Sang Maestro tengah sibuk mengaduk-aduk cat minyak di pot keramik cantik.
Ruangan bercat putih itu didesakki oleh barang esensial untuk menuansakan mood seorang pelukis. Ada kanvas putih di sentral ruangannya, ditopang oleh kerangka flipchart bermaterial pohon konifera hijau abadi, penggalan kepala patung dewi Aphrodite yang dibuat dari gipsum, lilin-lilin aroma terapi di dudukan cantik berupa piring marmer, seikat bunga iris berkelopak putih, palet-palet bekas, radio lawas peninggalan kakeknya, tanaman hyacinth dalam pot ramping, serta kuas-kuas pada gerabah putih, dan cat-cat tersegel.
Irama musik dari rancangan kapelmeiser terkenal, Ludwig Van Beethoven, mengalun di seantero ruangan. Suara-suara sonata piano menggerakkan tangan Sang Maestro, menyuruhnya menari dalam ritme F Minor Appasionata sambil mengaduk cat. High heels putih berbalut lilitan pita grosgrain yang mengikat kakinya dari tumit sampai ke dengkul turut serta menghentak-hentak, patuh terhadap hasrat akan musik.
Pegal mulai menerpa tulang-belulang Sang Maestro. Kehamilannya menjadikannya mengeluh sering sakit pinggang terutama ketika ia membungkuk terlalu lama, seperti sekarang. Namun ia melawan rasa tidak nyamannya, dia tetap memutar secara sirkuler gagang pada pot, agar ia dapat menghasilkan warna cantik yang diinginkannya.
Setelah dirasa selesai, Sang Maestro mengangkat pot besar itu di pelukannya. Karena Sang Maestro mengangkat potnya dengan asal-asalan dan ceroboh, catnya jadi menyiprat ke gaun putih selututnya. Gaun itu gaun lolita, renda-rendanya sempurna melingkari bagian torsonya, dan pita putih panjang di belakangnya menjuntai hingga betis. Kalau kata Shielda, asistennya, Sang Maestro tidak sepatutnya mengotori french dressnya lagi. Tapi, Sang Maestro menganggap noda cat di gaunnya juga bagian dari seni!
Secara konstan dan penuh kesengajaan, Sang Maestro membanjur isi catnya kepada permukaan kanvas. Sang Maestro sampai perlu melemparkan pot keramiknya juga pada kanvas. Potnya berakhir terlontar, menabrak kanvas, menumpahkan cat warna ungu pudar ke sana, dan menimpa kanvasnya hingga jatuh. Kanvasnya jatuh karena penopangnya ringkih. Potnya juga pecah ke bentuk kepingan tanah liat.
Puas akan 'Mahakaryanya', Sang Maestro menarik senyum tipis dari bibir ranumnya. Dengan perut besarnya, Sang Maestro menunduk, lalu membersihkan pecahan-pecahan tanah liat dari kanvasnya.
"Sempurna. Cantik. Sangat cantik." Sang Maestro membungkuk, dan kini, berada dalam posisi merangkak. Ia mengaggumi kanvasnya yang tergeletak tak bertuan di lantai granit putih. Tangan Sang Maestro lekas meratakan cat ungu pudarnya, tanpa kuas. Ia menyapu telapak tangannya ke penjuru-penjuru kanvas, lalu mulai mengukir sketsa, dengan masih menolak gagasan mempergunakan cat sebagai alat lukis.
Tangan Sang Maestro terulur ke meja, ia meraih paletnya. Banyak warna telah tercampur aduk di sana, tapi isinya hanya terdiri dari warna-warna muda. Merah muda, warna buah plum, warna pucat pualam, indeks-indeks warna krim ber-rona kelabu. Ia mencolek catnya dengan kelingking, lalu menjilatnya. Ia terkikik, merasakan pahit merajalela di lidahnya, dan menguasai mulutnya dengan perasaan penuh penilaian.
Sang Maestro menyukai merek cat ini! Catnya lebih kental, tak mudah larut di air, dan mudah dipadupadankan! Teksturnya juga licin. Lidahnya sempat kesulitan memutuskan. Tapi ketika catnya tertelan, Sang Maestro telah cukup mengevaluasinya dari rasa lengket yang didapatkannya di tenggorokan.
Setelah menilai dan meloloskan merek cat baru di paletnya, Sang Maestro mulai menggoreskan garis-garis tegas di kanvas itu. Tanpa kuas.
Namun ketukan pintu dan kedatangan Shielda mengganggunya.
Sang Maestro menoleh. Ia berhenti menekukkan punggungnya ke bawah untuk mengkhayati lukisannya, lalu menoleh pada sang teman.
"(Nama)," Shielda tampak tergesa-gesa. Napasnya memburu, dan bahunya naik turun. Shielda juga berkeringat banyak sekali. Sedangkan di sisi lain, Shielda sama sekali tidak terkejut memergoki Sang Maestro berada di posisi yang tidak sehat bagi ibu hamil, sembari mengtori gaun putihnya. Itu rutinitas kesehariannya. Menghasilkan karya-karya dengan cara tak wajar. Kendati demikian, setidaknya, Shielda bisa menarik napas lega, sebab Sang Maestro tidak melukai pergelangan tangannya lagi untuk memperoleh secuil darah sebagai cat warna merah.
Mata Sang Maestro menyipit. Shielda tidak akan datang teburu-buru tanpa alasan, pun, dengan wajah masam, dan gestur tubuh panik luar biasa.
"Blaze ..." Shielda angkat suara. Mendengar nama suaminya, Sang Maestro sontak membalikkan badan, dan berdiri. Ia sempat kesusahan bergerak, karena high heelsnya tinggi dan ketat. Ia khawatir sekali. "Blaze, kecelakaan."
-
Selama membaca book ini, dari awal sampai akhir, harap memutar lagu 'A Town with Ocean View', bisa diakses melalui Spotify, Youtube Music, Apple Music, Joox, atau platform lain, untuk menambah suasana<3
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.