27

100 49 0
                                    

Pemandangan air biru dengan desiran ombak juga semilir angin menjadi obat yang bisa mengobati rasa rindu di dalam hati. Ratusan burung merpati putih berterbangan di udara ke sana dan kemari, menambah suasana menjadi lebih asri untuk di pandang. Tak ada hal yang lebih baik dari bersantai di sebuah pantai guna mengosongkan hiruk pikuk pikiran. Hidup seperti ombak yang berusaha keras mencapai tepian namun selalu dipatahkan oleh garis takdir.

Di tutup karena adanya terjadi peristiwa mengenaskan, pantai itu kembali beroperasi sejak dua tahun setelah kejadian tersebut. Banyaknya wisatawan dan turis asing yang berkunjung ke sana membuat berita itu hanya dianggap sebagai angin lalu saja. Bahkan sekarang pantai tersebut lebih ramai pengunjungnya dua kali lipat dari sepuluh tahun lalu.

William duduk di bawah pohon kelapa dengan beralaskan karpet berukuran lumayan besar sembari menatap teman-temannya yang sibuk bermain voli pantai. Tawa kecil keluar dari bibirnya saat menyaksikan betapa susahnya bagi Zayden saat menggiring Devano dan Dafian agar tidak terlalu dekat ke tepi pantai.

"Bandel." satu kata yang di gumamkan oleh William memang tepat untuk Devano dan Dafian.

"Bola nya jangan di kejar!"

Zayden memekik sembari mengejar Dafian menuju ke tepi pantai, mengejar bola voli yang mereka mainkan. William tadinya hanya duduk santai, tapi saat melihat itu dia langsung berdiri, ikut berlari menghampiri Dafian. Ia tidak akan panik jika air dalam kondisi tenang.

Tapi sekarang ini ombak begitu berseteru berusaha menggapai daratan. Bersamaan dengan William, Nathan yang sedari tadi sibuk bertukar perbincangan dengan seorang gadis berambut lurus sebahu, berwajah slim, tinggi badan 160cm-tinggal tak jauh dari Rumah Kita juga menolehkan pandangannya kala mendengar teriakan Zayden.

“Bentar,” Nathan  meletakkan  tangannya pada bahu Killa, lalu ia berbalik, ikut mengejar Dafian. Killa mengangguk dengan memberikan senyuman lembut.

Benar saja. Yang dikhawatirkan pun terjadi. Belum sempat Zayden menarik tangan Dafian, ombak lebih dulu menyeret tubuh jangkung tersebut ke dalam lautan lepas. Teriakan panik dari sejumlah wisawatan yang menyaksikan kejadian tersebut terdengar menakutkan di telinga William. Dia menangis, menutup kedua telinganya sambil berdoa yang terbaik kepada sang pencipta, penguasa langit dan bumi. Detak jantungnya berdegup dua kali lebih cepat saat mengkhawatirkan skenario buruk akan terjadi.

Tidak ada jalan lain selain ikut menceburkan diri ke dalam air pantai itu. Zayden bersusah payah mencoba meraih tangan Dafian untuk membawanya ke daratan.

Ketika Dafian merespon gerakkannya dan meraih tangannya, dengan sisa-sisa kekuatan yang dimiliki Zayden berusaha menarik tubuh lemas itu lalu membawanya ke tepian. Untung saja lelaki itu memiliki tubuh yang cukup kekar hingga bisa menyelamatkan teman sebayanya.

Saat ombak sudah mulai tenang, semua orang yang berada di sana melihat Zayden keluar di tengah-tengah pantai sambil memapang sosok Dafian yang terbujur lemah dengan mata tertutup.

Zaydeh tertatih-tatih naik ke permukaan karena kakinya yang berat disebabkan berjalan di perairan. Dengan lembut Zayden meletakkan tubuh Dafian di rerumputan dan menggosok-gosok tangan temannya yang dingin itu untuk penghangatan.

"Bangun, Daf.." William menangis, berjongkok di samping tubuh Dafian. Mereka berenam bersama-sama mengelilingi Dafian sambil berusaha sebaik mungkin agar lelaki itu bisa bangun.

Nathan meletakkan kedua telapak tangannya pada dada Dafian lalu menekannya beberapa kali hingga remaja tersebut menyemburkan air dari mulutnya. Dafian perlahan membuka mata. Tatapannya sayu saat dia mengalihkan pandangan kepada teman-temannya satu persatu. Maven membantu Dafian untuk duduk.

"Kan udah dibilangin jangan main-main di dekat pantai. Kenapa bola nya lo kejar? Lo nggak tau gimana paniknya kami pas ombak nyeret lo ke dalam air."

Dafian mengangguk dan menundukkan kepala, merasa bersalah sebab ia telah membuat kekacauan besar hari ini yang dapat merenggut keselamatan dirinya sendiri. Dafian tidak bisa berenang, maka dari itu sulit baginya untuk mencapai permukaan air saat ia tenggelam tadi. Syukurlah ia selamat berkat doa dari beberapa orang di sana dan perjuangan yang Zayden lakukan.
Dafian mengangkat kepalanya, menatap Zayden yang sedang berdiri membelakanginya sambil bersandar di satu pohon kelapa. Lelaki itu tampak mengurut bagian dada, terdengar suara sesak nafas yang ditimbulkan oleh Zayden.

"Maaf, Zay... Gara-gara gue, lo jadi ngorbanin diri sendiri.. gue ceroboh." ujar Dafian yang suaranya kian serak.
Zayden berbalik menghadap ke arah beberapa orang yang menatapnya. Dia menampilkan wajah datar serta mata elangnya. "Khawatirin diri lo sendiri, jangan orang lain," jawabnya.

"T-tapi–"

"Tindakan kayak tadi bisa berdampak sama keselamatan lo sendiri. Lo nyusahin orang, tau, nggak? Makanya kalau dibilang jangan, ya jangan di lakuin. Lo udah gede, bukan anak kecil lagi yang harus dikasih tau mana yang baik dan mana yang buruk. Ini hidup lo sendiri aja nggak bisa ngurus, apalagi hidup orang lain. Don't take this as a small thing."

Dafian lagi-lagi menundukkan kepalanya, merenungkan ucapan yang dikatakan oleh Zayden. Benar kata Devano. Zayden memang orang yang jutek tapi sekalinya bicara bisa menyayat hati seseorang. Diam-diam Dafian menangis, air mata jatuh ke tanah yang di dudukinya.  Devano, Nathan, Maven dan William juga ikut ternganga mendengarnya. Mereka berempat menatap Dafian dan sadar bahwa lelaki itu sedang menangis, mereka dengan cepat menenangkan Dafian. 

"Zay, jangan ngomong gitu. Hargai perasaan Dafian." Devano mengusap bahu Dafian sembari menatap Zayden.

"Hargai? Dia aja nggak bisa menghargai pengorbanan orang lain, Dev. Dia nggak sadar? kalau dari tadi gue mati-matian negur kalian buat JANGAN LARI KE TEPI PANTAI. Di sini seolah-olah cuman gue orang paling dewasa yang harus ngurus bocah TK kayak kalian. Kelas dua SMA itu udah gede. Jangan harus disuruh dulu baru di lakuin."

Devano bungkam seribu bahasa. Dia salah mengambil lawan bicara. Zayden memang memiliki akal panjang yang mana dia berfikir seribu kali sebelum bertindak. Devano menyeka air mata yang ada di pipi Dafian.

"Nggak apa-apa. Zayden cuman tersulut emosi aja. Biasanya kan dia nggak pernah ngomong kasar gitu ke kita." ucapnya berusaha meyakinkan Dafian bahwa Zayden adalah orang yang suasana hatinya bisa berubah drastis dalam hitungan detik.

Zayden mengusap wajahnya dengan kasar, dia menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskan nya dengan perlahan. "Gue minta maaf. Ayok pulang, nanti lo kedinginan kalau lama terbungkus pakaian basah kayak gini."

"Um.." jawab Dafian sambil mencoba berdiri. Dafian sadar jika perkataan kasar yang keluar dari mulut Zayden itu hanya untuk kebaikannya sendiri. Seharusnya ia tidak tersinggung. Tapi mau bagaimana lagi? Dafian adalah remaja yang memiliki hati selembut salju, bisa tergores walau jika hanya dengan sindiran tipis.

Wajah dingin yang sadari tadi ditunjukkan Zayden, sekarang berubah menjadi senyuman tipis kala melihat Dafian memanyunkan bibir. Mau tak mau harus mengakui bahwa hatinya mudah luluh jika Dafian bersikap lugu seperti itu di depannya.

Setelah selesai mengemas barang, mereka satu persatu masuk ke dalam mobil pribadi milik Nathan. Si empunya menyalakan mesin mobil. Saat di perjalanan, sesekali Nathan memantau keadaan teman-temannya di belakang lewat spion di depannya. Nathan mempercepat kelajuan mobil ketika melihat tubuh Dafian gemetar karena kedinginan.

Beberapa saat kemudian, mereka tiba di rumah. Dengan cepat Maven membuka pintu, mempersilahkan Dafian agar masuk lebih dulu ke dalam.
Maven menatap arloji nya dan sadar bahwa sekarang sudah menjelang sore hari. Perasaan, mereka di pantai itu hanya sekitar dua jam saja, tapi nyatanya setengah hari mereka menghabiskan waktu bersama menikmati pemandangan pantai sejak pukul delapan pagi tadi.

"Istirahat, ya. Jangan jera ke pantai." Nathan bercanda sambil menyenggol lengan Dafian.

"Berisik lo, tua." Dafian tertawa hingga tawanya menggelegar di ruang tamu. Dia berlari menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.

RUMAH TUJUH ENAM [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang