Bersambung ke bab i4, Tebaran Mosaik oleh Kinanthi
Dari ekspresi wajahnya, Melia terlihat mengenang seseorang. Ia pun membuka-buka gawainya kemudian membuka-buka galeri, sebelum meneruskan perkataannya,
"Buyutmu dulu bersekolah zaman Belanda? Sama cerewetnya dengan buyutku kalau urusan sekolah, belajar, membaca. Duh...cape deh. Benar-benar seolah merasa hidup zaman Belanda. Tiap hari ditanya sekarang tanggal berapa? Jika lupa tanggal, dimarahi. Tiap hari diminta membaca buku dongeng lalu menceritakan kembali isinya. Jika tidak, uang saku tak akan diberikan. Tapi aku kurang suka membaca. Aku mengalihkan perintahnya dengan cara menggambar. Untung saja tidak dimarahi lagi. Malah selalu membelikanku buku gambar dan pensil gambar untuk mewarnai."
"Nenek seolah kecewa ketika bapak memaksa kami, anak-anak perempuannya untuk menjadi guru. Mengapa harus dipaksa bercita-cita? Begitu protesnya. Diminta menjadi guru, tapi kami malah merasa dipaksa, sehingga tidak menanggapi. Akhirnya kami seolah diultimatum. Kelak kalau memilih jurusan IPA, harus bisa lulus fakultas kedokteran. Harus jadi ilmuwan."
"Hehehe,"ia tertawa,"Kalau memilih jurusan Bahasa seperti Kamu, harus menjadi penulis, gitu? Kalau memilih jurusan IPS harus menjadi pengusaha?"
Aku mengiyakan sambil ikut tertawa.
"Hehehe, padahal andaikan benar-benar ingin menjadi dokter, tentu malah pusing tentang dana karena percobaan bisnisnya gagal. Semakin lama terasakan bahwa kami tidak begitu tertarik pada ilmu-ilmu eksakta. Aku yang suka membaca optimis akan bisa menulis. Adikku yang bungsu berjanji akan menjadi pengusaha. Ia sudah menabung uang sakunya dan dari sisa uang saku yang ditabung setiap bulan itu ia bisa membeli perhiasan emas. 'untuk modal menjadi pengusaha,'guraunya."
"Adikmu yang menikah itu bagaimana?"
"Sama-sama tidak tertarik pada ilmu eksakta. Tapi ia tidak mengatakan apa-apa. Tidak seperti aku yang mulai memamerkan tulisanku berbentuk cerpen kemudian dibaca adik-adikku. Si bungsu pun sudah berlagak sebagai calon pengusaha yang kelak akan memiliki pabrik. Sedangkan si anak tengah, diam saja. Lagipula ia paling pendiam di antara kami bertiga."
"Barangkali ia ingin menjadi dokter, seperti cita-cita kalian semasa kecil?''
"Tidak juga, toh ia memilih jurusan IPS. Tapi ia terlalu pendiam untuk menyampaikan isi hatinya. Memang karakternya demikian."
"Mungkin ia menyesal memilih jurusan IPS. Toh kalian berdua pamer sebagai orang jurusan Bahasa yang kelak akan menulis, adikmu pun pamer sebagai orang jurusan IPS yang kelak ingin menjadi pengusaha dengan bukti sudah menabung berwujud emas."
"Sedangkan ia bingung kalau masuk IPA lalu gagal tes kedokteran, betapa malunya?''lanjutnya.
"Nah...itulah yang dirasakan orangtuaku. Jangan-jangan ia memendam kecemasan akibat anak pertama dan terakhir yang terlihat atraktif dan optimis dengan cita-citanya. Sedangkan ia merasa mengambang. Masuk IPA belum tentu lulus tes kedokteran, belum tentu menjadi ilmuwan. Masuk IPS pun nggak hobi menulis, nggak ingin menjadi pengusaha."
"Bapak baru menyadari doktrin tersebut mungkin kelewat keras justru ketika ia mengatakan tidak ingin kuliah, ingin kerja saja meskipun di pabrik, lalu menikah. Ternyata ia membuktikan ucapannya,"
"Akhirnya?"
"Ia sudah memilih jalannya. Mau apalagi? Asalkan ia happy. Ia senang. Kewajiban kami sebagai saudara hanya saling mencoba mengerti."

KAMU SEDANG MEMBACA
Tebaran Mozaik
Fiksi UmumSuka duka para gadis (mahasiswa maupun yang sudah bekerja) di tempat yang sama, sebuah tempat kos. Tempat bak kawah candradimuka, arena penggemblengan diri, karena dari kawah itulah akan muncul perempuan-perempuan dengan kemandirian dan kepribadi...