Bab 24
Begitu azan Subuh terdengar dari masjid terdekat, kami terbangun lagi. Tanpa banyak kata, setelah salat Subuh, kami pun bergelung lagi di balik selimut. Bahkan permintaan kami agar Merry bergabung dengan suaminya di kamar mereka pun tidak dituruti, karena ia ingin membahas hal penting.
"Ada yang harus kita bicarakan ini, selagi masih pagi,"ujarnya sambil menghidangkan beberapa cangkir teh hangat dan kopi serta susu di meja. Kemudian, ia ikut bergabung lagi dengan kami di ranjang.
"Ka, Vina kan teman kita. Konflik batinnya sebaiknya kita uraikan. Bisakah?" bisiknya melihat Vina berselimut sambil memiringkan badannya ke tembok.
"Duh, kita ini bukan psikolog."
"Kapan-kapan kita hubungi Cindy sang psikolog dan Ardel guru agama, keduanya teman kosku,"bisiknya.
"Jadi, kita rasan-rasan nih? Bagaimana jika ia dengar?" bisikku menoleh ke arah Vina.
"Memang agar ia dengar selagi tiduran. Justru kalau bangun ia bisa menyanggah, kita kewalahan dengan sanggahannya. Ia suka menangis dan selalu merasa sebagai korban."
"Sok playing victim?"sahutku.
"Duile, sok psikolog nih bu guru,"goda Syka.
"Lho, dikit-dikit kita kan dapat ilmu itu meskipun tidak sedalam Cindy,"jawabku tertawa.
"Dikit-dikit Kamu juga dapat ilmu sastra...
"Kok serba dikit-dikit sih?"goda Syka,"Lalu apa yang banyak?"
"Pedagogi dan strateginya,"sahut Merry,"Tapi yang pasti ilmu sesuai dengan jurusannya dong. Jangan merendah mengatakan diki-dikitlah. Cemas diminta menangani kondisi psikologis Vina ya?"
"Kalau menghadapi teman sebaya sih, bukan ilmu pedagodi. Itu kan untuk murid. Untuk Vina kita menggunakan ilmu andragogi. Aku kan belum pernah mempraktikkan ilmu itu. Itu ilmunya para mentor, instruktur, widyaiswara. Aku lho, masih unyu-unyu."
"Tapi kita coba uraikan sendiri bisakah? Kalau kesulitan kita hubungi Cindy,"pinta Merry bersemangat.
"Vina memang penghuni kos kita paling baru sekaligus paling sulit ya, Del?"Syka menoleh ke arahku serta ikut memanggilku Del. Duh...memangnya merk produk tertentu?
"Panggil aku dengan merk itu terus, kali aja kelak aku dapat tawaran endorse. Hehehe."
"Duh, mata duitan,"sahut Merry sambil duduk bersila di ranjang.
"Konon yang pernah kubaca, untuk memahami karakter asli seseorang, ujilah dengan hal yang berkaitan dengan uang. So, ketika aku merasakan keluhan si Vina bersumber dari uang, aku pun selalu tegas soal keuangan. Tiap kali keluar makan, aku selalu mengaskan ulang. Ini siapa yang bayar? Aku, dia, atau patungan? Jangan sampai mengambang karena ia bisa playing victim. Ia sering menganggap dirinyalah yang terzalimi."
"Ka, bagaimana Kamu bisa menebak bahwa masalahnya berkisar dengan uang?"tanya Merry kepada Syka.
"Jangan-jangan ilmu paranormalmu yang Kaugunakan. Dikit-dikit Kamu seolah memiliki kecerdasan eksistensial sih, bisa menebak hal yang tersembunyi dan yang akan terjadi."
"Bukan,"Syka menggeleng,
"Karena ia sering mengeluh tentang ibu tirinya."
"Memang ibunya ke mana?"
"Ibunya meninggal saat ia masih SMP. Setelah ia SMA, ayahnya menikah lagi."
"Ayahnya masih sehat?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Tebaran Mozaik
General FictionSuka duka para gadis (mahasiswa maupun yang sudah bekerja) di tempat yang sama, sebuah tempat kos. Tempat bak kawah candradimuka, arena penggemblengan diri, karena dari kawah itulah akan muncul perempuan-perempuan dengan kemandirian dan kepribadi...