Bab 26, Tebaran Mosaik oleh Nanik W.(Kinanthi)

6 3 0
                                    

Bab 26

"Kamu ingin jawaban bergurau atau tidak?"mendadak Vina memberikan jawaban juga, setelah beberapa saat terdiam sambil memperhatikan panorama sekitar, seolah sambil memikirkan sesuatu.

"Jawaban berguraumu apa coba?"tantangku sambil menoleh ke arah tempat duduknya.

"Seingatku guru zaman kakekku dulu berangkat kerja sesuai jam mengajar. Misalnya jam mengajar terjadwal jam kelima, kakek berangkat jam keempat. Selain bisa sarapan tidak kepagian, bisa membantu nenek menjemur cucian, juga nggak bikin macet jalanan," ujar Vina riang seolah masa kecilnya kembali membayang.

"Iya sih. Nggak apa-apa nggak dapat uang makan minum sebagai ASN maupun tunjangan kinerja. Toh guru terbiasa berhemat asal ada waktu untuk memasak, mencuci, merawat tanaman dan hewan piaraan, bersih-bersih kendaraan...

"Asalkan bisa cuti bareng murid libur dan bisa berangkat dan pulang kerja sesuai jam mengajar ya. Kan hebat tuh, nggak bikin macet jalanan. Begitu? Bener nih, mau tidak mendapat uang makan minum?" kilah Vina tidak percaya.

"Itu jawaban bergurau, kan? Bagaimana jawaban serius?"tanya Merry.

"Kalau ingin jawaban serius ya, mulailah mengubah mindset. Sadari bahwa bekerja adalah mencari nafkah. Untuk urusan mencari nafkah biasanya nggak jauh-jauh dari hobi. Pilih hobimu yang paling mudah mengais rezeki...

"Nah, itu yang sulit. Hobiku menulis. Padahal membaca belum membudaya, di sini...

"Jangan menyalahkan lingkungan. Kalau menulis menggunakan bahasa Inggris belum tentu nggak laku, kan? Ingat nggak J.K. Rowling penulis Harry Potters? Menulis cerita anak-anak yang penuh petualangan di alam khayal, novelnya laku keras, kan? Selain difilmkan juga diterjemahkan ke berbagai bahasa. Bayangkan. Tiap membuka rekening tentu bertambah tuh uangnya. Rekeningnya seolah mesin pencari uang bahkan ketika pemiliknya sedang tidur, rekeningnya tidak tidur. Nggak mengherankan jika pernah dinobatkan sebagai orang kaya di Inggris,"sahut Merry.

"Kata Einstein, hanya jika kita mengajari burung berenang, tentulah akan ada istilah "orang bodoh". Selebihnya, tidak ada orang bodoh. Bayi lahir sudah dilengkapi dengan sembilan kecerdasan, menurut Howard Gardner. Psikolog tersebut meneliti kecerdasan manusia, setelah sekitar seratus tahun kita terpaku kepada kemampuan IQ, yang terbukti tidak sepenuhnya dapat menjamin kesuksesan masa depan,"lanjutnya.

"Dengan adanya temuan tentang kecerdasan majemuk, kita tidak lagi hanya terpaku pada tes IQ yang hanya mengandalkan kecerdasan bahasa dan matematika kan? Padahal banyak kecerdasan lain semisal kecerdasan musikal, spasial, kinestetik, naturalis, eksistensial, interpersonal, intrapersonal."

"Semua disebut kecerdasan oleh Howard Gardner. Hal yang semula dianggap bakat, selain bahan tes IQ yaitu matematika dan bahasa. Sebelumnya, hanya jika bisa beroleh nilai bagus untuk bahasa dan matematikalah yang dianggap cerdas, ber-IQ tinggi, meskipun IQ tinggi tidak menjamin kesuksesan tanpa ditunjang dengan EQ dan SQ yang tinggi pula kan?"

"Hal yang dulu dianggap bakat. Dengan kata lain orang yang dianggap ber-IQ tinggi alias jenius adalah orang yang memiliki nilai lebih tinggi di bidang bahasa dan matematika. Sedangkan kecerdasan lainnya dianggap bakat. Di situ mungkin titik temunya. Adakah perbedaan yang signifikan?"lanjut Vina.

"Ada kukira. Setidaknya para orangtua tidak lagi menganggap anaknya bodoh ketika tes IQ dirasa kurang sempurna, entah kurang di bidang bahasa atau kurang di bidang matematika. Karena ada kecerdasan lain yang dapat diandalkan."

"Hal yang masih menimbulkan pro kontra. Ada yang mengatakan jika kemampuan berbahasa bagus, anak-anak cepat memahami sesuatu. Demikian pula jika kemampuan matematika bagus, ia bisa cepat menghitung. Ada yang tetap mempertahankan hal ini."

Tebaran MozaikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang