William duduk di sisi tempat tidur dengan pandangan sayu tertuju pada Zayden yang sedang duduk di depan jendela kamar dan menatap ke luar rumah. Ekspresi wajah yang ditunjukkan Zayden begitu dingin. Tatapan matanya tajam bak elang yang siap menerkam mangsanya. Mereka hanya berdua saja di kamar itu karena Dafian, Devano, Maven serta Nathan pergi ke luar, mencari makanan untuk mereka santap siang ini.
Hening. Itu yang dirasakan oleh William karena interaksi mereka berdua yang sangat berjarak. William sama sekali tidak berani memulai pembicaraan terlebih dahulu saat melihat kondisi Zayden yang seperti ini. Dia takut. Takut jika Zayden merasa terganggu dengan suaranya. Jadi, William sekarang hanya melamun, menunggu Zayden yang pertama membuka topik.
"Udah baikan?"
Suara itu membuat lamunan William memudar. Ia tersenyum sebab akhirnya ada komunikasi dari mereka setelah lama sama-sama berdiam diri. Lelaki itu berdiri dan menghampiri sosok tegap yang masih menatap lurus ke luar Jendela. Mengamati setiap gerak-gerik kegiatan manusia di luar sana.
"Udah."
Zayden menghela nafas sebelum tatapannya beralih pada William yang seperti sedang menginterogasinya dengan tatapan sendu namun menusuk ke dalam dada Zayden.
"Kenapa tatapan lo kayak gitu? Gue ganteng, ya?"
Plak!
Dengan ringan tangan William melayangkan satu tamparan pelan pada pipi temannya. "So disgusting. Eww!" ujarnya jengkel.
Zayden tertawa geli menanggapi tingkah laku William padanya. Melihat hal itu, William mengerutkan kening. Ia bingung. Sekarang suasana hati Zayden memang tidak dapat ditebak. Baru saja Zayden menunjukkan ekspresi dingin, tapi sekarang dalam hitungan detik, suara cekikikan melesat keluar dari mulut lelaki yang dikenal jutek itu.
"NASI KUNING NYA NGGAK ADA!"
Spontan Zayden dan William menolehkan kepalanya menghadap ke arah pintu yang terbuka, memperlihatkan sesosok remaja yang lumayan tinggi sedang berdiri di ambang pintu dengan wajah cemberut. Itu Maven. Dia memasuki kamar sambil menghentakkan kakinya dan di susul oleh tiga lelaki lainnya.
Maven duduk di tempat tidur, wajahnya tampak masam, tangannya bersedekap di dada. William memberi isyarat wajah kepada beberapa orang yang baru saja masuk ke dalam. Devano yang menangkap isyarat tersebut hanya bisa duduk di samping Maven sebelum dia berbicara.
"Tadi kami ke luar mau nyari nasi kuning buat kita. Tapi ternyata di sini nggak ada yang jual nasi kuning. Mana capek lagi udah jalan kaki satu kilometer tapi pulang bawa tangan kosong aja." keluh Devano sambil bertopang dagu dengan sebelah tangannya.
Zayden menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia heran. Mengapa hanya perkara nasi kuning, mereka bisa sampai kehilangan mood untuk melakukan apapun.
"Udah gede masih ngambekan," celetuk William.
Tok tok tok..
Keheningan terjadi beberapa saat ketika mereka berenam mendengar suara ketukan pintu dari luar rumah. Meski hanya terdengar samar-samar, Zayden yang sedari tadi hanya duduk pun kini berdiri lalu memutuskan untuk mengecek ke ruang utama, ingin mencari tahu siapa yang berada di luar.
"Sebentar!" ucap Zayden sambil membuka pintu itu.
Saat pintu dibuka, hal yang pertama kali Zayden lihat ialah; seseorang yang ia kenal. Seorang pemuda yang memberikan rumah gratis kepada mereka dan sekaligus ketua RT di kota kecil itu. Dengan sikap sopan Zayden membungkuk cepat sebelum tersenyum.
"Ada apa, mas? Mari masuk dulu,"
Pemuda tersebut mengikut. Dia masuk ke dalam rumah dan mereka berdua duduk di sofa ruang tamu.
"Tadi istri saya ada bikin nasi kuning, tapi kebanyakan. Dan saya akhirnya kepikiran mau bagi-bagi ke kalian juga." ujar pemuda tersebut sambil meletakkan rantang stainless berukuran sedang. "Saya harap kalian suka sama nasi kuning."
"NASI KUNING?!" pekik Maven yang berlari menghampiri mereka berdua.
"Kamu suka ya?" tanya pemuda itu.
"Iya, mas! Saya suka. Tadi kami nyari ke sana kemari tapi nggak ketemu warung yang jualan nasi goreng." Maven mengambil rantang itu dan membawanya ke pelukannya.
Zayden tersenyum tipis sembari melirik ke arah Maven. "Bilang apa?"
"Makasih, mas!" Maven berkata dengan gembira. Tingkah lakunya seperti anak kecil yang mampu menarik perhatian orang-orang.
"Seneng banget tuh. Bagi nanti, ya."
Maven menoleh ke belakang, melihat Defano, Dafian dan Nathan yang berjalan santai menuju mereka. Dengan raut wajah cemberut, Maven menggeleng-gelengkan kepalanya. "Enak aja!" Balas Maven pada Dafian sambil menjulurkan lidahnya seolah mengejek.
Dafian, Devano dan Nathan hanya pasrah dengan kelakuan Maven. Mereka bertiga duduk di sebelah Zayden, tersenyum menyapa pemuda yang menjadi tamu di rumahnya.
"Sebelumnya saya minta maaf. Dari awal kami menginjakan kaki ke wilayah sini sampai sekarang kami tinggal di rumah ini, mas belum ngenalin diri." Devano berkata sambil menyengir malu.
Pemuda di hadapan mereka itu tertawa kecil menanggapi hal tersebut. Dengan kepekaan yang dimiliki, pemuda itu berdeham, "Nama saya Afriza. Panggil saya Riza,"
Keenam lelaki itu mengangguk paham. "Mas Riza, nama saya William."
"Saya Maven,"
"Devano,"
"Davian,"
"Nathan,"
"Zayden."
Mereka berenam berdiri dan maju untuk berjabatan tangan satu persatu kepada pria yang ternyata bernama Riza lalu mereka duduk kembali.
"Nyaman selama tinggal di rumah ini?"
"Jujur, kami nyaman-nyaman saja." ujar William mewakili teman-temannya. "Tapi, saya mau nanya. Apa di sini ada yang usil? Seperti mematikan lampu rumah orang sembarangan dan—" Dia berhenti ketika hendak mengucapkan kata selanjutnya. Tentang badut itu. Di situ William memotong perkataannya karena mata Zayden menyorot tajam ke arahnya. Jika bukan karena itu, William pasti akan mengatakan apa yang sebenarnya terjadi di rumah itu.
"Dan, apa?"
"Tidak jadi." William menggaruk dahinya, sedikit tidak nyaman pada Riza.
"Setahu saya tidak ada yang usil seperti itu. Apalagi sampai mengganggu ketenangan orang sekitar." Riza berfikir sejenak. "Mungkin karena kalian orang baru di kota ini, jadi ada yang usil. Untuk kedepannya saya berusaha memperketat penjagaan agar kalian tidak terganggu dan tinggal nyaman di rumah ini. Kalau begitu, saya pamit pulang dulu, ada istri yang harus saya jaga."
Dafian mengulum bibirnya, berusaha untuk menahan tawa. Dia melirik ke arah Devano, melihat wajah temannya yang seperti orang linglung hanya akan membuatnya semakin susah untuk tidak melepaskan tawa-nya. Saat itu juga Dafian menutup wajah dengan kedua telapak tangan, ia tertawa hingga tidak menimbulkan suara. Riza yang bingung pun hanya bisa terkekeh lalu beranjak pergi dari rumah itu. Tawa Dafian terhenti ketika Devano menepuk pundaknya.
"Apaan lo kayak gitu?"
Dafian menelan saliva nya dengan keras dan mengangkat kepala hingga menatap Devano yang duduk di sebelahnya. "Nggak apa-apa. Lo kelihatannya kurang tidur."
"Emang iya? Padahal gue tidur kok."
"Gampang banget dikelabui." William menarik leher baju Devano yang langsung membuat lelaki itu berdiri.
Akhirnya mereka berenam memutuskan untuk masuk kembali ke dalam kamar, ingin memakan nasi kuning tersebut. Singa di perut mereka terus berbunyi dari tadi karena kelaparan. Sedikitnya dana karena masih berada di jenjang SMA, membuat mereka susah untuk membeli bahan-bahan dan juga persediaan makanan. Untuk saat ini mereka harus pintar mengirit biaya kebutuhan sehari-hari sampai nanti mereka mendapatkan pekerjaan yang sedikit-sedikit mampu membantu kelancaran hidup.
KAMU SEDANG MEMBACA
RUMAH TUJUH ENAM [END]
Random[PLAGIAT? CERITA INI BUKAN UNTUK DI COPY PASTE!] Samanya kejadian yang menimpa ke-enam remaja laki-laki pada tahun 2024 ketika menempati sebuah rumah bernamakan "Rumah Kita" menuai perbincangan warga sekitar. Tak jarang mereka berfikir, "mungkinkah...