Bab 30 Tebaran Mosaik oleh Nanik W. (Kinanthi)

8 2 0
                                    

Bab 30

"Mbak Sasa masih kerja di perusahaan orang lain?" tanyaku lagi sambil menoleh ke arahnya. Ia mengangguk.

"Mengapa?"sahut Vina,

"Bukankah sudah saatnya mengelola perusahaan orangtua?"

"Tanpa mengelola pun, uang saku sudah di atas UMR,"sahut Syka.

Di luar dugaan, ia menjawab,

"Bukan aku tidak bersyukur ya. Tapi, aku kan ingin menemani mereka yang tidak seberuntung diriku."

"Misalnya, rela menjadi perawan tua sekaligus menguji cinta, karena menemani mereka yang menjadi perawan tua karena memang tidak laku?"goda Syka,

"Sungguh, aku nggak yakin ada perawan tua yang benar-benar tidak laku. Sama dengan orang yang benar-benar miskin. Adakah?"lanjutnya.

"Bukan semua orang rewel seperti Vina,"sahut mbak Sasa,

"Ada juga miskin karena memang dipermiskin, misalnya mengalami penipuan. Kemudian stress. Perawan tua pun ada yang memang dibikin demikian karena kena fitnah, misalnya,"sahut mbak Sasa.

"Yang pasti, aku merasa sejak kecil hidupku selalu beruntung. Nenek buyutku memiliki warung nasi, sehingga selalu makan menu resto. Beranjak menuju SD, usaha orangtuaku sudah mengalami peningkatan. Andaikan mau menikah muda tanpa harus berlatih bersusah payah pun bisa. Jika mau total melakukan perawatan, aku juga bisa lebih cantik dan seksi kan? Hehehe." Ia menghela napas sebelum meneruskan omongannya atau tepatnya keluhannya.

"Kalaupun ingin memiliki rumah seharga satu miliar dan mobil pajero, aku juga bisa kan? Tapi, aku memang tidak ingin."

"Mengapa?"sahut Vina dengan polosnya.

"Padahal banyak orang mengingini keberuntungan seperti Dirimu, Mbak."

"Karena itulah. Aku ingin menemani. Kukatakan pada Tuhan,"Terima kasih ya Allah, aku telah Kaukaruniai keberlimpahan. Bukan aku tidak bersyukur. Aku pun belum siap jika semuanya Kauambil dariku. Tapi ya Allah, betapa banyak orang yang tidak seberuntung diriku. Jika boleh, aku ingin menemani mereka dengan gaya hidupku yang sok zuhud. Tapi ya Allah, bukan berarti aku tidak mau memiliki rezeki ini. Aku hanyalah sok zuhud. Ingin bergaya hidup sederhana dengan sepenuh rasa syukur tanpa harus kehilangan semua ini."

"Lalu, untuk apa warisanmu?"

"Itu sudah ada aturannya secara hukum negara dan agama."

"Selagi masih lajang, aku hanyalah ingin menikmati kesederhanaan yang ternyata tak pernah separah yang dibayangkan orang."

"Nggak nyaman banget Mbak. Aneh saja Mbak Sasa, sudah tertular gaya hidup Del dan Puspa."

"Justru Puspa dan Del yang mengikuti gaya hidupku,"sanggahnya.

"Begitu mereka berada di tempat kos. Pohon singkong, pohon kelor, kecipir, pare, daun ubi jalar, kemangi, tomat, cabai, daun jeruk purut, rimpang sejenis laos, kunyit,kencur, jahe, sudah kutanam ditepi kolam mini di halaman belakang. Ada ikan nila merah pula, ya Del." Aku pun mengangguk.

"Mereka tinggal mengambil. Jika malas keluar rumah, tinggal menanak nasi di magic com, ikan dan bumbu sudah tersedia. Tinggal membeli garam, terasi, minyak goreng jika sedang tidak ingin membakar."

"Aku pernah lho, bulan puasa. Kukatakan dalam doaku,'Ya Allah, saat ini bulan puasa. Aku hanya menyediakan air yang kumasak sendiri di kompor. Apakah sebulan ada rezeki makanan untukku? Aku sengaja tidak memasak. Ternyata hampir tiap hari ada saja orang memberi makanan. Tetangga kos-kosan yang sedang menjanda seringkali memberi lauk yang dipesan melalui katering, makanan dari kantor kalau sedang ada rapat. Jika tidak ada makanan dan aku tetap bersikeras tidak memasak, ada saja orang lewat menjajakan jualan nasi bungkus atau kue, aku pun membelinya. Kadang hanya berbuka puasa dengan roti dan buah papaya."

Tebaran MozaikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang