Bab 7 Tebaran Mosaik oleh Kinanthi

8 2 0
                                    

Pukul 21.00 jalanan di depan tempat kos mulai sepi. Setelah tadi siang diguyur hujan, malam ini cuaca cerah. Langit jernih. Bintang-bintang tampak bertaburan berkerlip-kerlip seperti gaun yang berhiaskan payet-payet keemasan. Tiba-tiba terdengar pintu pagar dibuka, disusul kemudian suara mobil memasuki carport. Kami berlima masih berada si ruang tamu belum mengantuk meskipun besok harus masuk kuliah, setelah sekian lama terhalang amuk covid-19. Virus yang sedemikian cepat menyebar menghebohkan bumi.

Mbak Sasa masuk diiringi senyumnya yang khas. Ia mengenakan celana panjang semi cutbray, blus lengan panjang berbentuk terompet, dilapisi blazer sepinggul. Perpaduan warna merah gelap dan navy blue tampak serasi menemani rambut keriting gantungnya yang terurai. Di tangannya terlihat ada bungkusan yang segera diletakkan di meja.

"Ayo Adik-adik, ini makanan dimakan bareng,"ujarnya sambil mengeluarkan sekotak martabak manis dan sekotak lagi harus dimakan dengan cabai. Keduanya masih panas menggunggah selera.

"Hm...sudah jam 21.00 tapi mengapa harus menolak rezeki, Kawan? Ayo kita serbu "ujar Metta sambil membuka bungkusan dan melihat isinya.

"Hm...masih panas nih, ada cabainya lho,"Metta melirik ke arahku yang nyengir tapi mendekat juga.

"Sekarang makan, besok diet. Tulisan harus ditempel di ruang makan sebagai slogan tanpa perubahan. Jadi, dietnya selalu besok dan besok terus,"goda Terry sambil mencomot seiris, kemudian menunjukkan ekspresi kepanasan. Namun, ekspresinya tersebut membuat teman-temannya mendekat dan mencicipi kedua jenis martabak tersebut satu per satu.

Mbak Sasa setelah masuk kamar beberapa saat, sudah keluar kamar mengenakan daster. Make up sudah menghilang digantikan krim malam.

"Kami kemarin bergibah nih, Mbak. Tentang Mbak Sasa. Awet banget sih pacarannya, sampai 10 tahun,"Syka membuka percakapan.

Mbak Sasa tidak segera menjawab. Sambil tersenyum disanggulnya rambut yang sudah sebahu dan tampak lebat membingkai wajahnya.

"Belum sampai 10 tahun,"jawabnya,"Kurang dikitlah. Tapi kalau awet, memang jodoh mungkin. Doakan ya,"

"Tentulah. Kami tentu mendoakan yang terbaik untuk Mbak Sasa,"sahutku.

"Karena itu, habiskan martabaknya. Masa hanya sebungkus tidak habis untuk kita bertujuh?" jawabnya mengambil yang masih tersisa.

"Karena malam Mbak. Andaikan siang tentu sudah habis ini sejak tadi,"kata Metty menuju wastafel, berkumur dan mencuci tangan.

"Mbak Sasa tipe setia deh. Saluut,"teriaknya dari wastafel.

"Sebelumnya pernah pacarankah?"

"Pernah dong, tapi nggak pernah awet."

"Selalu kabur duluan?" desakku sambil mengikuti langkah Metty menuju wastafel.

"Iya sih,"jawabnya di luar dugaanku meskipun andaikan ia menjawab bisa setia sejak awal pacaran aku pun tak yakin. Yang pasti, dengan pacar saat ini bukan cinta pertama.

"Bagaimana dengan kesan cinta pertama, Mbak?"

"Biasa saja. Sudah lupa,"sahutnya santai sambil menyanggul kembali ikatan rambutnya yang hanya digulung tanpa diberi penjepit.

"Sebelumnya kalau pacaran juga bisa awet dan tahan lama seperti manisan kedondong yang dimasukkan ke dalam stoples?"godaku lagi. Ia terbahak.

"Enggak,"jawabnya setelah tawanya reda,

Tebaran MozaikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang