang raja dari Timur Tengah bernama Syahriar, dendam kepada kaum perempuan setelah isteri pertamanya tidak setia. Selanjutnya, ia pun menugasi sang patih mencari perempuan untuk dinikahi tapi hanya semalam karena keesokan paginya si perempuan pasti meninggal dengan kepala terpenggal. Begitu selalu sampai anak gadis sang patih kasihan kepada bapaknya yang merasa berdosa. Ia pun menawarkan diri untuk dinikahi sang raja karena merasa telah memiliki strategi untuk menghadapinya. Syahrazad, nama gadis tersebut, setiap malam mendongeng kisah- kisah bersambung sehingga raja tidak jadi memenggal kepalanya karena penasaran pada kisah lanjutannya. Demikian seterusnya sampai berangsung 1001 malam lamanya. Akhirnya, bukan hanya raja tidak tega memenggal kepalanya, melainkan malah menobatkannya sebagai permaisuri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tebaran Mozaik
Ficción GeneralSuka duka para gadis (mahasiswa maupun yang sudah bekerja) di tempat yang sama, sebuah tempat kos. Tempat bak kawah candradimuka, arena penggemblengan diri, karena dari kawah itulah akan muncul perempuan-perempuan dengan kemandirian dan kepribadi...