BAB XII, Tebaran Mosaik oleh Kinanthi
"Sok suka menjadi penghuni perpustakaan. Hehehe...
"Kalau itu sih, bukan sok melainkan kebutuhan,"sahutku mencoba menjawab dengan bersungguh-sungguh.
"Sebagai anak sulung dari saudara-saudara perempuan, aku terbiasa mandiri kan? Orangtuaku mendidik anak-anak perempuannya untuk mandiri sejak masih Sekolah Dasar.
"Mengapa? Kan malah seharusnya diarahkan mencari suami kaya agar bisa bermanja-manja dan berbelanja. Bisa hidup mewah tanpa sengsara, kan dapat membanggakan orangtua juga,"sahutnya tertawa.
Pesanan rujak sudah dihidangkan bersebelahan dengan segelas es kelapa muda. Ia mencoba menikmati hidangan yang tersaji seolah tanpa selera atau memang tidak pernah menikmatinya sejak kecil? Entahlah. Aku belum tahu banyak tentang dirinya, kecuali ia teman di sanggar Seni Rupa.
"Jika bisa dipaksa mandiri mengapa harus dilatih bergantung? Lagipula kebergantungan kepada orang lain kan tidak abadi. Suami bisa saja meninggal lebih dahulu atau diambil wanita lain. Jika anak-anak perempuannya nya tidak mandiri, bagaimana kelak yang akan terjadi? Itulah yang dicemaskan orangtuaku,"ceritaku sambil menikmati rujak pesananku, tentu saja yang pedas.
Ada irisan buah nanas, belimbing, bengkuang, mentimun. Ada sayur kangkung dan kecambah. Ada irisan lontong pula, bahkan irisan tahu dan tempe pun ada, ditambah dengan irisan mulut sapi yang disebut cingur. Adakalanya juga irisan lidah sapi. Bumbunya pun terbuat dari kacang tanah, petis, juga cabai yang banyak mengandung vitamin C.
"Ini makanan bergizi,"kataku ketika ia seolah memaksa diri untuk menyantapnya.
"Aku mencoba beradaptasi dengan masakan Jawa Timur ini,"jawabnya sambil mengunyah irisan nanas.
"Adakalanya melihat aku santai saja menyendiri tidak segera memiliki pacar, orangtuaku sempat bertanya-tanya juga,'Jangan-jangan kami dalam mendidikmu untuk mandiri sudah kelewatan, sehingga santai saja dalam menikmati kesendirian' itu yang pernah dikatakan ibu."
"Betul itu,"jawabnya setelah menghabiskan irisan buah-buahan yang terdapat dalam piringnya.
"Kamu seolah terkesan sebagai pemilih,"lanjutnya.
"Beli sandal aja memilih, masa pasangan nggak milih?"kilahku bergurau.
"Iya sih. Tapi sebagai wanita patriarki, ketika kita betah menyendiri, dugaan orang pastilah...
"Matre?"potongku sambil meraih segelas es kelapa muda yang berada di depanku.
"Hm...dalam anggapan orang, kita ini menjadi ribuan karakter."
"Maksudmu?"
"Kita seolah kertas putih yang kosong. Lalu, siapa diri kita bergantung karakter si penilai...
"Nggak mudeng. Geje. Nggak jelas. Beri contoh,"jawabnya sambil mengunyah kerupuk setelah dicocolkan ke sambal.
"Jika si penilai matre, kita tentu dianggap matre sama dengan dirinya,"sengaja kusenggolkan bahuku ke lengannya,
"Kamu mengira aku matre seperti....
"Seperti aku?"sahutnya tertawa,"Tentu dong,"lanjutnya.
"Padahal, bagiku, pasangan itu sosok yang saling melengkapi."
"Melengkapi yang tidak kumiliki."
"Uang?"
"Kan kelak kita bisa cari."
"Tapi perhatian, perlindungan, kesetiaan...
KAMU SEDANG MEMBACA
Tebaran Mozaik
General FictionSuka duka para gadis (mahasiswa maupun yang sudah bekerja) di tempat yang sama, sebuah tempat kos. Tempat bak kawah candradimuka, arena penggemblengan diri, karena dari kawah itulah akan muncul perempuan-perempuan dengan kemandirian dan kepribadi...