29

101 51 0
                                    

Devano mengarahkan pandangannya pada Maven-orang yang membuang bangkai kucing yang merupakan bahan untuk meneror mereka berenam.

"Bangkai kucing nya lo buang di mana?" tanya Devano pada Maven yang sedang mencuci tangannya di wastafel.

"Di hutan belakang rumah." jawabnya sembari melepaskan masker medis dari wajahnya. Ia berbalik, menghampiri Devano serta empat orang lainnya di meja makan.

Mata William terpaku pada Maven. Dia mengetuk meja makan dengan jari telunjuknya, menimbulkan bunyi ketegangan dalam kondisi hening di sore hari seperti ini. Biasanya, setiap sore kota kecil itu selalu ramai dengan kendaraan yang berlalu-lalang melewati jalan selebar empat meter itu. Sekarang entah kenapa suasana menjadi sunyi. Sayup terdengar bunyi jangkrik yang seharusnya muncul kalau larut malam saja.

Tidak ada satupun yang berbicara. Tidak ada yang berani membahas tentang badut itu, bahkan hanya teror yang terjadi dari awal mereka menempati rumah itu. Mereka sama-sama menaruh kecurigaan pada masing-masing, sesuai saran dari Nathan.

Maven menopang pipi di sebelah tangannya. Dia menggumamkan sebuah kalimat yang seringkali mamanya ucapkan sebelum dirinya tidur. Maven selalu menuturkan kalimat itu ketika ia rindu pada ibunya yang meninggal di usia tiga puluh satu tahun, karena mengidap penyakit gagal ginjal akut di saat Maven berumur sembilan tahun. Kurangnya pendapatan keluarga mereka saat itu membuat nyawa Ibunya tidak dapat di selamatkan.

Luka pilu menyelimuti keadaan saat menyaksikan tubuh yang terlihat selalu terlihat kuat itu di masukkan ke dalam tempat peristirahatan terakhir. Maven bahkan tidak berani melihat pemandangan tersebut. Dia lebih memilih untuk bersembunyi di balik tubuh kekar ayahnya.

Back to topic.
“Kita punya harapan, tapi dunia punya kenyataan. Kamu nggak harus sempurna di mata orang. Cukup jadi versi terbaik dari dirimu sendiri.”

Maven berhenti bergumam ketika menyadari semua mata tertuju padanya. Ia berdeham, terkekeh dengan penuh kesedihan, bisa dilihat dari matanya yang sayu dan berkaca-kaca.

“Di mana dapat kata-kata kayak gitu?” Dafian bertanya sembari membuka sebungkus roti isi cokelat.

Maven diam. Air mata menetes di pipi tirusnya kala mengingat malam indah yang ia habiskan untuk mendengarkan alunan lembut suara ibunya. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya, mencoba kembali ke dunia nyata.

"Kalimat itu yang sering  Mama ucapin sebelum gue tidur. Kangen sih. Indah banget ya masa-masa kecil waktu itu," ujar Maven dengan tersenyum dan menyeka air mata yang mengalir di pipinya.

Seketika kunyahan Dafian terhenti, ia merasa tidak enak karena membahas hal ini. "Maaf. Gue nggak bermaksud mengungkit masa lalu lo,"

"Kalau ada masalah apa pun itu, lo harus cerita sama kami, ya? Jangan ngelakuin apa-apa sendiri." sahut William yang hanya dibalas anggukan kepala dari Maven. "Kalian udah curiga sama siapa aja?"

Zayden yang tadinya sibuk menyantap makanan langsung terdiam. Dia meletakkan sendok di piring dengan kasar dan mengelap area mulut menggunakan tisu.

Melihat perubahan sikap Zayden tersebut membuat William keheranan. Mungkinkah pertanyaannya itu menyinggung? Atau memang Zayden tidak ingin membahas hal ini? William menyodorkan segelas air putih pada Zayden guna menenangkan suasana hati temannya.

"Gue cuman nanya." gagap William.

"Terus? Lo mau bilang kalau lo juga curiga sama gue kayak yang diungkapin Nathan?" tanya Zayden yang sudah bisa menduga.

"Enggak gitu, tapi iya. T-tapi nggak.. ih! Sensi amat!" belanya, bingung ingin berkata apa.

"So?"

William menggelengkan kepalanya, tidak berani berkata-kata lagi. Jujur, ia takut melihat sorot mata Zayden yang seperti meruntuhkan nyali nya.

Devano mematikan layar ponselnya, meletakkannya di atas meja makan dan mencari-cari pandangan Zayden. "Gue curiga sama lo. Mau apa, hm?"

"Apa lagi, sih? Lagian buat apa gue ngelakuin itu? Nggak ada gunanya. Gue bahkan terganggu sama semua terror yang menimpa kita. Dan bahkan gue malah curiga sama Maven."

Maven menoleh ke arah Zayden yang duduk di sampingnya. Raut wajah sedihnya berubah menjadi senyuman licik.

"Dan gue curiga sama Nathan."

Tersedak mendengarnya, Nathan dengan tersulut emosi langsung berdiri dan menunjuk Maven. Ia menggeram sebelum berbicara dengan suara serak dan tegas.
"BUKAN GUE! DI SINI YANG HARUS DICURIGAI ITU DEVANO!"

"Kok gue?!" Kagetnya, namun ia tidak cepat naik pitam dan berusaha untuk menahan diri dari gejolak emosi.

"Kemarin lo nguntit gue ke taman. Dan bisa aja sebelum pergi, lo naruh bangkai kucing itu!"

"Kalau kalian mikir gitu, mungkin aja iya. Tapi kalau kejadian aslinya sih melesat jauh." Devano masih terlihat santai, ia mengambil sebungkus roti di wadah kaca berukuran sedang di atas meja.

Zayden memijat alisnya, sungguh merasa pusing dengan perdebatan tiada akhir ini. Saling menuduh, hubungan pertemanan terpecah belah. Mungkin saja ini adalah pertanda bahwa mereka akan mendapatkan musibah seperti yang terjadi pada sepuluh tahun lalu.

"Tolong ingat apa yang kita janjikan sama Mas Riza." Dafian membuka suara. Zayden menghembuskan nafas lega, merasa Dafian sangat mewakilkan perasaannya. Setelah Dafian speak up, Zayden beranjak pergi dari meja makan dan berjalan memasuki kamar mandi yang letaknya berbeda ruangan dengan dapur.

Seketika mereka terdiam, tersadar dengan apa yang mereka janjikan ketika mereka ingin tinggal di rumah ini. Devano menggigit bibir bawahnya, dia menyenggol bahu William.

"Sshtt.." William memperingatkan.
Mereka senyap dalam waktu yang cukup lama. Bukan karena mengingat janji itu, tapi sebab mereka mendengar pintu luar yang diketuk pelan. Beralun-alun suara ketukan itu berubah menjadi mendesak seperti ada keadaan darurat yang terjadi. Mereka saling pandang terlebih dahulu sebelum akhirnya Devano berdiri, memberanikan diri untuk mengecek langsung ke depan. Dafian mengangguk satu kali, mengisyaratkan kepada Devano agar terus berhati-hati.

Dengan ragu-ragu Devano menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskan nya. Ia perlahan melangkah menuju ruang utama. Ketukan itu masih terdengar jelas, bahkan lebih nyaring dari sebelumnya. Kaki sudah berada di depan pintu dan tangan menggenggam kenop, siap untuk membukanya. Devano memutar kenop lalu dengan gerakan singkat ia membuka pintu itu. Namun anehnya saat pintu dibuka, Devano sama sekali tidak melihat siapapun berdiri. Tapi, ada satu hal yang membuatnya bingung. Devano melihat di luar ada sebuah kotak berwarna merah muda berhiaskan pita merah tua di depan pintu.

Cepat-cepat Devano mengambil kotak itu lalu membukanya.
Wajahnya menjadi pucat kala melihat kotak itu berisikan tulang belulang kecil. Ia curiga kalau itu adalah tulang tikus serta tulisan 'AYO MATI!'. Saat ini diri Devano di selimuti oleh ketakutan yang amat mendalam. Ia mundur beberapa langkah. Tak sengaja punggungnya menabrak benda keras yang membuatnya langsung menolehkan pandangan. Ia bernafas lega ketika menyadari bahwa yang ia tabrak ialah tubuh Zayden.

"Kotak apa itu?" Zayden bertanya. Tangan kanannya terulur untuk mengambil kotak yang Devano pegang dan tangan kirinya berada di dalam saku celana.

"N-nggak tau.. tadi ada yang ngetuk pintu tapi pas gue cek ternyata nggak ada orang. Tapi gue nemu kotak ini." ucapnya sambil menyerahkan kotak tersebut.

"Jangan dipikirin." Zayden berkata santai sambil membaca tulisan itu. "Mandi sana. Hari udah mulai gelap."

Mendengar itu, kecurigaan Devano kepada Zayden semakin besar karena gimik Zayden yang terlihat aneh di matanya. Ia hanya mengangguk dan pergi ke dalam menuju kamar mandi.

Sesaat setelah Devano pergi, Zayden membuang kotak serta seluruh isinya ke tempat sampah di luar rumahnya.

"Bodoh."

RUMAH TUJUH ENAM [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang